Dua Puluh Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Hara duduk sambil menggigit ujung jari telunjuknya resah. Dia mengamati Inggrid yang sepertinya tidak membuang waktu untuk menghubungi Mika. Tadinya dia juga hendak memanggil Kinan untuk datang, tetapi Hara melarangnya. Hara belum terlalu mengenal Kinan dan rasanya tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya di depan menantu Inggrid itu. Meskipun Hara yakin Kinan sudah tahu mengapa dia dan Pelita berakhir di rumah ini. Mungkin dari Inggrid atau Mika yang bersahabat dengannya. Namun, Hara tetap merasa tidak ingin membicarakan masalahnya di depan terlalu banyak orang.

"Rajata dan Mika akan datang," kata Inggrid setelah menutup teleponnya. Dia menoleh ke atas saat mendengar suara Pelita yang memanggil Hara. "Kamu ke atas saja, mungkin Pelita butuh sesuatu. Kita bicara lagi kalau Rajata dan Mika sudah datang."

Pelita sedang mengaduk-aduk isi laci rak susun saat Hara sampai di kamar mereka. "Ma, baju renang Pelita yang pink kok nggak ada?"

"Jangan berenang sekarang, Sayang." Hara tidak ingin berenang dengan pikiran yang tidak menentu seperti sekarang. "Mama ada urusan sama Eyang dan Tante Mika. Berenangnya besok-besok aja ya?"

"Pelita kan nggak ngajak Mama berenang." Pelita menghentikan gerakannya mengaduk-aduk laci. "Berenangnya sama Om Robby. Eyang bilang, kemarin Om Robby ke sini nyariin Pelita, tapi kita lagi nonton. Jadinya, hari ini Om Robby balik lagi. Mama gimana sih, kan tadi, waktu baru bangun Pelita udah ngasih tahu Mama." Anak itu tampak cemberut karena merasa diacuhkan.

Hara tidak memperhatikan apa yang dikatakan Pelita tadi pagi karena tidak bisa fokus. Pelita mengatakan banyak hal, seperti kebiasaannya terus mengoceh saat bangun tidur. "Maaf, Mama lupa, Sayang."

"Mama sih Pelupa. Om Robby dong kalau udah janji nggak pernah lupa." Dia kembali ke laci dan menarik sesutatu dari sana. "Wah... ketemu, bajunya udah ketemu!" serunya riang. "Sekarang mau dipakai aja, trus nungguin Om Robby datang dong."

"Memangnya Pelita tahu Om Robby mau datang jam berapa?"

"Nggak tahu sih, tapi ditungguin aja. Om Robby kalau janji kan nggak pernah lupa," dia mengulangi kata-katanya seolah tadi belum mengucapkan kalimat itu.

Hara hanya bisa mendesah pasrah. Dia membantu Pelita mengganti baju, dan detik berikutnya setelah selesai, Pelita sudah melesat keluar kamar. "Jangan lari-lai di tangga, Sayang...!" terlambat, Pelita sudah menghilang.

"Nggak lari, Ma," balas Pelita, juga setengah berteriak. "Ini jalan kok. Tapi jalannya cepet-cepet!"

Hara tinggal di kamar untuk membereskan laci yang tadi dibuat berantakan oleh Pelita. Setelah itu dia melanjutkan dengan hal lain, berusaha membuat dirinya sibuk, supaya tidak perlu berpikir. Dia sedang mengelap cermin meja rias yang sebenarnya tidak berdebu saat pintunya diketuk. Seorang asisten rumah tangga mengatakan Inggrid memintanya turun.

Mika duduk bersama inggrid ketika Hara sampai di bawah. Tawa riuh Pelita terdengar dari arah kolam, sepertinya Robby juga sudah datang.

"Hei...," Mika menggapai tangan Hara dan menariknya duduk di sampingnya. "Saya sudah mendengar ceritanya dari ibu," katanya dengan nada penuh simpati.

"Saya sudah bicara dengan Bapak," mulai Inggrid. "Dan dia sudah menghubungi pengacara untuk konsultasi awal. Apa kamu mau kita sekalian duduk sama-sama dan bicara soal ini dengan Bapak dan Rajata?"

Itu mungkin ide yang bagus, tetapi Hara merasa sungkan. Membicarakan kesalahannya di masa lalu di depan dokter Lukito dan Rajata tidak mudah, meskipun Hara yakin mereka sudah tahu dan tidak keberatan memberi bantuan, seperti yang sudah dipastikan Inggrid. "Saya... saya nggak tahu, Bu."

"Kita omongin bertiga dulu," sambut Mika yang seperti mengerti ketidaknyamanan Hara. "Meskipun apa yang akan kita bicarakan ini sebenarnya masih mengira-ngira aja karena kita toh belum tahu apa yang ibu—" dia melihat Hara.

"Andrew," jawab Hara setengah berbisik. "Namanya Andrew."

"Ya, kita belum tahu apa yang ibu Andrew inginkan dengan meminta bertemu kamu. Ada kemungkinan selain menginginkan Pelita, kan?"

"Kemungkinan apa?" tanya Inggrid tidak mengerti.

"Minta maaf untuk kesalahannya di masa lalu?"

"Dia bisa melakukan itu kemarin saat bertemu Hara, kenapa harus meminta Hara menghubunginya di waktu lain?"

"Kemarin kan ada Pelita, Bu. Nggak mungkin membicarakan hal seperti itu di depan anak kecil."

Sebenarnya apa yang dikatakan Mika itu masuk akal, tetapi Hara tidak yakin orang seperti ibu Andrew akan meminta maaf untuk sesuatu yang menurutnya bukan kesalahan. Bukankah dulu dia menganggap Hara adalah kekeliruan yang dibuat Andrew? Perempuan itu sendiri yang mengatakan bahwa dia akan melakukan apa pun untuk meyakinkan Hara tidak akan berakhir bersama Andrew.

"Ada baiknya kita bersiap untuk yang terburuk sih," kata Inggrid. "Tapi sebenarnya nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Pengacara yang tadi dihubungi Bapak bilang kalau di Indonesia hak asuh itu cenderung akan diberikan kepada ibu. Apalagi Hara yang merawat Pelita sendiri tanpa bantuan apa pun dari pihak sana. Mereka nggak akan punya kesempatan kalau benar-benar hendak merebut Pelita melalui jalur hukum."

Hara merasa lega mendenngar hal itu. Dokter Lukito langsung menghubungi pengacara yang menjadi koleganya di hari minggu seperti ini. Artinya hanya satu, dia benar-benar mendapatkan dukungan yang dia butuhkan.

Mika berdeham. "Hara, jangan tersinggung kalau aku menanyakan ini ya, tapi apakah kamu nggak kepikiran untuk kembali pada Andrew seandainya orangtuanya memang benar-benar mengizinkan?"

"Apa?" Hara tidak pernah memikirkan hal itu. Dia sudah membuang harapan itu ketika ibu Andrew dulu menemui untuk melukai hatinya. Juga ketika Andrew mengatakan tidak menginginkan anak dari hubungan mereka.

"Pendirian seseorang bisa berubah. Robby kemarin cerita ke Rajata kalau menurutnya Andrew nggak akan berhenti begitu saja mengejarmu. Itu sebelum Andrew tahu kalian punya anak. Apalagi kalau dia sudah tahu."

"Andrew tidak mau punya anak. Dia—"

"Robby kenal Andrew?" Inggrid memotong kalimat Hara. "Bagaimana ceritanya?"

Hara menatap Inggrid tidak berdaya. "Saya beneran minta maaf karena sudah melibatkan keluarga ini dalam masalah. Beberapa bulan lalu Andrew datang menemui saya di rumah sakit, Bu. Kami bertengkar, dan tiba-tiba Mas Robby ada di situ. Saya nggak punya pilihan dan lantas mengakui Mas Robby sebagai tunangan untuk membuat Andrew menjauh."

"Robby setuju?" Inggrid masih tidak percaya. Dia sama sekali tidak mengira Robby dan Hara punya interaksi di luar rumah ini. Mereka terlihat kaku dan seperti orang yang tidak saling mengenal saat berada di ruangan yang sama. Sepengetahuannya, Robby hanya dekat dengan Pelita.

Hara buru-buru menggeleng. "Tidak, Mas Robby tidak setuju, Bu itu keputusan impulsif yang saya ambil sendiri. Hanya saja, karena sudah telanjur mengatakan soal pertunangan itu pada Andrew. jadi saya terpaksa terus mengulanginya untuk membuatnya pergi dan tidak mengganggu saya lagi." Hara tidak mau Inggrid mengira dia benar-benar mengincar anak bungsunya. Tinggal di rumah ini secara gratis saja sudah cukup. Dia tidak mengharapkan hal lain.

"Tapi itu sebenarnya alasan paling masuk akal untuk membuat Andrew beneran menjauh sih." Inggrid malah mengangguk-angguk. "Kalau dia laki-laki baik-baik, dia nggak mungkin mengganggu calon istri orang lain." Entah mengapa dia suka ide itu. Dia sudah terbiasa dengan keberadaan Hara, dan terutama Pelita di rumah ini. Kalau mereka pergi, rumah ini akan kembali sunyi. Tidak ada lagi yang berteriak menyambut kedatangannya sepulang kantor. Rasanya tidak rela harus menyerahkan Hara dan Pelita kepada orang yang pernah membuang mereka.

Meskipun tempat mereka bicara jauh dari kolam, Hara tetap khawatir Robby mendengar apa yang dikatakan Inggrid. "Saya beneran nggak enak sama Mas Robby karena melibatkan dia dalam masalah ini, Bu."

"Kata Rajata, Robby sepertinya nggak keberatan kok," sela Mika, kembali masuk dalam percakapan. "Jujur, aku juga senang mendengarnya. Ini pertama kalinya Robby mau melibatkan dirinya dengan orang lain setelah bertahun-tahun. Dia kelihatan perhatian dan sayang banget sama Pelita."

Sekarang Hara yang kebingungan dengan arah percakapan yang melenceng jauh dari perkiraannya semula. Tapi satu hal yang pasti, dengan dukungan seperti ini, dia jauh lebih siap saat harus berkonfrontasi dengan Andrew atau ibunya.

**

Aku akan balik ngerjain naskah Titik Balik dulu karena riset  udah kelar. Tapi JML akan aku tulis di sela-selanya karena ini juga nggak panjang lagi. Hanya saja, aku dikejar DL untuk Titik Balik karena itu naskah pesanan, sementara JML hanya untuk konsumsi Wattpad aja. Doain cepat kelar biar akhir Februari atau awal Maret (semoga bisa lebih cepat) aku sudah mulai dengan cerita baru di Watty karena  TB dan JML udah kelar ya. 

Oh ya, buat yang belum ikutan PO Brondong Digda, sila menghubungi olshop langganan  ya. Hanya tersedia 500 eksemplar novel yang ber-ttd untuk peserta PO pertama. Makasih untuk dukungannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro