Dua Puluh Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nggak sempat diedit, ya. Maaf kalau nggak nyaman dengan typo. Kemaren aku salah ngetik Andrew jadi Robby, dan pada protes. Naskahnya akan diedit lagi nanti setelah kelar, jadi nggak akan dibenerin di Watty, karena dikerjain di word. Yang di watty emang masih berantakan dan beberapa plot hole muncul. Aku juga sadar karena nakahnya emang slow banget, jadi aku udah lupa bagian awal, jadi ada ketidakkonsistenan di beberapa bagian.

Aku update berurutan karena lagi libur nulis Narend. Masih harus meriset beberapa hal. Sambil menunggu riset kelar biar nulisnya lancar, aku ngerjain Robby dulu. Mulai part berikutnya, alur akan aku percepat, supaya bisa tamat dalam 10 part ke depan, biar nggak dikejar-kejar fans Robby yang walaupun dikit, tapi fanatik banget. hehehehe...Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Asisten Rumah Tangga Rajata mengatakan jika kakaknya itu sedang berenang, jadi Robby langsung menuju kolam renang di bagian belakang rumah. Benar, Rajata sedang berada di dalam kolam. Hanya sendiri. Tidak ada Mika, istrinya.

Robby duduk berjongkok di tepi kolam, menunggu sampai kakaknya menyadari kehadirannya. Tidak lama kemudian, Rajata lantas meluncur ke arahnya.

"Hei, Bro," sapanya, "lo nggak bilang-bilang mau datang sekaang. Untung aja Mika ngelarang gue ikut dia ke supermarket."

Robby mengikuti Rajata yang menuju kursi malas di sisi kolam renang. Dia mengawasi gerakan Rajata mengeringkan tubuh dengan handuk sebelum duduk. Robby ikut duduk di kursi yang lain. "Katanya ada yang mau diomongin sama gue?" ujar Robby tanpa basa-basi. Dia datang ke sini karena Rajata yang memintanya beberapa hari lalu. Kakaknya itu bilang mereka perlu membicarakan sesuatu yang tidak bisa dilakukan di telepon.

"Gue menghubungi dr. Mulya dan dia bilang lo belum pernah ke sana."

Sebenarnya Robby sudah bisa menduga apa yang ingin dibicarakan kakaknya. Psikiaternya pindah ke Semarang, dan dia sudah merekomendasikan dokter lain untuk melanjutkan terapi. Psikiaternya itu adalah kenalan Rajata, dan kakaknya itulah yang pertama kali membawa Robby ke sana, jadi ketika dia pindah, dia juga memberitahu Rajata tentang orang lain yang dia rekomendasikan untuk Robby.

"Gue baik-baik aja," jawab Robby. "Akhir-akhir ini gue nggak terlalu tergantung penenang lagi supaya bisa tidur." Dia sebenarnya malas membahas ini, tetapi dia juga mengerti Rajata melakukannya karena peduli.

"Lo nggak mungkin bisa baik-baik aja secara mendadak. Apa yang ada di kepala lo itu bukan seperti flu yang bisa sembuh dalam hitungan hari. Lo ngerti banget itu"

Percuma mendebat Rajata yang lebih tahu. Hanya saja, Robby tidak merasa bicara dengan psikiater bisa memecahkan masalahnya. Bukan psikiater yang akan membuatnya merasa baik. Dia butuh sesuatu yang lebih besar daripada itu. Sesuatu yang sudah tidak ada lagi di dunia.

Robby menatap air kolam yang bening kebiruan supaya tidak perlu melihat Rajata. Riak yang tercipta karena gerakan tubuh kakaknya di sana masih terlihat. Gerakan itu seperti perasaannya yang terkadang tidak menentu. Ada saat-saat di mana dia merasa kepalanya penuh, sehingga dia tidak bisa memproses apa pun. Ketika itu denyut jantungnya berkejaran tidak berirama, dan sesuatu dari dalam hatinya sibuk mencaci dan menghujatnya sebagai manusia yang tidak berperasaan. Bahwa dia tidak diinginkan siapa pun juga. Pikiran yang kerap membuatnya merasa hidup sebenarnya hanya penderitaan berkepanjangan yang merupakan kesia-siaan. Satu-satunya hal yang mencegahnya melakukan sesuatu yang buruk adalah kakak-kakaknya, Mika, dan Gita selalu menyempatkan diri bergantian menghubunginya setiap hari. Mereka berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa dia diinginkan.

Namun, Robby tidak berbohong saat mengatakan kalau akhir-akhir ini dia merasa lebih baik. Dia mulai memikirkan hal lain yang tidak berhubungan dengan masa lalunya. Terutama Pelita. Gadis kecil yang suka sekali menggenggam telunjuknya, atau duduk di atas pangkuannya setiap kali mereka bertemu. Gadis periang yang sepertinya tidak kenal penolakan. Dhesa dulu seperti itu. Selalu menemukan alasan untuk tertawa.

"Pergilah ke tempat dokter Mulya. Kalau lo beneran sudah merasa lebih baik, dia akan menguatkan pendapat lo itu. Lebih baik atau tidak, bukan lo yang berhak membuat keputusan."

"Oke, nanti gue ke sana." Robby tahu Rajata yang gigih tidak akan menerima alasannya menghindar. Kakaknya tipe yang seperti itu. Saat dia menginginkan sesuatu, dia akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Dia yang pertama kali membawa Robby ke psikiater karena merasa Robby membutuhkannya, meskipun awalnya ditolak mentah-mentah.

"Gue akan bikin janji untuk lo. Akan gue hubungin kalau sudah bicara dengan dokter Mulya."

"Oke." Mungkin memang tidak ada salahnya ke sana. Setidaknya, itu akan membuat Rajata dan Mika tenang. Meskipun psikiater baru akan membuatnya kembali ke awal.

Rajata berdiri dan memberi isyarat supaya Robby mengikutinya ke dalam rumah. "Gue lapar habis berenang. Mika tadi bikin bubur kacang hijau. Lo mau?" Dia tidak menunggu sampai Robby menjawab. Dia memanggil asisten rumah tangganya dan menyuruh menyiapkan bubur itu untuk mereka berdua. "Lo duduk deh, gue mandi dan pakai baju dulu."

Robby mengikuti perintah Rajata. Dia duduk di depan meja makan sambil mengutak-atik ponselnya. Dari sini dia mungkin akan menuju ke rumah orangtuanya. Ingatan tentang Pelita tadi membuatnya terbayang wajah anak itu. Mereka berenang bersama minggu lalu, dan Robby mengantarkan Hara, ibu Pelita ke tempatnya bekerja. Dia belum bertemu lagi dengan perempuan itu setelah meninggalkan untuk bicara dengan Andrew, laki-laki dari masa lalunya. Robby menunggu di mobil, berjaga-jaga kalau Hara menelepon karena membutuhkan bantuannya. Hara memang menghubunginya, tapi bukan untuk meminta pertolongan. Dia hanya mengucapkan terima kasih dan mengatakan bahwa dia berhasil membuat Andrew berjanji untuk tidak mengganggunya lagi.

Hara terdengar senang, tetapi Robby tidak yakin orang seperti Andrew akan melepaskan Hara begitu saja setelah menguntitnya untuk diamati. Terlalu mudah. Namun, Robby memilih tidak mengutarakan pendapatnya karena khawatir akan membuat Hara cemas.

Rajata kembali ke meja makan dan bergabung dengan Robby tidak lama setelah bubur kacang hijau mereka dihidangkan. "Kemampuan Mika memasak memang lumayan meningkat," kata Rajata sambil menarik mangkuk buburnya mendekat. "Tetapi yang benar-benar bisa dibanggakan hanya bubur kacang hijaunya saja. Ini spesialisasinya. Tapi jangan bilang-bilang sama dia kalau gue bilang begitu. Gue nggak mau diusir dari kamar."

Mau tidak mau Robby tersenyum. Dia tahu kemampuan kakak iparnya itu dalam soal masak-memasak sangat memprihatinkan. Dia sudah membuktikannya. Mika jelas kompeten sebagai dokter, tetapi dia dan Rajata jelas butuh asisten rumah tangga supaya tidak keracunan karena eksperimennya yang jarang berhasil.

"Lo nggak mungkin diusir," sambut Robby melayani candaan Rajata.

"Lo nggak tahu aja kalau dia ngambek. Ratu tega dia! Tapi gue mau anak perempuan gue nanti kayak dia, biar nggak gampang dirayu laki-laki."

"Mbak Mika sudah hamil?" Robby tahu Mika dan Rajata menunda memiliki anak karena kesibukan Mika dengan sekolah spesialisnya di awal pernikahan. Namun, beberapa bulan lalu dia mendengar Rajata menanyakan soal kehamilan itu kepada Mika saat berkunjung ke sini. Waktu itu Mika merasa tidak enak badan. Mungkin saja mereka sudah siap untuk memiliki anak, apalagi dengan umur seperti sekarang. Keduanya sudah sangat matang.

Rajata hanya menyeringai, tapi terlihat senang. "Itu pengumuman yang harus dibuat Mika. Jangan tanyain ke gue."

Bicara soal anak seperti itu, Robby tiba-tiba teringat Pelita lagi. "Pelita dan ibunya itu keluarga kita dari pihak mana?" mumpung dia ingat, sekalian ditanyakan saja.

"Keluarga?" Rajata mengenyit tidak mengerti.

"Pelita dan Hara yang sekarang tinggal di rumah," Robby mengulang, mengingatkan, mungkin Rajata melupakan mereka.

"Gue tahu siapa Pelita dan Hara," kata Rajata. "Siapa yang bilang kalau mereka keluarga kita?"

"Memangnya dia bukan keluarga kita?" Robby balik bertanya, bingung.

Rajata menggeleng. "Mika bilang, waktu itu Hara nggak punya tempat tinggal setelah tantenya meninggal, jadi dia membawa Pelita ke rumah sakit saat jaga. Mika lantas bicara sama Mama, dan mereka sepakat untuk membawa Hara dan Pelita ke rumah. Itulah alasan mengapa mereka tinggal di sana. Bukan karena mereka keluarga."

Robby termangu. Jadi ini alasan mengapa Hara terlihat bingung saat Robby menyebut-nyebut soal hubungan kekerabatan mereka. "Gue beneran mengira mereka keluarga."

"Lo kok tumben nanyain Pelita dan Hara?" Rajata menatap adiknya lekat. Beberapa tahun terkahir Robby seperti hidup dalam dunianya sendiri. Dia tidak tertarik pada apa pun di luar diri dan masa lalunya.

"Waktu itu gue ke rumah sakit dan bertemu Hara sedang bertengkar dengan seseorang. Dia kemudian bilang kalau itu ayah Pelita."

Rajata melepas sendoknya. Mika belum pernah bercerita soal itu. Mungkin dia memang tidak tahu tentang kehadiran ayah Pelita. "Apa?"

"Waktu itu Hara memanfaatkan kehadiran gue dan mengakui gue sebagai tunangannya pada laki-laki itu," lanjut Robby.

"Lalu?"

"Gue nggak bilang apa-apa sih. Waktu itu gue nggak mengerti masalahnya. Belakangan baru Hara cerita soal hubungannya dengan laki-laki itu. Katanya orang itu nggak tahu tentang Pelita karena dia nggak pernah bilang kalau dia hamil saat mereka berpisah." Suara Robby perlahan menurun. "Gue nggak seharusnya membandingkan, tapi gue teringat kondisi Dhesa saat tahu itu."

Rajata tidak mengatakan apa pun, hanya diam menunggu Robby melanjutkan.

"Laki-laki itu membuntuti Hara sampai ke rumah kita. Belakangan Hara bilang kalau dia berhasil membuatnya berjanji untuk nggak mengganggunya lagi dengan alasan pertunangan kami, tapi gue nggak yakin itu berhasil."

"Gue akan bicara dengan Mika soal ini. Mungkin saja Hara butuh bantuan. Pasti akan lebih baik untuk Hara kalau punya teman untuk bicara."

"Itu bagus." Robby menyukai gagasan Rajata itu. "Pasti sulit menjadi ibu tunggal dengan kondisinya yang kayak sekarang. Mbak Mika melakukan hal yang benar dengan memintanya tinggal di rumah."

"Mama yang memintanya," Rajata meluruskan.

Robby diam saja, tidak lagi merespons.

**

Oh ya, MP masuk dalam Elex Media's Top 10 Best Selling Novel 2018 lho. Makasih untuk kesediaan kalian mengadopsi cerita Babang Rajata dan Mika ya. Tanpa kalian aku nggak akan sampai di sana. Lope-lope beneran deh....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro