Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Anak itu bergerak lincah di dalam kolam dengan pelampung yang melingkar di pinggangnya. Tawanya sesekali terdengar. Robby mengawasinya dari pinggir kolam. Dia tadi mampir ke rumah orangtuanya karena Dewa menumpang mobilnya. Dewa dan Kinan janjian bertemu di rumah orangtuanya untuk makan malam.

Pelita yang melihat kedatangan Robby lantas menyeretnya ke kolam renang. Anak kecil itu belum mengerti penolakan. Atau mungkin juga Robby memang yang tidak sungguh-sungguh menolak. Sulit mengatakan "tidak" pada bola mata besar yang menatapnya penuh permohonan.

"Om Robby ikut berenang juga dong...!" teriak Pelita sambil mengepak di dalam air.

Robby sebenarnya sudah mengganti setelan kantornya dengan kaus dan celana pendek yang dia ambil dari lemari di kamarnya, tetapi dia tidak berniat ikut berenang. Dia hanya bermaksud mengawasi Pelita dari pinggur kolam. Anak itu memang memakai pelampung, tetapi apa saja bisa terjadi. Robby tidak ingin Pelita mengalami sesuatu yang buruk dalam pengawasannya. "Kamu saja yang berenang," jawab Robby. Dia mengelilingi tepi kolam untuk mendekati tempat Pelita mengepak-ngepak. "Biar Om lihat dari sini."

Pelita mencebik. "Om Robby nggak asyik." Dia lantas menepukkan tangan di permukaan air dan memerciki Robby dengan tangannya yang kecil. "Ayo dong, Om. Berenang sendiri nggak enak."

Robby mengawasi ujung celananya yang terkena percikan air. Dia lalu mengedik tak peduli. Berenang sebentar pasti tidak masalah. Dia melepas kaus, melemparnya ke kursi kolam, sebelum akhirnya melompat masuk. Pelita tertawa kegirangan melihat usahanya membujuk Robby ikut berenang akhirnya berhasil. Dia kembali memerciki Robby dengan air.

Kali ini Robby membalasnya sehingga Pelita menjerit-jerit. Robby mengguyur wajah Pelita tanpa henti sehingga gadis kecil itu sulit mengambil napas. "Ampun, Om... ampun, Om...!" Anak itu berusaha menjauh, tetapi Robby menangkap dan memanggulnya di bahu. Dia ikut tertawa mendengar jeritan kegirangan Pelita. Tawa gadis kecil itu benar-benar menular.

Setelah itu dia tertegun. Kapan terakhir kali dia tertawa lepas? Rasanya sudah lama sekali. Hanya Dhesa yang tahu bagaimana memancing tawanya. Sebenarnya, tidak semua lelucon yang diceritakan Dhesa itu lucu. Tetapi ekspresinya saat bercerita itu yang mengundang tawa. "Jangan terlalu serius dan pendiam gitu dong," kata Dhesa selalu mengulang-ulang. "Kamu tetap cakep banget kok kalau tersenyum atau tertawa." Dan biasanya Robby akan tersenyum. Sulit merespons kalimat seperti itu tanpa senyum.

"Sebaiknya kalian naik sekarang." Setengah jam kemudian, Ingggid sudah berada di pinggir kolam dengan handuk di tangan. "Sudah mulai dingin. Nggak bagus untuk Pelita."

"Aah... Eyang, Om Robby kan belum lama nyeburnya," protes Pelita. "Pelita nggak dingin kok. Beneran."

Robby mengawasi suasana yang mulai temaram. Lampu teras dan lampu-lampu di sekeliling kolam sudah dinyalakan. "Memang sudah hampir gelap," katanya kepada Pelita. "Berenangnya kita lanjutin kapan-kapan aja, ya." Dia kembali memanggul Pelita dan membawanya ke tepi kolam.

"Pelita hari sabtu libur, Om. Om Robby ke sini dong, biar kita bisa berenang lama-lama. Mama nggak asyik. Dia juga nggak jago berenangnya."

Robby tidak segera menjawab. Dia tidak ingin menjanjikan sesuatu yang mungkin saja tidak bisa dia tepati. Datang ke rumah ini belum terlalu nyaman, padahal dia sudah tinggal di sini sejak lahir.

"Om Robby, Om bisa datang, kan?" Pelita mengulang permintaannya. Dia terus menatap Robby. Sorotnya penuh pengharapan.

"Datang saja." Inggrid mengulurkan salah satu handuk yang dia pegang kepada Robby sebelum menyelimuti Pelita dengan handuk yang lain. "Kadang-kadang dia kesepian kalau kami semua ke kantor. Hara juga nggak selalu libur saat weekend."

Robby balas menatap Pelita. Gadis itu tersenyum memamerkan gigi-giginya yang kecil dan rapi. "Baiklah. Kita akan berenang lagi hari sabtu."

"Hore...!" Pelita melompat-lompat di sisi Inggrid. "Asyik. Om Robby baik deh. Iya kan, Eyang?"

"Iya," jawab Inggrid. "Sekarang Pelita masuk, biar eyang mandiin. Habis itu pakaian, dan kita makan malam."

"Om Robby makan di sini juga kan?"

"Iya, Om Robby makan di sini kok," jawab Inggrid mendahului Robby. "Ayo masuk!"

Langkah Robby tertahan. Dia mengawasi ibunya dan Pelita yang beriringan masuk rumah lebih dulu.

Saat turun kembali setelah berganti pakaian, Robby melihat seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul di meja makan. Dia tidak menyangka Rajata dan Mika akan datang juga. Dewa tidak menyebut-nyebut soal makan malam bersama ini saat tadi minta diantar ke sini karena mobilnya sedang menginap di bengkel.

"Pelita bilang kalian tadi berenang bareng," kata Mika saat Robby mengambil tempat duduk di sebelahnya.

Robby melihat Pelita yang duduk di hadapannya sambil memamerkan gigi. "Iya," jawabnya setengah meggumam. "Aku baru sadar kalau sudah lama nggak berenang."

"Om Robby berenangnya jago banget!" Mata Pelita membesar, menampilkan ekspresi kagum. "Tadi dong, Om Robby nyelamnya jauh dan lama gitu. Nanti juga Pelita mau belajar nyelam. Hari sabtu kita berenang bareng lagi kan, Om?"

Anak itu sepertinya tidak akan membiarkan Robby melupakan janji. "Iya, hari sabtu kita bisa berenang bareng lagi."

"Asyiiiiikk...!"

Suasana di meja makan itu tidak secanggung biasa. Terutama karena semua orang sibuk memberi perhatian kepada Pelita yang makan dengan lahap. Dia tidak menolak lauk apa pun yang disendokkan ke piringnya oleh Inggrid. Berenang membuat anak itu tampak kelaparan. Robby mengamati interaksi ibunya dan Pelita. Keduanya terlihat sangat dekat.

"Hara masih di rumah sakit?" pertanyaan Kinan mengalihkan perhatian semua orang dari Pelita.

"Iya. Ibu sudah bilang supaya dia ambil sif pagi saja, jadi bisa punya lebih banyak waktu untuk Pelita, tapi katanya nggak usah," jawab Inggrid setengah menggerutu. "Kadang-kadang Ibu khawatir juga kalau dia pulang malam-malam kayak gini. Disuruh bawa mobil nggak mau. Dia bilang nggak bisa nyetir. Anak itu kelihatannya saja lembut dan pendiam, tapi sebenarnya keras kepala."

"Keras kepala dan punya prinsip itu beda, Bu," sela Mika.

"Pembelaan dari orang yang sama keras kepalanya," sambut Kinan.

Robby mendengarkan sambil menekuri piring. Mungkin sering-sering pulang ke rumah bukan ide yang terlalu buruk. Iya, ibunya memang mengambil keputusan yang buruk di masa lalu, tapi dia tetap saja perempuan yang sudah melahirkannya. Mika dan ibunya saja sanggup memberi maaf, mengapa dia terus berkeras memelihara kekecewaan? Itu toh tidak akan membawa Dhesa dan anak mereka kembali.

Hanya saja, memperbaiki hubungan bukan sesuatu yang mudah. Robby tahu itu. Terlebih lagi dengan sifat tertutup yang dia miliki.

"Lodehnya enak. Kamu suka sayur lodeh dari kecil." Suara Inggrid membust Robby mengangkat kepala dari piringnya. Dia melihat ibunya memegang sendok sayut. "Mau tambah?"

Suasana di meja makan langsung hening. Semua orang seperti sepakat menahan sendok di udara supaya tidak berdenting saat bersentuhan dengan piring. Robby menyadari itu. Dia tahu semua menanti reaksinya. Dia memilih mengalah dan mengulurkan piringnya kepada Inggrid. Terdengar desahan lega, entah dari siapa. Robby juga tidak terlalu ingin tahu.

Inggrid menyendok sayur itu ke piring Robby. "Sayurnya... sayuranya beneran enak." Suaranya terdengar serak.

"Eyang, Pelita juga dong mau sayur kayak Om Robby." Pelita ikut menunjuk piringnya.

Inggrid tersenyum menatap gadis kecil itu. "Anak pinter emang harus banyak makan sayur."

**

Robby menunggu sampai Dewa dan Rajata pergi lebih dulu sebelum masuk mobilnya dan bersiap meninggalkan pekarangan rumah orangtuanya. Di depan gerbang, dia melambatkan laju mobil. Ada mobil lain yang berhenti tidak jauh dari situ. Dia kemudian melihat Hara turun dari mobil itu. Naik taksi online memang lebih aman daripada mengemudikan motor di musim hujan seperti sekarang. Ibunya bilang, Hara biasanya ke rumah sakit menggunakan motor.

Robby memilih melanjutkan perjalanan. Dia tidak menurunkan kaca untuk menegur Hara ketika perempuan itu akhirnya berjalan di sisi mobilnya. Mereka memang keluarga, tetapi tidak cukup dekat untuk basa-basi seperti itu.

Baru beberapa meter meninggalkan pintu gerbang, Robby melihat ada mobil lain yang berenti di kejauhan. Itu agak aneh. Rumah orangtuanya tidak terletak di kawasan yang padat, jadi mudah untuk curiga saat melihat ada mobil yang parkir di antara rumah orangtuanya dan tetangga mereka. Orang itu jelas tidak bermaksud mengunjungi salah satu dari rumah tersebut.

Robby melambatkan laju mobilnya. Dia lantas melihat sopir mobil yang terparkir itu keluar dari kendaraannya. Robby bisa melihat rautnya dengan jelas dengan bantuan lampu depan mobilnya. Dia merasa seperti pernah melihat orang itu di suatu tempat. Wajah laki-laki itu tidak asing. Setelah mobilnya melaju cukup jauh, Robby akhirnya teringat. Itu laki-laki yang bersama Hara di atas atap rumah sakit. Ayah kandung Pelita. Untuk apa dia mengikuti Hara sampai di tempat ini?

**

Jadwal terbit novelku agak padat di awal tahun, jadi kalau ingin dapet info soal itu, sila follow IG @titisanaria  mungkin aja novel yang kamu tunggu masuk dalam jalur padat itu. makasih


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro