Dua Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akan slow banget ya. Agak susah nemu feel-nya karena udah mulai lupa ceritanya. Aku hampir kepikiran nyerah sama naskah ini, tapi kasihan sama yang ngikutin. Iya, otor nyebelin. hehehe...

**

 "Hari ini Pelita dong mau berenang bareng Om Robby." Pelita melompat-lompat di atas ranjang. "Asyik banget. Mama ikutan dong. Om Robby pinter banget nyelamnya. Nanti Pelita juga bakalan pinter kayak Om Robby," katanya percaya diri.

Pelita sudah berulang kali bercerita tentang keahlian Robby itu. Hara tidak ingin menghentikannya karena itu akan membuat Pelita cemberut. "Mama kan liburnya nanti besok, Sayang."

"Kalau gitu, ntar Pelita bilangin sama Om Robby supaya besok datang lagi ke sini. Jadi kita bisa berenang barengan gitu."

Hara buru-buru menggeleng. Dia tidak bisa membiarkan Pelita melakukan hal itu. "Om Robby pasti punya kerjaan lain. Dia nggak bisa datang tiap hari ke sini."

"Kan Pelita tanyain dulu, Ma. Bukan nyuruh."

"Nggak usah ditanyain. Om Robby pasti akan datang ke sini kalau nggak sibuk tanpa Pelita minta. Ini kan rumah dia juga."

Seperti yang Hara duga, wajah Pelita langsung tertekuk. "Mama nggak asyik. Om Robby dong, asyik."

Hara memutuskan melepas topik itu. Dia menggapai Pelita yang masih melompat-lompat. "Ayo turun sarapan." Biasanya kalau mereka terlambat turun, dokter Inggrid akan menyuruh salah seorang asisten untuk memanggil mereka. Rasanya masih tidak nyaman diperlakukan seperti itu padahal mereka bukan siapa-siapa.

Mereka sedang sarapan bersama dokter Lukito dan Inggrid ketika Pelita tiba-tiba berseru, "Om Robby... Om Robby udah datang dong!"

Hara sontak menoleh. Dia memang membelakangi ruang tamu, berhadapan dengan Pelita yang bisa melihat siapa pun yang masuk dari depan. Benar Robby. Hara pikir laki-laki itu baru akan siang atau sore nanti, saat dia sudah pergi jaga. Entah mengapa, tapi sikap diam Robby membuatnya selalu merasa canggung setiap kali mereka berinteraksi. Jadi Hara lebih suka kalau mereka tidak perlu bertegur sapa.

"Sekalian sarapan sama-sama, Rob," ajak Inggrid. Senyumnya lebar. Dia tahu untuk apa Robby datang ke sini sekarang. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya, tetapi itu tidak mengurangi kegembiraannya. Robby mungkin masih perlu waktu untuk memaafkannya, tetapi sering pulang seperti ini adalah langkah besar. Terima kasih untuk Pelita.

"Belum lapar. Tadi sudah minum kopi."

"Ya sudah, kamu makannya setelah berenang saja." Inggrid tidak memaksa. Mendengar Robby menanggapinya sudah sangat menyenangkan.

Robby tidak menjawab. Dia mengarahkan langkah menuju sofa di depan televisi dan duduk di sana.

Pelita mengunyah suapan terakhirnya buru-buru. Matanya sedikit membeliak saat menelan. "Pelita dong sudah kenyang," katanya setelah meminum susunya. "Sekarang boleh ganti baju biar bisa berenang sama Om Robby kan, Eyang?" Dia sepertinya tahu lebih mudah mendapat persetujuan Inggrid daripada Hara.

"Boleh. Makannnya nanti dilanjut lagi setelah berenang ya, sama-sama Om Robby. Pelita pasti belum kenyang karena makannya seiris roti aja gitu."

"Iya, Eyang." Pelita segera melesat menuju tangga.

"Hati-hati, Sayang...!" teriak Inggrid mengingatkan, yang hanya disambut tawa Pelita.

Hara hanya bisa mendesah melihat kegirangan Pelita. Anak itu terlihat sangat nyaman di rumah ini. Ya, dia memang masih terlalu kecil untuk memahami arti beradaan mereka di sini. Bagi Pelita, dokter Lukito dan Inggrid benar-benar eyangnya. "Maafkan dia, Pelita belum—"

"Jangan terus-terusan minta maaf dan membuat Pelita seperti melakukan kesalahan," potong Inggrid. "Dia hanya melakukan apa yang anak seumurnya lakukan. Pelita sangat manis. Anak perempuan memang beda. Dulu, Dewa dan Rajata benar-benar biang onar. Hanya Robby yang sejak kecil memang lebih tenang."

Hara tidak menjawab dan memilih menghabiskan makanannya dalam diam.

"Mama, bajunya susah dipakai nih!" Pelita turun kembali beberapa menit kemudian. Dia hanya memakai celana dalam sambil menenteng baju renangnya.

Hara buru-buru mendorong kursinya. "Saya duluan, Pak, Bu." Dia menghampiri Pelita yang tersenyum lebar.

"Celana dalamnya jangan dibuka di sini ya, Ma," bisik Pelita. "Malu. Pelita kan udah gede. Masa telanjang?"

Inggrid yang mendengar bisik-bisik itu tertawa. "Cucu Eyang beneran pinter. Celananya dilapis aja nggak apa-apa kok."

Hara mengikuti instruksi Inggrid dan memakaikan baju renang Pelita.

"Om Robby, Pelita dong udah siap!" teriak Pelita sementara Hara membantunya berpakaian.

"Belum siap," Hara mengoreksi.

"Sekarang udah kok." Pelita langsung berlari ke tempat duduk Robby begitu Hara selesai memakaikan baju renang. "Om, yuk berenang sekarang!"

Hara hanya bisa memandangi anaknya tak berdaya. Menegurnya hanya akan membuat dokter Inggrid mengulangi ceramah yang baru beberapa menit lalu diucapkannya. Jadi Hara hanya mengiringi Pelita dan Robby yang bergandengan menuju kolam.

"Kamu nggak sekalian gabung bareng mereka?" tanya Inggrid.

Hara sontak terbelalak. Dia buru-buru menggeleng. "Tentu saja tidak, Bu!" jawabannya terlalu cepat, sehingga dia segera meralat, "Maksudnya, saya sudah mandi, dan nggak mau masuk kolam lagi sekarang."

"Padahal Pelita pasti senang kalau kamu ikutan berenang." Inggrid seperti menyayangkan penolakan Hara.

Berenang bersama anak bungsu dokter Inggrid yang pendiam itu? Hara nyaris bergidik. Dia tidak akan melakukannya. Rasanya pasti kikuk. "Saya... saya ke atas dulu, Bu," dia buru-buru pamit. Dia harus kabur sebelum Pelita ikut-ikutan berteriak memanggilnya untuk bergabung di kolam renang.

**

Robby sedang memundurkan mobilnya saat melihat Hara keluar dari pintu depan. Perempuan itu sepertinya akan pergi bekerja. Robby tadi tinggal lama karena Pelita tidak melepasnya setelah mereka berenang. Selesai makan, Pelita membajaknya menonton film kartun sambil menjelaskan berbagai karakter yang ada di situ, seolah-olah penting untuk Robby mengenal mereka semua. Dia baru terbebas setengah jam lalu saat Pelita tertidur, dan salah seorang asisten mengambil alih gadis kecil itu dari gendongannya untuk dibawa ke atas.

"Mau ke rumah sakit?" Robby membuka jendela mobilnya saat berhenti di sisi Hara. "Sekalian saja," tawarnya. Apartemennya melewati tempat kerja Hara.

Hara mematung sejenak, lalu menggeleng. "Nggak usah repot-repot. Saya biasanya diantar Pak Mus kok." Dokter Inggrid membuat pengaturan baru itu setelah Hara bercerita tentang Andrew. Dia menyuruh Hara diantar Pak Mus, salah seorang satpam, untuk pergi dan pulang dari rumah sakit. Hara hanya mematuhi separuh perintah itu. Perginya dia memang diantar Pak Mus, tetapi pulangnya tetap menggunakan taksi online. Rasanya keterlaluan bersikap seperti nyonya besar di rumah yang bukan keluarganya.

"Nggak repot. Kamu nggak numpang pun saya juga tetap akan lewat di situ." Robby membuka pintu penumpang, dan mendorongnya dari dalam.

Hara tidak punya pilihan lain. Dia kemudian masuk dan duduk di samping Robby.

Mobil melaju membelah jalan raya dalam keheningan. Hara mulai menyesali keputusannya mengikuti laki-laki ini. Seharusnya dia tadi teguh menolak. Diantar Pak Mus jelas lebih nyaman. Dia tidak perlu memikirkan percakapan untuk mengoyak kebisuan. Pak Mus tidak keberatan tidak diajak ngobrol sepanjang perjalanan. Hara tidak bisa melakukan itu kepada Robby. Laki-laki itu sudah berbaik hati menghabiskan waktu dengan Pelita. Berkali-kali malah.

"Terima kasih sudah mau menemani Pelita," mulai Hara. "Tapi mungkin kamu sesekali harus menolak permintaannya. Dia suka ngelunjak kalau keinginannya selalu diikuti."

"Nggak apa-apa. Saya juga suka berenang."

"Bukan hanya soal berenang. Tempo hari dia mengajak kamu nonton juga, kan?"

"Filmnya lumayan kok. Saya juga sudah lama nggak nonton film kartun."

Hara jadi kehilangan kata-kata. Apalagi yang harus dia katakan?

"Oh ya, kamu sudah bertemu dia?" tanya Robby mengalihkan percakapan.

Hara tahu siapa yang dimaksud dengan 'dia' itu. "Andrew nggak pernah menemui saya lagi setelah kamu melihatnya malam itu. Semoga dia memang memutuskan untuk nggak mengganggu saya lagi. Saya mungkin egois dengan menyembunyikan Pelita dari dia, tapi saya nggak suka kerumitan. Keadaannya akan rumit kalau dia dan keluarganya tahu keberadaan Pelita." Ya, Pelita akan menjadi drama babak baru kalau Andrew tahu mereka punya anak. Hara merasa tidak cukup kuat untuk mengahadapinya. Drama di masa lalu saja, saat dia harus mendengar tuduhan ibu Andrew belum benar-benar terlupa. Hatinya masih terasa sakit setiap teringat.

Robby tidak mengatakan apa-apa. Hara bersyukur karenanya. Membuka diri tidak mudah, apalagi dengan seseorang seperti Robby yang tidak terlalu dikenalnya. Hara menarik napas lega saat melihat rumah sakit tempat kerjanya sudah di depan mata. "Biar saya turun di depan saja," katanya. "Repot lagi mutarnya kalau kamu masuk."

Robby seperti tidak mendengarnya karena membelokkan mobil memasuki area rumah sakit. Hara mengernyit saat Robby tidak menurunkannya di bagian depan, tetapi langsung masuk di tempat parkir. Mungkin Robby punya janji dengan Rajata di sini, pikirnya. Suami Mika itu biasanya ke rumah sakit di akhir pekan kalau punya jadwal operasi.

Hara melepas sabuk pengamannya. "Terima kasih, saya—"

"Saya melihat mobilnya di depan kita. Dia masuk duluan." Robby ikut membuka sabuk pengaman. "Kamu mungkin butuh bantuan untuk menghadapinya." 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro