Dua Puluh Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nggak diedit. Semoga nggak keganggu dengan typo dan kalimat tidak efektif. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Pelita sangat antusias dengan film yang ditontonnya, sehingga dia terus membicarakannya meskipun dia dan Hara sudah meninggalkan bioskop.

"Itu payungnya bohongan kan, Ma? Nggak ada payung yang bisa terbang kayak gitu, kan? Masa orangnya turun dari langit pakai payung?"

"Iya, itu bohongan," timpal Hara. "Itu trik filmnya aja."

"Trik film itu apaan sih?"

Hara menatap Pelita yang berjalan setengah melompat-lompat sambil mengayun tangan Hara yang digenggamnya. "Cara yang dipakai orang yang bikin filmnya supaya payung itu bisa kelihatan terbang. Pelita belum ngerti yang kayak gitu. Mama saja nggak ngerti caranya." Dia mengalihkan perhatian Pelita. "Gimana kalau kita makan aja?"

Hara akhirnya bisa menepati janji membawa Pelita jalan-jalan di mal. Jadwalnya bebas jaga kebetulan bertepatan dengan akhir pekan.

"Asyik. Pelita dong mau makan pizza. Waktu sama Om Robby, Pelita juga makan pizza," katanya seolah dengan menyebut nama Robby dia akan bisa mendapatkan keinginannya dengan mudah.

"Iya, kita makan pizza," Hara langsung menyetujui pilihan Pelita. Makanan di rumah keluarga Lukito sangat sehat, tidak masalah membiarkan Pelita sesekali mengonsumsi fast food dan melewatkan sayur. "Nggak perlu bawa-bawa Om Robby segala."

"Kata Om Robby, rumah baru Tante Mika dan Om Raja sekarang ada kolamnya dong," Pelita seperti tidak mendengar kalimat terakhir Hara. Dia sudah berulang kali mengatakan soal kolam itu sejak minggu lalu, saat dia berenang bersama Robby. "Tante Mika sama Om Raja rumahnya udah sendiri, nggak rame-rame bareng orang lain kayak waktu itu, yang Pelita pernah pergi. Kata Om Robby, nanti Pelita diajak ke rumah Tante Mika lho."

Hara hanya tersenyum tidak menanggapi. Robby sekarang berada di peringkat paling atas dalam daftar orang favorit Pelita, jadi anak itu akan terus menyebutnya dalam kesempatan apa pun.

Mereka kemudian masuk dalam gerai pizza yang ada di mal. Hara membantu Pelita membuka-buka buku menu supaya anak itu bisa menentukan pilihan. Pelita sudah masuk dalam tahap menyukai membuat keputusan sendiri. Dia memilih sendiri pakaian, hiasan rambut, dan sepatu yang akan dikenakan. Hara membiarkannya meskipun kadang-kadang motif yang dipilihnya bertolak belakang. Dia ingin Pelita tumbuh dengan percaya diri dan tidak mudah terpengaruh pada pendapat orang lain. Karakter seperti itu harus dibentuk sejak dini. Kelak, Pelita akan bisa menjaga diri dan tidak akan mengulang kesalahan-kesalahan yang dilakukan Hara.

Setelah menyebutkan pesanan mereka kepada pelayan, Hara meletakkan tasnya di sisi Pelita. "Mama ke toilet dulu ya," katanya kepada Pelita. "Pelita nggak boleh ke mana-mana. Tunggu Mama di sini. Selain sama Mbak-nya tadi, Pelita nggak boleh bicara sama orang asing. Nggak boleh keluar dari sini kalau ada yang ngajak. Mama nggak lama kok." Hara tahu Pelita tidak akan mengikuti orang asing, karena dia selalu mengulang nasihat itu, tetapi dia merasa perlu mengatakannya lagi.

"Iya, Ma," sahut Pelita patuh.

Hara lantas bergegas menuju toilet yang tidak terlalu jauh dari tempat makan mereka. Kandung kemihnya benar-benar penuh akibat minuman dan udara dingin di bioskop tadi. Dia tidak pergi lama. Mungkin hanya sekitar 10 menit, tetapi ketika kembali ke gerai pizza tadi, Hara melihat Pelita tidak sendiri di meja mereka. Ada seseorang yang menemani anak itu. Hara tidak bisa melihat wajahnya, karena orang itu membelakangi pintu masuk. Pelita benar-benar melupakan pesannya untuk tidak bicara dengan orang asing, karena Hara melihat anaknya tampak tertawa kepada orang itu. Dia mempercepat langkah.

Orang itu menoleh saat Hara sudah berada di sisi meja. Jantung Hara rasanya seperti ditinju keras ketika melihatnya. Dia mendadak sesak. Tidak, jangan dia!

"Ma, Eyang ini bukan orang asing kok," kata Pelita yang tidak bisa menangkap ekpresi kaget Hara. "Katanya tadi gitu. Iya, kan, Eyang?"

"Iya, Eyang bukan orang asing kok." Perempuan itu berdiri. Dia tidak terlihat seperti orang yang pernah terkena stroke ringan beberapa bulan lalu. Fisioterapisnya benar-benar bagus. "Anak kamu cantik banget," katanya sambil tersenyum kepada Hara yang masih mematung. "Umurnya sudah hampir 5 tahun, kan?"

Hara memegang ujung meja dan memaksakan diri duduk di dekat Pelita. Kepalanya terasa penuh, telinganya berdenging. Dia lantas menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Berulang-ulang. Dia harus menjaga supaya kesadarannya tidak hilang. Sulit. Hara merasakan keringat mulai keluar dari pori-porinya, padahal AC ruangan itu menyala. Sebelum ke toilet tadi, dia malah merasa udara di situ terlalu dingin.

"Kartu nama saya." Perempuan itu mengulurkan kartu yang baru dikeluarkan dari dompet. Dia lantas meletakkannya di atas meja saat Hara tidak menyambutnya. "Kita sepertinya harus bicara. Saya tunggu telepon kamu dalam beberapa hari ke depan. Jangan terlalu lama. Saya bukan orang yang terlalu sabar." Dia mengusap kepala Pelita sebelum pergi. "Sampai ketemu lagi, Sayang."

"Dah... dah..., Eyang." Pelita balas melambai.

Hara mengikuti langkah perempuan itu yang terayun anggun. Dia menuju langsung keluar gerai pizza itu. Dia bukan tipe orang yang akan makan pizza di pusat perbelanjaan. Hara tahu persis itu. Sejak kapan perempuan itu melihatnya bersama Pelita? Pasti di antara perjalanan dari bioskop menuju tempat makan ini. Dia memanfaatkan kepergian Hara ke toilet untuk mendekati Pelita. Cara bicaranya tadi membuat Hara gelisah. Perempuan tahu kalau Pelita anaknya dan Andrew. Itu mengerikan. Jakarta ternyata tidak cukup luas untuk menyembunyikan dirinya dan Pelita.

"Eyang tadi siapa sih, Ma?" tanya Pelita mengembalikan kesadaran Hara.

"Dia... dia bukan siapa-siapa," jawab Hara gugup.

"Dia bilang dia kenal Mama. Kalau kenal Mama kan bukan orang asing. Dia juga bilang kalau Pelita cantik banget." Pelita tersenyum senang. "Katanya mirip Mama. Dia juga nanyain papa Pelita. Dia nggak tahu kalau Pelita nggak punya papa ya?"

Hara bersyukur karena pelayan kemudian datang mengantar pesanan mereka sehingga dia tidak harus menjawab pertanyaan Pelita. Dia mengamati anaknya yang tampak lahap. Sayangnya, tidak seperti Pelita, Hara sudah kehilangan nafsu makan.

**

Hara berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Dia tidak bisa tidur semalam karena memikirkan pertemuannya dengan ibu Andrew dan konsekuensi dari pertemuan itu. Baru seminggu dia terbebas dari Andrew, dan masalah yang lebih besar kemudian menghantam. Hidup benar-benar tidak mudah.

Ini akan memalukan, tetapi Hara tidak punya pilihan selain memberitahu dokter Inggrid. Mungkin saja dia punya solusi yang tidak bisa dipikirkan Hara, karena jujur saja, dia tidak bisa memikirkan apa pun yang masuk akal sekarang ini.

Hara memberanikan mengetuk pintu kamar dokter Inggrid. Dia harus membicarakannya sekarang supaya bebannya sedikit berkurang.

"Hara...?" Inggrid tampak Heran melihat Hara berdiri di depan pintunya. Selama tinggal di rumah ini, Hara tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Ekspresi perempuan itu yang tampak bingung membuat Inggrid menutup pintu dan membimbingnya menuju sofa di ruang tengah. "Ada apa?" tanyanya kemudian setelah mereka duduk berdampingan.

"Kami... maksudnya saya dan Pelita nggak sengaja bertemu dengan dia kemarin." Jemari Hara saling meremas. "Dan dia sepertinya tahu tentang Pelita."

"Kalian bertemu siapa?" Penjelasan Hara yang tanpa ujung pangkal membuat Inggrid tidak bisa menangkap maksudnya dengan jelas, meskipun ada dugaan yang sama-samar hinggap di benaknya.

"Ibu Andrew, Bu. Dan saya yakin dia tahu Pelita anak Andrew. Caranya menatap Pelita itu...." Hara tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia menatap Inggrid putus asa. "Saya nggak bisa kehilangan Pelita kalau mereka menginginkannya."

Inggrid meraih tangan Hara dan menggenggamnya. "Tenang dulu. Tidak ada yang bisa membuat kamu kehilangan Pelita. Kamu yang mengandung, melahirkan, dan membesarkannya seperti sekarang. Tidak ada orang yang yang bisa datang dan mengambilnya begitu saja."

"Saya nggak mengerti soal hukum, Bu." Air mata Hara tidak tertahan lagi. "Kalau mereka benar-benar menginginkan Pelita, mungkin saja ada celah hukum yang bisa memungkinkan untuk... entahlah, maksud saya, mereka punya uang. Pengacara mereka bisa menemukan cara—"

"Jangan khawatir, kalau mereka menempuh jalur hukum, kita bisa melayaninya. Saya akan bicara dengan Bapak supaya kita berkonsultasi dengan pengacara yang bagus kalau itu bisa membuat kamu lebih tenang." Inggrid mengusap pipi Hara. "Jangan panik."

"Saya nggak bisa kehilangan Pelita," ulang Hara lagi. Hanya itu yang ada dalam pikirannya.

"Kita nggak akan kehilangan Pelita." Inggrid menenangkan. "Ketakutan kamu berlebihan. Saya, Bapak, dan semua orang di keluarga ini nggak akan membiarkan itu terjadi."

"Saya akan melakukan apa pun yang Ibu ingin saya lakukan sebagai balasan sudah bersedia menolong saya dan Pelita." Hara bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Dia akan menyerahkan atau melakukan apa pun demi Pelita.

"Kita nggak bicara tentang bisnis dan pertukaran, Hara. Kamu dan Pelita sudah kami anggap keluarga. Dan keluarga saling menjaga."

Meskipun tidak semua kekhawatiran Hara lenyap, tapi kata-kata dukungan Inggrid sangat melegakan. Dia tidak akan menghadapi keluarga Andrew sendiri. Keluarga Lukito ada di belakangnya untuk mendukung. Dia tidak perlu menelpon perempuan itu untuk menegosiasikan apa pun. Pelita akan tetap bersamanya sampai kapan pun. Meskpin begitu, Hara merasa dia harus mempersiapkan diri untuk bertemu Andrew lagi. Mungkin saja laki-laki itu sudah tahu tentang Pelita sekarang.

**

Jangan lupa follow Instagram @titisanaria dan Twitter @TSanaria untuk GA dan info buku terbit ya. Karena selain Brondong Digda, "CINTA ITU..." yang ganti judul jadi  "Love, Lost, and Found" juga akan menyusul terbit. Setelah itu aku akan libur nerbitin beberapa bulan untuk ngasih waktu narik napas dan nabung sebelum keluar novel baru lagi. Hehehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro