Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Dhesa. Robby masih ingat jelas pertama kali dia melihat gadis itu. Sore itu matahari sudah hampir tergelincir sepenuhnya. Robby baru saja hendak membuka pintu mobil ketika pandangannya menangkap seorang gadis berambut panjang berjongkok di samping sebuah motor. Keluhannya yang merutuki motor itu terdengar di telinga Robby. Biasanya dia tidak terlalu ambil pusing dengan hal-hal seperti itu. Hanya saja, tempat parkir waktu itu sudah sepi, dan rasanya keterlaluan kalau dia tidak menawarkan pertolongan, atau setidaknya bertanya. Ini memang di kawasan kampus, tetapi kemungkinan ada orang iseng yang mengganggu gadis itu tetap saja ada.

"Hai, mogok ya?" tanya Robby setelah berada di samping gadis itu.

Saat kepala itu terangkat untuk melihatnya, Robby seketika terpaku. Gadis itu sangat cantik. Suasana waktu itu memang remang-remang, tetapi mata gadis itu tetap saja terlihat bersinar.

"Iya nih. Mogoknya nggak lihat-lihat waktu." Gadis itu berdiri. Dia tersenyum tipis, meskipun sisa kekesalannya masih tampak. "Bikin gue bingung sendiri."

"Sudah coba starter manual?"

"Udah. Betis gue sampai pegel. Padahal bensinnya masih banyak. Beberapa hari ini emang ada bunyi nggak resmi yang kedengaran sih, tapi gue nggak bawa ke bengkel karena gue pikir nggak apa-apa. Motornya juga belum setahunan dibeli. Nggak mungkin rusak, kan?" Gadis itu bicara panjang lebar, dan entah mengapa intonasinya membuat Robby nyaris tersenyum. Bukan reaksi yang biasanya dia tunjukkan kepada orang yang baru pertama kali dia temui.

"Gue coba dulu, ya." Robby memutar kunci kotak dan mencoba menyalakan mesin motor secara manual, tanpa menunggu persetujuan gadis itu.

Gadis itu menyingkir, memberi ruang lebih kepada Robby. "Makasih. Semoga bisa. Gue nggak ngerti apa pun soal mesin motor."

Mesin motor itu menolak berbunyi, meskipun Robby sudah mencoba. "Ini olinya kapan terakhir diganti?"

Gadis itu sekarang meringis dengan wajah jenaka. Tak ada bekas kekesealan lagi. "Nggak tahu. Gue cuman tahu pakai doang. Ini warisan kakak gue."

"Di depan sana ada bengkel. Semoga aja masih buka. Gue dorong sampai ke sana, ya?" Robby menawarkan. Hanya itu hal masuk akal yang bisa dia usulkan kepada gadis itu.

Gadis itu tampak ragu-ragu. "Itu mobil lo, kan?" Dia menunjuk mobil Robby. "Gimana dong?"

"Gampang, ntar gue balik ke sini lagi kalau sudah nganterin motor lo ke bengkel. Yuk!" Robby mulai mendorong motor itu.

Gadis itu melangkah di sampingnya. "Maaf banget sudah bikin lo repot, ya. Jadi nggak enak. Oh ya, nama gue Dhesa."

"Robby."

Untuk pertama kalinya Robby merasa tertarik kepada seseorang yang baru pertama kali dia temui. Dan ketertarikan itu semakin membesar setelah mereka bertemu kembali kemudian. Menyukai Dhesa sangat mudah. Bukan hanya karena gadis itu sangat cantik, tetapi karena pembawaannya yang riang. Dia kebalikan Robby yang pendiam. Dhesa selalu punya bahan obrolan yang tidak akan membuatnya bosan. Robby merasa dia dan Dheda seperti dua belah keping mata uang yang berbeda, tetapi tidak terpisahkan.

"Kamu nggak perlu takut," Robby menenangkan saat Dhesa meringkuk dalam pelukannya setelah mereka melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan dalam bentuk hubungan mereka yang masih sebatas pacaran. "Aku nggak akan ke mana-mana. Kalau kenapa-napa, kita bisa menikah."

Betapa mudah Robby menjanjikan hal itu kepada Dhesa yang percaya sepenuhnya kepadanya. Gadis yang mencintainya dengan segenap jiwa.

"Aku hamil," Dhesa mengatakan hal itu sambil berurai air mata panik dua bulan kemudian. "Kita mesti gimana? Aku takut banget sama Kak Mika. Dia akan kecewa banget kalau sampai tahu aku kayak gini. Dia percaya banget sama aku, dan aku menghancurkan kepercayaannya."

"Kita akan menikah." Robby masih ingat dia begitu yakin saat mengucapkan kalimat itu. "Aku akan ngomong sama Mama." Dia memeluk Dhesa untuk membuat gadis itu merasa lebih tenang. "Kita bisa tetap kuliah setelah menikah, kan? Kita akan baik-baik saja. Percaya sama aku. Aku janji kita akan baik-baik saja. Mama akan mengurus kita."

Seandainya Robby tahu kalau memberitahu ibunya membuat dia akan terpisah dengan Dhesa, dia tidak akan melakukannya. Dia akan memilih meminta perlindungan kepada Dewa atau Rajata. Kedua kakaknya itu pasti tidak akan tega membuat dia dan Dhesa berpisah. Dia membuat janji yang tidak dia tepati. Dia yang membuat Dhesa merasa tidak diinginkan sehingga kesulitan menghadapi hidup. Perannya sangat besar sehingga Dhesa terkena post partum depression dan akhirnya memutuskan mengakhiri hidup dan membawa anak mereka yang masih berusia beberapa bulan bersamanya.

Robby tahu persis kalau dirinya tidak lebih daripada seorang laki-laki pecundang. Seharusnya Tuhan mengambil nyawanya, bukan nyawa Dhesa dan anak mereka, karena dialah yang harus dihukum. Seandainya dia diizinkan bertukar tempat, Robby tahu dia bersedia mengambil opsi itu. Sekarang dia hidup, tetapi jiwanya serasa kosong. Dhesa sudah membawa semua semangat hidup dan cinta yang pernah dia miliki. Semua, tak menyisakan sedikit pun untuk dirinya sendiri.

**

Hara terbangun saat sinar matahari terasa menyilaukan. Dia mengerjap malas. Semalam dia tertahan cukup lama di rumah sakit. Ada pasien kecelakaan yang masuk menjelang jam jaganya selesai. Karena sudah telanjur mengerjakannya, dia tidak bisa melepaskan pasien tersebut begitu saja meskipun dokter jaga lain sudah datang. Dia harus menyelesaikan menjahit luka yang lumayan besar di kedua lengan pasien itu, juga mengisi rekam mediknya. Sudah tengah malam ketika dia sampai di rumah. Pelita sudah tertidur nyaman di ranjang.

Hara menoleh ke samping dan melihat Pelita sudah tidak ada di sampingnya. Anak itu pasti sudah ada di bawah setelah menguakkan gorden. Hara segera bangkit menuju kamar mandi. Dia akan mandi sebelum menyusul Pelita di bawah.

Tinggal di rumah dokter Inggrid ini sebenarnya membebani Hara, karena dia merasa menumpang fasilitas tanpa memberikan apa pun sebagai timbal balik. Di rumah ini ada beberapa asisten rumah tangga yang akan segera melarang Hara mengerjakan apa pun saat dia menawarkan bantuan.

"Istirahat, atau main sama Pelita saja," kata dokter Inggrid saat melihat Hara memegang sapu. "Sudah ada orang yang akan mengerjakan itu. Saya nggak minta kamu pindah ke sini untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kamu sudah cukup capek kalau pulang kerja."

Hara tahu kalau Pelita sangat menikmati tinggal di rumah ini karena dokter Inggrid dan dokter Lukito memanjakannya. Keduanya kerap membawakan kue-kue untuk Pelita saat pulang kerja. Kadang-kadang, mereka malah membawa Pelita jalan-jalan keluar rumah, di akhir pekan, saat dia sedang jaga. Pelita yang bercerita dengan penuh semangat.

"Ma.... Tadi, kan, Pelita diajak Eyang ke tempat yang jelek banget, tapi bisa bikin ayunan," katanya. "Eyang bilang mau pesenin ayunan gitu untuk Pelita main di samping, biar Pelita nggak bosan dan betah tinggal di sini. Pelita suka ayunan sih, tapi tetap betah kok biar nggak pakai ayunan." Dan keesokan harinya, Hara melihat ayunan itu sudah dipasang di teras samping.

Lain kali Pelita akan berkata, "Tadi, kan, Pelita diajarin belajar berenang sama Eyang. Mama sih nggak ada, jadi nggak ikut diajarin. Eyang bilang, nanti Pelita dibeliin baju berenang, supaya celana dalemnya nggak lepas-lepas kalau Pelita goyang-goyang dalam air. Ma, kita nggak pindah-pindah lagi, kan? Pelita suka kok di rumah Eyang yang ini. Ada ayunan dan kolamnya. Makanannya banyak. Juga nggak ada Eyang Broto yang suka ngomel kalau Pelita tanya-tanyain. Eyang Broto sih aneh, ditanyain malah ngomel-ngomel. Katanya Pelita cerewet banget. Padahal kan Pelita nggak cerewet. Cuman nanya, masa dibilang cerewet?"

Beberapa minggu lalu, Pelita langsung melompat-lompat saat melihat Hara pulang dari rumah sakit. "Ma, tadi kan, Pelita diajak Eyang ke sekolah baru. Bagus banget. Lebih bagus dari sekolah Pelita yang dulu. Suka... suka...suka... Pelita suka."

" Maaf nggak bilang sama kamu kalau saya daftarin Pelita di Play Group," Sambung dokter Inggrid yang kebetulan berada di situ bersama Pelita. "Kalau bilang, kamu pasti menolak dan merasa nggak enak. Kalau sudah telanjur gini, mau nggak mau kamu harus terima juga. Mulai besok Pelita akan sekolah. Biar diantar dan ditungguin Pak Mus. Kamu kerja saja, nggak usah khawatir. Jadi orangtua tunggal itu memang nggak mudah, jadi nggak perlu sungkan menerima bantuan orang."

Hara tidak berhasil menahan tetesan air mata, meskipun dia tidak mau kelihatan rapuh dan cengeng. Dia sebenarnya tidak suka dikasihani, tetapi dia memang tidak punya pilihan, kecuali menerima sekarang ini.

Kadang-kadang Hara bertanya-tanya apa sebenarnya apa yang ada dalam pikiran dokter Inggrid saat melihat perempuan itu termenung sambil mengusap kepala Pelita yang duduk di pangkuannya. Apakah dia sudah merindukan cucu, karena kedua menantunya belum ada yang memiliki anak?

**

Update-nya mungkin akan tersendat-sendat karena sulit menemukan ritmenya di bulan ramadan untuk nulis yang sellow mellow. Tapi bisa baca lapak baru yang judulnya IN LOVE WITH BRONDONG? OMG! itu lebih fast update karena genra-nya romcom.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro