Dua Puluh Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku nyempetin nulis ini sedikit di sela-sela kesibukan nulis TITIK BALIK. Mungkin belum nemu feel-nya karena lama ditinggal, tapi semoga menghibur. Hepi reading en Lope-lope yu ol, Gaeessss...

**

Perasaan Hara tak menentu saat berjalan menuju IGD. Jam kerjanya baru akan dimulai hampir satu jam lagi karena dia memang datang lebih awal untuk mengantisipasi kemacetan yang mungkin ditemuinya di jalan. Hanya saja, membayangkan akan bersitegang dengan Andrew di depan orang lain membuatnya mual. Menjadi bahan gosip di tempat kerja bukan hal yang menyenangkan. Dia menjadi semakin tegang karena menyadari Robby dengan tenang mengikuti langkahnya.

Ya, Robby memang menawarkan bantuan untuk menghadapi Andrew, tetapi Hara tidak tahu bantuan seperti apa yang akan diberikan laki-laki itu. Hubungan mereka tidak cukup cair untuk mendiskusikan skenario yang akan dipakai di depan Andrew, seandainya laki-laki itu memang akan menemuinya sekarang. Jangan-jangan bantuan itu akan berakhir blunder karena Hara dan Robby jalan sendiri-sendiri dengan skenario mereka. Tanpa sadar, Hara mendesah keras. Rasanya menyebalkan, saat masa lalu yang dia pikir sudah menjadi sejarah ternyata malah menyusul dan mengambil bagian dalam hidup di masa kini.

"Kamu nggak perlu takut," kata Robby yang menyalahartikan desahan Hara. "Kamu nggak melakukan kesalahan apa pun."

"Saya nggak takut," jawab Hara pelan, "saya hanya nggak suka terlibat situasi seperti ini di tempat kerja. Saya nggak suka orang luar tahu masalah pribadi saya."

Robby tidak menanggapi. Dia bisa membayangkan ketidaknyamanan Hara. Apalagi, rumah sakit, terutama IGD, berbeda dengan kantor-kantor lain. Bukan hanya rekan kerja, pasien dan keluarganya juga bisa menjadi penonton.

Hara tiba-tiba menghentikan langkah. "Kalau Andrew benar-benar datang menemui saya, saya akan memintanya bertemu di kafe selepas jaga. Sepertinya kami memang harus bicara baik-baik supaya dia tidak mengganggu saya lagi. Marah-marah dan menghindar nyatanya nggak berhasil membuatnya pergi." Dia diam, memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan. "Nggak apa-apa kalau saya memakai nama Mas Robby dan tetap pada cerita saya kalau kita sudah tunangan, kan? Mengubah cerita hanya akan menimbulkan kecurigaan dia."

Robby ikut terdiam beberapa saat. Dia tidak suka berbohong, tetapi apa yang dikatakan Hara memang masuk akal. "Ada celahnya," jawab Robby akhirnya. "Dia berusaha mencari tahu tempat tinggal kamu dan berhasil. Kalau usahanya sekeras itu, dia pasti akan tahu kalau kamu nggak jujur soal hubungan kita. Tidak akan sulit untuk mencari informasi kalau kita masih keluarga."

Fokus Hara yang masih sepenuhnya tertuju pada cara menghadapi Andrew membuatnya lupa jika Robby belum tahu kalau mereka sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan apa pun. Keluarga laki-laki itu seperti tidak ada yang peduli soal itu, dan merasa tidak penting untuk memberitahu Robby tentang Hara dan Pelita. Memang tidak bisa disalahkan karena keluarga Lukito pasti tidak tahu kalau dia dan Robby terlibat interaksi seperti ini.

"Tapi kita—"

"Hara...!" panggilan Andrew memotong kalimat Hara.

Saat menoleh, Hara melihat laki-laki itu tergesa menuju tempatnya dan Robby berdiri berhadapan. Dia melihat pergelangan tangannya. Sepertinya dia tidak perlu meminta Andrew menunggu. Masih ada waktu untuk bicara dengan laki-laki itu sebelum dia mulai jaga. "Saya akan bicara dengan dia," katanya kepada Robby. "Mas Robby bisa pulang sekarang. Dia sudah melihat kita sama-sama sekarang, itu sangat membantu. Saya bisa mengatasi ini sendiri. Terima kasih."

Robby bergeming. Dia tidak merespons Hara. Kediamannya malah membuat Hara gelisah. Dia takut kalau laki-laki itu pada akhirnya mengatakan sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang otaknya mulai susun sekarang. Berbohong spontan itu lebih baik dilakukan sendiri dibandingkan berdua. Ketidaksesuaian informasi menyebabkan kebohongan itu mudah terbongkar.

Andrew yang akhirnya ikut berdiri di dekat mereka menatap Robby sejenak sebelum beralih kepada Hara. "Kamu punya waktu untuk bicara?"

"Saya punya waktu setengah jam sebelum jaga." Hara harus menyelesaikan masalah ini sekarang. Dia harus meyakinkan kalau Andrew tidak akan pernah hadir lagi dalam kehidupannya dan Pelita. Hara akan melakukan apa pun untuk itu. "Kita bisa ke kafe sekarang." Dia melihat Robby. "Mas Robby pulang saja. Saya hanya akan bicara dengan Andrew."

"Apa lagi yang harus dibicarakan kalau hubungan kalian sudah lama selesai?" Robby bertanya, masih dengan ekspresi tanpa emosi apa pun.

Hara kembali mengembuskan napas. Apa yang dikatakan Robby memang benar. Dia juga sudah pernah mengatakan hal itu kepada Andrew. Hanya saja, laki-laki itu tidak menerima penolakan. Itu yang membuatnya kembali seperti sekarang. Hara merasa tidak punya pilihan lain kecuali mengabulkan permintaannya untuk bicara baik-baik. "Mas Robby, saya bisa mengatasi ini. Saya—"

Robby tidak melihat Hara. Dia terus menatap Andrew. "Kalau kalian merasa tetap harus bicara, saya akan ikut. Seharusnya tidak ada yang keberatan, kan?"

Ini seperti terperangkap. Hara tidak suka situasinya. "Sebentar," katanya kepada Andrew sebelum menarik lengan Robby menjauh. "Saya beneran harus bicara berdua dengan dia."

"Tapi—"

"Saya mungkin akan banyak berbohong, dan rasanya sulit melakukan itu di depan Mas Robby. Saya nggak suka melakukan ini, tapi nggak punya pilihan. Mas Robby akan sangat membantu kalau tidak ikut dalam pertemuan ini."

Robby dapat memahami keberatan Hara. Memang akan canggung berbohong di depan orang lain yang tahu persis tentang kebohongan itu. Dia tidak akan menolong Hara kalau melakukan itu. "Baiklah. Saya akan menunggu di mobil. Telepon saya kalau kamu butuh bantuan."

Hara tidak butuh bantuan apa pun selain kesediaan Robby mengakuinya sebagai tunangan jadi-jadian. Dia tidak pernah membayangkan hidupnya akan lebih lebay daripada skenario sinetron. Karena status palsu untuk meyakinkan orang lain lebih cocok ditonton dalam sinetron daripada dilakoni di kehidupan nyata. "Saya akan mengatakan kalau kita sudah tunangan kepada Andrew, dan masalahnya akan selesai. Dia tidak mungkin mengejar perempuan yang sudah bertunangan dan tidak tertarik lagi padanya."

"Kamu yakin? Kelihatannya dia bukan orang yang terlalu peduli aturan." Robby bisa melihat sifat itu dengan jelas sejak pertemuannya pertama dengan laki-laki yang sedang mengejar Hara itu.

"Saya bisa mengatasinya." Hara yakin soal itu. Dia bukan lagi dirinya yang naif beberapa tahun lalu. Dia sudah belajar banyak dari kesalahannya.

"Baiklah." Robby mengalah. Dia lantas berbalik menuju ke tempat parkir setelah kembali menatap Andrew yang juga melihatnya.

Hara menunggu sampai Robby menjauh sebelum memberi isyarat kepada Andrew untuk mengikutinya ke kafe yang ada di rumah sakit itu. Mereka kemudian duduk berhadapan setelah memesan dua cangkir kopi, tiket untuk mendapatkan tempat di situ.

"Aku pikir kamu sudah cukup melihat untuk nggak mengganggu aku lagi," mulai Hara. "Aku sudah bilang kalau aku sudah punya tunangan."

"Kamu bicara seformal itu dengan tunangan kamu?" Andrew bersedekap sambil bersandar di kursinya. "Kamu kelihatan kayak sekretaris yang lagi ngomong sama direkturnya. Sulit percaya kalau kalian memang benar-benar tunangan."

"Bentuk komunikasi aku dengan tunangan aku sama sekali bukan urusan kamu," sergah Hara. "Aku hanya nggak mau hubungan kami rusak karena masa lalu aku. Aku sudah cerita tentang hubungan kita sama dia setelah pertemuan kita di atas atap tempo hari. Mas Robby menerima aku apa adanya."

"Aku juga menerima kamu apa adanya," sambut Andrew tenang. Tatapannya tidak lepas dari wajah Hara, seakan mencoba membaca perasaan perempuan itu melalui ekspresi.

"Kamu merusakku," desis Hara. Dia menutup mata sejenak seelum melanjukan, "Itu memang bukan sepenuhnya salah kamu, karena aku juga salah. Tapi aku sudah move on dari masa lalu. Aku nggak butuh kamu lagi. Aku mencintai Mas Robby. Aku beneran minta tolong supaya kamu nggak mengganggu kami."

"Kamu yakin benar-benar mencintainya?" Andrew tampak tidak yakin. "Sudah kubilang kalau interaksi kalian nggak meyakinkan."

"Kami nggak perlu memamerkan kemesraan hanya untuk meyakinkan orang lain kalau hubungan kami baik-baik saja dan saling mencintai."

Andrew mengubah posisi duduknya. Dia mencondongkan tubuh dan menumpukan kedua lengan di atas meja. "Aku awalnya nggak percaya kalau kamu sudah tunangan dengan laki-laki itu. Karena itu aku mencari tahu. Aku menanyai beberapa orang, dan nggak satu pun di antara mereka yang mengatakan kalau kamu sudah tunangan dengan anak pemilik rumah sakit tempat kamu kerja ini." Andrew mengangguk saat melihat mata Hara melebar. "Iya, aku tahu siapa dia. Sudah kubilang kalau aku mencari tahu. Tapi aku juga tahu kalau kamu tinggal di rumah orangtuanya. Kalian benar-benar bisa menjaga hubungan kalian dari orang lain."

"Hubungan kami bukan konsumsi orang lain." Hara bersyukur karena Andrew sepertinya percaya soal hubungannya dengan Robby. Apa yang mata lihat memang jauh lebih meyakinkan daripada sekadar kabar angin yang didengar telinga.

"Bukan hanya dia yang punya uang," lanjut Andrew. "Aku juga bisa memberikan apa yang kamu inginkan. Kamu nggak perlu tinggal di rumah orangtuaku, seperti yang kamu lakukan sekarang di rumah orangtuanya."

"Aku tinggal di sana karena keinginanku," bantah Hara. "Kami... kami akan segera menikah." Syukurlah Robby tidak ada di sini untuk mendengar kebohongannya yang sudah melampaui batas. "Tinggal di rumah orangtuanya lebih memudahkan komunikasi untuk persiapan pernikahan. Aku nggak punya siapa-siapa lagi yang bisa membantu untuk mengurus hal itu."

"Tante kamu?" tanya Robby.

"Sudah meninggal."

"Maaf, aku nggak tahu."

"Nggak penting juga untuk kamu tahu!"

"Kamu waktu itu tiba-tiba menghilang. Aku—"

"Aku harus jaga," potong Hara. "Nggak berlebihan kalau aku minta kamu supaya nggak menemui aku lagi, kan? Aku sudah bahagia sekarang. Sangat bahagia. Orangtua Mas Robby menerimaku, nggak seperti keluarga kamu. Kalau kamu benar-benar peduli padaku, tolong jangan ganggu aku lagi."

Andrew terdiam cukup lama. "Kamu beneran bahagia?"

"Aku nggak akan memohon supaya kamu menjauh kalau aku nggak bahagia."

"Aku nggak suka melakukan ini, tapi baiklah." Andrew mengedik enggan. "Aku nggak akan menemui kamu lagi dengan sengaja kayak gini. Aku menghargai keputusanmu." Dia terlihat tidak suka saat harus mengucapkan kalimat itu.

"Terima kasih." Hara mencangklongkan tas di pundak. Dia berdiri dan berjalan menjauh.

"Hara...!" panggil Andrew.

Hara menoleh. "Ya?"

"Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang aku lakukan dulu. Aku memang nggak pantas mendapatkan orang sebaik kamu."

Hara buru-buru melanjutkan langkah. Dia tidak menoleh lagi, meskitpun tahu pandangan Andrew terus mengikuti punggungnya. Kelegaannya luar biasa. Dia akhirnya berhasil menyingkirkan Andrew. Pelita akan terus bersamanya. Mereka tak akan terpisahkan.

**

Aku akan balik dengan cerita baru setelah TITIK BALIK kelar ya. Doain biar nggak lama lagi. Dan ... Brondong Digda udah open PO, sila menghubungi olshop langganan. Kara-Kambing akan menyusul di Februari. Makasih...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro