Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nggak tahu kenapa, tapi notif update kemaren sore sampai saat ini nggak masuk. Semoga yang ini nggak bernasib sama. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Robby mengambil tempat di sisi Dewa yang lantas menepuk bahunya. Bahkan setelah sekian lama, dia masih memilih menghindari tatapan ibunya. Semua orang dalam keluarga itu tahu hubungan Robby dan ibunya masih menyisakan ganjalan, tetapi tidak ada yang membahasnya.

"Lo kok datangnya telat banget sih, Rob?" Kinan, istri Dewa protes. "Kan, sudah dibilang acara makan siang. Ini udah sore banget lho."

"Ada kerjaan, Mbak." Robby mengeluarkan ponsel setelah bersandar nyaman di punggung sofa. Benda itu akan membantunya menghindari percakapan yang tidak diinginkannya.

"Langsung makan dulu aja, Nak," Inggrid, ibunya menimpali. Dia tahu mungkin tidak akan mendapatkan perhatian Robby, tetapi dia setidaknya mencoba. Setelah peristiwa beberapa tahun lalu, Inggrid tahu jika simpul erat yang tadinya menghubungkan dia dengan anak bungsunya itu merenggang. Ada jarak yang sengaja dipasang Robby di antara mereka. Inggrid terus mencoba menggerus jarak kasat mata itu, tapi Robby tidak mengizinkannya. Anak itu terus menjauh, setiap kali dia mendekat.

Inggrid tidak menyalahkannya. Apa yang dia lakukan dulu memang salah. Penyesalan kental itu masih terasa di dalam hatinya, dan dia tahu kalau dia akan membawanya seumur hidup. Dia bertanggung jawab untuk ketidakbahagiaan anaknya sendiri. Seandainya saja dia bisa melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Namun, semua sudah telanjur. Penyesalan sedalam apa pun tidak akan membuat kekasih anaknya, dan cucunya kembali.

"Nanti, Ma," Robby menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel yang dia pegang dengan kedua tangan. "Tadi udah makan di kantor." Itu bohong. Dia belum makan apa pun setelah sarapan secangkir kopi dan sepotong roti. Dia sengaja melewatkan makan siang karena bermaksud makan di sini. Hanya saja, rasa laparnya mendadak hilang sejak melewati gerbang rumah orangtuanya.

Bagaimana dia bisa menikmati hidup setelah memberikan begitu banyak kepahitan kepada perempuan yang dia cintai? Apakah dia masih layak disebut manusia setelah mengambil nyawa orang-orang yang seharusnya dia jaga dengan jiwanya sendiri? Dia laki-laki gagal. Tidak berguna. Sampah.

"Eyang, Pelita boleh makan lagi, nggak?" Suara itu memecah keheningan yang tercipta karena semua berfokus pada interaksi Robby dan Inggrid. "Biar gedenya lebih cepet gitu."

"Boleh dong," Mika, ipar Robby, buru-buru menjawab pertanyaan itu untuk memutus kecanggungan yang mendadak tercipta. Dia istri Rajata, kakak Robby. "Makannya sama Tante Mika aja, ya." Dia menoleh kepada Robby yang masih menekuri ponsel. "Rob, yuk, sekalian makan bareng Pelita. Biar dia ada temannya."

Kali ini Robby mengangkat kepala. Tidak perlu diajak dua kali, dia segera mengikuti Mika yang melangkah ke ruang makan lebih dulu sambil menuntun anak kecil bernama Pelita itu.

Robby tidak menolak lagi bukan karena lapar, tetapi karena dia tidak mau membantah Mika. Mengkuti apa pun yang istri kakaknya itu perintahkan tidak akan mengurangi rasa bersalahnya, tetapi dia jelas tidak akan pernah mengatakan "tidak" kepada Mika. Ya, Mika adalah kakak kandung Dhesa. Takdir mempertemukan mereka dalam ikatan yang rumit ini.

Seandainya Dhesa masih ada, mungkin Dhesa-lah yang akan masuk dalam keluarganya dan berbaur seperti sekarang, bukan Mika. Robby mengembuskan napas panjang. Apa gunanya memikirkan hal mustahil seperti itu sekarang?

"Pelita mau makan pakai lauk apa?" Mika menyendok nasi dan menyerahkannya kepada Robby, kemudian mengambil satu piring lagi untuk Pelita.

"Makasih, Mbak." Robby menerima piring itu. Mika selalu baik kepadanya. Kebaikan yang tidak seharusnya dia dapatkan setelah apa yang dia lakukan kepada Dhesa. Perlakuan Mika itu membuat Robby semakin menyalahkan diri.

"Pelita mau sate dong, Tante," jawab Pelita riang. "Nanti Pelita makan sendiri aja, nggak usah disuapin. Pelita, kan, udah gede. Mama bilang, nanti Pelita boleh sekolah lagi kalau Mama udah nemu sekolah dekat rumah Eyang ini. Tapi Mama kok belum pulang, ya? Iya sih, makanannya masih banyak, dan Mama pasti kebagian, tapi nggak bisa makan sama-sama Pelita."

"Mama Pelita kan masih kerja. Pulangnya malam. Nggak usah ditungguin. Pelita tidur aja. Anak-anak nggak boleh tidur malam banget."

Robby mengikuti percakapan antara Mika dan anak kecil itu. Ada yang aneh. Kalau tidak salah tangkap, sepertinya anak itu tinggal di rumah ini. Namun Robby tidak ingin bertanya. Dia melanjutkan suapannya.

"Iya, Tante. Eyang juga bilang gitu. Pelita nggak boleh tidur malem banget."

"Pelita betah tinggal di sini?" Pertanyaan Mika itu membenarkan dugaan Robby, tetapi dia tidak peduli. Bukan urusannya juga.

"Betah, Tante. Di sini enak banget. Pintu kamar mandinya rusak sih, tapi air hangatnya banyak, nggak usah masak pakai kompor kayak di rumah Eyang yang di surga. Trus sama Eyang di sini, Pelita dibeliin kue tiap hari. Enak-enak banget kuenya. Eyang di sini juga baik banget."

Robby memperhatikan Mika yang tertawa sambil mengusap rambut Pelita. Sebuah pikiran lantas terbersit. Apakah anak itu mengingatkan Mika kepada keponakannya, anaknya bersama Dhesa? Kalau anak itu masih hidup, dia pasti juga akan lucu seperti Pelita. Belum sebesar Pelita, tapi pasti secantik Dhesa. Tidak ada perempuan lain yang memiliki paras seperti Dhesa. Anak mereka mungkin juga akan secerewet Pelita, karena Dhesa yang periang selalu bicara tentang apa saja. Tertawa dengan mudah, untuk hal yang garing sekalipun. Suara tawa yang selalu menyenangkan untuk didengar.

"Tentu aja Eyang sayang Pelita. Kan, Pelita anak baik. Kapan-kapan Pelita mau ikut Tante Mika dan Om Rajata ke Dufan? Pelita bisa main sampai puas di sana."

Mata Pelita langsung bersinar. "Wahhh.... Mau... mau! Mama bilang nanti Pelita juga mau diajak ke Dufan, tapi tunggu Mama ada waktu dan duitnya dulu, biar bisa sekalian beli mainan yang banyak. Tante Mika udah punya duit?"

"Punya dong." Mika tertawa sambil mencubit pipi Pelita. "Kan, cuman buat main dan beli mainan aja. Nanti bisa minta dibayarin Om Rajata kok."

"Emang Om Raja duitnya banyak?"

Robby terus mengawasi Pelita dan Mika. Anak itu benar-benar cerewet. Namun, menyenangkan melihat tawa Mika yang tampak lepas.

**

Robby mengurungkan niat memutar kunci kontak saat mendengar jendela mobilnya diketuk. Mika. Dia tidak melihat iparnya itu menyusulnya saat dia tadi pamit pulang. Robby menurunkan jendela.

"Iya, Mbak?"

"Sebenarnya Mbak nggak mau ngomongin ini sama kamu, tapi kayaknya sekarang harus." Mika membuka pintu dan duduk di sebelah Robby. "Ini mungkin bukan urusan Mbak, dan kamu bisa saja marah karena akan menganggap Mbak mengajari dan ikut campur, tetapi harus ada orang yang melakukan ini."

Robby mendesah. Dia bisa menduga apa yang akan dibicarakan Mika, dan sebenarnya dia enggan membahasnya, terutama dengan iparnya itu.

"Sampai kapan kamu akan bersikap dingin gitu sama Ibu?"

"Mbak...."

"Mbak juga butuh waktu untuk memaafkan Ibu. Masuk ke keluarga kalian sama sekali nggak gampang, tapi Mbak kemudian sampai pada satu titik yang menyadarkan Mbak kalau kebahagiaan Mbak lebih penting daripada memelihara semua sakit hati. Dan kebahagiaan Mbak itu kakak kamu. Jadi Mbak berusaha menerima Ibu, karena dia satu paket dengan kakak kamu."

Robby membuang pandangan keluar jendela. Dia tidak akan pernah siap melakukan percakapan yang melibatkan Dhesa. "Mbak, tolonglah...."

"Mbak akan kedengaran nggak berperasaan dan terkesan mengabaikan Dhesa karena mengatakan ini, tapi sudah saatnya kamu melepaskan Dhesa dan melanjutkan hidup kamu. Memaafkan Ibu nggak mungkin sedemikian sulit. Dia ibu kamu. Ibu juga tahu dia salah. Dia punya penyesalan sendiri tanpa perlu kamu ingatkan."

"Aku sudah memaafkan Ibu," Robby menyela, mengambil jeda yang tercipta. "Tapi itu nggak membantu aku untuk melupakan apa yang sudah aku lakukan sama Dhesa."

Mika mendesah. Dia bisa merasakan kalau percakapan dari hati ke hati yang sedang coba dibangunnya ini tidak akan membuahkan hasil seperti yang diinginkannya. "Dhesa nggak akan bahagia kalau tahu kamu menyiksa diri kayak gini. Kamu adik Mbak sekarang, dan sudah kewajiban Mbak untuk mengingatkan."

"Makasih, Mbak. Aku ngerti, tapi aku baik-baik aja kok."

"Kamu nggak baik-baik saja. Kamu sendiri tahu itu." Mika merasa tidak ada gunanya melanjutkan percakapan. Dia lantas membuka pintu mobil. "Salam dari Mama. Dia bilang makasih kamu sudah mau repot-repot mampir untuk mengurus kebunnya selama dia pergi."

"Nggak masalah. Aku suka kok melakukannya. Mama kapan pulang?" Robby lega ketika Mika akhirnya mengalihkan percakapan.

"Minggu depan. Dia pasti akan menghubungi kamu kalau sudah balik lagi ke rumah." Mika keluar dari mobil dan menutup pintu. Dia lantas menunduk ke jendela mobil yang masih terbuka. "Seenggaknya, maafkan diri kamu sendiri. Jangan membebani Dhesa dan anak kamu dengan duka yang nggak berhenti kayak gini."

Robby tidak menjawab. Dia lantas membawa mobilnya melaju kencang saat Mika melangkah mundur. Rahangnya mengeras, dan air matanya lantas jatuh. Dia merindukan Dhesa. Sangat. 

**

Follow Instagram @titisanaria ya. Info update ada di sana kalau notif sedang ngambek.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro