Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Update-an sambil nunggu waktu ke bandara. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Tidak ada yang berbeda dari tempat yang sudah lebih dari setahun terakhir ini rutin dikunjungi Robby. Namun, seperti biasa dia selalu menyempatkan diri mengamati sekelilingnya sebelum bergerak masuk ke teras dan mengetuk pintu.

Hari ini juga sama. Dia mengelus semua pot yang berjajar di depan teras dengan pandangan. Perasaannya tetap sama seperti kunjungannya yang pertama. Semakin ke sini memang terasa lebih ringan, tetapi kerinduan itu tetap kental. Meskipun tahu mustahil, Robby tidak dapat mengingkari kalau dia mengharapkan sosok lain yang membuka pintu untuknya. Seseorang yang bukan perempuan setengah baya yang sekarang sudah berdiri di depannya sebelum dia mengetuk pintu.

"Sudah lama, Nak?" tegur perempuan itu sambil tersenyum. "Ibu nggak dengar kamu ngetuk pintu."

Robby meraih tangan perempuan itu dan meletakkannya di dahi. "Memang belum ngetuk, Bu."

Perempuan itu melebarkan pintu, memberi jalan bagi Robby untuk masuk. Dia adalah Gita, ibu Mika dan Dhesa. Robby memanggilnya ibu sesuai permintaan perempuan itu setelah dia sering bolak-balik ke tempat ini.

"Tadi Mika datang, tapi sekarang lagi keluar untuk jemput Rajata di rumah sakit. Katanya mau balik lagi buat jemput Pelita."

"Pelita?" Nama itu seperti tidak asing, tetapi Robby tidak ingat dia pernah mendengarnya di mana.

"Iya, Pelita. Ibu kira kamu kenal dia. Bukannya dia tinggal di rumah kamu? Anak itu tadi ketiduran saat Mika ditelepon Rajata. Kasihan kalau diangkat paksa ke mobil, jadi dia ditinggal di sini."

Ooh... Robby teringat anak kecil yang cerewet di rumah orangtuanya. Keluarganya itu rupanya kenal dekat dengan Mika sampai mengizinkan anaknya ikut iparnya itu ke mana-mana.

"Ibu baik?" Robby mengikuti langkah Gita masuk ke ruang tengah. "Maaf saya baru sempat datang jenguk."

"Ibu baik. Senang banget bisa jalan-jalan lagi setelah lama di rumah saja. Oh ya, terima kasih kamu sudah mau datang dan mengurus kebun belakang selama Ibu pergi. Sebenarnya kamu nggak perlu melakukannya. Mika bisa datang dua hari sekali untuk menyiram tanaman kok."

"Nggak apa-apa, Bu. Saya senang kok melakukannya."

Gita berbalik. Dia menatap Robby lama sebelum mengusap lengan anak muda itu. "Ibu suka kamu sering ke sini. Beneran. Ibu senang banget hubungan kita dekat seperti ini. Kamu sudah Ibu anggap anak sendiri. Tapi bukan Ibu yang berhak menerima perlakuan kamu yang seperti ini."

"Bu...." Robby sudah bisa menduga muara percakapan yang sedang dibangun Gita. Sorot prihatin di mata perempuan itu mengatakan secara tersirat. Sebentar lagi, Robby yakin dia akan mendengar apa yang selalu ingin dia hindari.

"Mika bilang hubungan kamu sama mama kamu nggak terlalu baik. Ibu nggak suka dengar itu. Sama Ibu, kamu bisa sebaik ini, tapi kamu nggak bisa menyelesaikan masalah sama mama kamu sendiri."

"Bu...." Tenggorokan Robby seperti tercekat. Hubungannya dengan ibu kandungnya pasti akan baik seandainya perempuan yang melahirkannya itu bisa sebijaksana ibu Dhesa.

"Ibu tahu kamu menyalahkan mama kamu untuk apa yang sudah terjadi sama Dhesa, tapi itu nggak sepenuhnya benar. Ada campur tangan takdir di sana. Ibu dan Mika pernah berada di posisi kamu. Rasanya memang lebih baik saat memiliki orang lain untuk disalahkan. Tapi yang sebenarnya ada di dalam hati kamu adalah perasaan menyalahkan diri sendiri. Sudah saatnya kamu melepaskan Dhesa. Memaafkan mama kamu, dan terutama, berdamai dengan diri kamu sendiri. Cobalah untuk bahagia. Demi Dhesa, juga untuk diri kamu sendiri."

Robby mengusap matanya yang basah. Bahagia? Bagaimana dia bisa melakukannya?

"Kamu masih muda dan sudah belajar banyak, Nak. Buka hati kamu untuk semua kemungkinan. Jangan seperti ini. Seandainya kamu sudah bersama orang lain pun, nggak berarti hubungan kita lantas terputus, kan? Kita keluarga sekarang. Mika sudah jadi kakak kamu. Nggak ada yang berubah."

Masalahnya tidak sesederhana itu untuk Robby. Dia tidak menginginkan kemungkinan lain. Saat ini, dia hanya ingin memeluk kenangannya. Tinggal di sana, karena masa lalu itu terasa sangat nyaman. Dia tidak ingin melepaskan diri.

"Tante Mika... Tante Mika...." Suara itu mengikis suasana sendu yang mengambang di udara, yang membungkus Robby dan Gita. Keduanya serempak menoleh ke sumber suara. Anak kecil yang memanggil nama Mika itu keluar kamar sambil mengucek mata.

"Pelita sudah bangun?" Gita menghampiri anak itu dan berlutut di depannya. "Tante Mika lagi keluar. Nggak lama kok. Pelita cuci muka aja dulu, habis itu minum teh sambil nunggu Tante Mika balik, ya?"

"Iya, Eyang." Pelita tidak langsung bergerak. Dia lantas menatap Robby. "Om kok di sini juga? Kalau sudah ketemu dua kali, bukan orang asing lagi, kan?"

Gita tertawa. Dia mengusap kepala Pelita. "Om Robby bukan orang asing, Sayang. Om Robby ini adik Tante Mika dan Om Rajata. Anak Eyang juga."

Pelita tampak berpikir. "Eyang di sini, atau Eyang di rumah gede tempat Pelita sama Mama tinggal?"

"Anak Eyang di sini dan di sana dong."

"Kok bisa gitu?" Pelita tampak tidak menerima penjelasan Gita. "Pelita mamanya cuman satu kok. Kok Om ini mamanya ada dua sih?"

"Om Robby," Gita meluruskan dan segera bangkit dan menuntun Pelita kembali ke kamar. "Yuk, kita cuci muka dulu, biar Pelita seger lagi."

Pelita mengikuti Gita, tapi matanya tetap terarah kepada Robby. "Tapi Om Robby beneran punya dua mama gitu, Eyang?"

"Jadi, ceritanya gini...."

Robby mengawasi sampai Gita dan Pelita menghilang ke kamar dan suara mereka tidak terdengar lagi. Dia kemudian beranjak menuju kebun belakang, tempat Gita menanam berbagai macam bunga, sayuran, berbagai bumbu dapur seperti seledri, daun bawang, lengkuas, jahe, dan beberapa tanaman lain. Ada yang ditanam langsung di tanah, di atas bedeng. Ada juga yang di dalam pot, atau plastik khusus untuk tanaman.

Kebun itu tidak terlalu besar, tapi karena ditata dengan baik, semua sudut termanfaatkan, sehingga ada banyak tanaman di sana. Robby tahu kalau kebun inilah yang membantu Gita menghabiskan hari-hari sepeninggal suaminya dan Dhesa. Pasti sangat sulit baginya kehilangan orang-orang yang begitu dicintainya. Dan hebatnya, perempuan itu dengan mudah memaafkan orang-orang yang menyebabkan buah hatinya direbut dengan kejam. Dirinya.

Robby tahu dia pantas mendapat umpatan, makian, atau mungkin juga pukulan. Namun, Gita tidak pernah melakukan itu kepadanya. Sejak pertama kali dia muncul di rumah ini setelah kematian Dhesa, Gita menerimanya. Tidak ada dendam.

Robby berjongkok memutar keran, lalu meraih selang, dan mengarahkan semprotan ke arah tanaman yang berada di dekatnya. Selama Gita pergi berlibur, dia rutin datang menyiram dan menyiangi rumput kecil yang tumbuh di kebun. Robby sendiri yang meminta pekerjaan itu saat mendengar Gita menyuruh Mika yang melakukannya. Menyiram tanaman hanya bantuan kecil yang tak berarti apa pun dibandingkan dengan apa yang sudah direbutnya dari kehidupan Gita.

"Sudah Ibu siram tadi." Air dari selang mendadak berhenti menyembur. Saat berbalik, Robby melihat Gita sudah memutar keran untuk mematikan air. "Ada tanaman yang nggak boleh kelebihan air. Nanti akarnya malah busuk. Masuk, yuk. Temani Pelita minum."

Robby menurut. Dia menggulung selangnya lalu menyusul masuk. Dia melihat anak kecil cerewet itu sudah duduk di meja makan sambil mengudap roti. Robby memilih duduk di sebelahnya, tempat Gita meletakkan cangkir teh panas untuknya.

"Om Robby mau roti juga?" Piring roti itu didorong di depan Robby. "Tapi jangan dihabisin, ya. Kata Eyang, Pelita boleh bungkusin buat Mama. Mama suka roti pisang juga."

Robby tidak tahu bagaimana harus menghadapi anak-anak. Dia anak bungsu, dan sepanjang ingatannya, dia hampir tidak punya interaksi dengan anak kecil. Apalagi dengan anak secerewet gadis kecil di sebelahnya ini.

"Eyang masih punya banyak roti kok, Sayang," Gita menjawab menggantikan Robby yang hanya diam saja. "Tante Mika juga suka roti pisang, makanya Eyang bikin roti yang banyak."

"Eyang Pelita yang di surga juga suka banget bikin roti sama kue lho. Tapi sekarang udah nggak lagi. Kata Mama, kalau di surga, Eyang nggak bikin roti lagi. Mungkin karena nggak ada makan roti Eyang di sana, ya? Padahal Pelita suka roti."

Gita tertawa. "Kalau gitu, Pelita harus sering main ke sini dong, nanti Eyang bikinin roti yang enak banget."

"Wahh... mau... mau... mau! Nanti kalau Pelita nggak sekolah, trus Mama libur kantor, nanti Pelita minta dianterin ke sini deh." Seketika raut gadis kecil itu menjadi mendung. "Tapi Mama jarang libur sih. Katanya, kalau rajin kerja, Mama bisa dapet duit banyak, supaya bisa pindah dari rumah Eyang di sana. Padahal Pelita suka sih di sana. Ada kolam dan ayunannya. Mama aneh deh, udah enak mau pindahan lagi."

Ponsel Gita yang berdering memutus percakapan. Robby mengalihkan perhatian pada ponselnya sendiri setelah menyesap teh di depannya. Dia baru mengangkat kepala saat Gita menyentuh lengannya sambil menyodorkan ponsel. "Ini, Mika mau bicara."

"Iya, Mbak?" Robby melekatkan ponsel di telinga.

"Mama bilang kamu ada di situ. Syukurlah. Bisa minta tolong?"

Mika bukan orang yang suka minta tolong kepada orang lain. Robby segera menyanggupi, "Tentu saja boleh."

"Apartemen kamu kan lewat rumah sakit, bisa sekalian anterin Pelita ke sini? Supaya aku nggak usah balik ke situ lagi. Tadi sudah janji mau ajak Pelita nonton. Kebetulan mamanya juga sudah lepas jaga nih, biar sekalian. Pelita pasti senang banget."

Setelah menyerahkan kembali ponsel kepada Gita, Robby kembali memperhatikan Pelita yang masih sibuk dengan rotinya. Anak ini sebenarnya siapa? Kenapa semua orang seperti bersaing untuk membuatnya senang?

**

Lagi nyari feel setelah lama ditinggal. semoga update berikutnya udah mulai ketemu tone-nya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro