Empat Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Minim editan. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Hara baru saja meletakkan tas saat pintu ruang jaga diketuk dan kepala seorang perawat menyembul dari balik pintu. "Ada yang nyari, Dok." Senyumnya tampak lebar, seolah berita yang dia bawa itu adalah kabar gembira. "Kata Suster Nia, orangnya datang tadi pagi juga. Tapi disuruh balik jam segini aja karena Dokter jaga siang. Tuh, orangnya sudah datang. Cakep banget, Dok." Sebelah matanya mengedip, menggoda. Secepat kedatangannya, detik berikutnya, dia segera menghilang.

Hara mengernyit. Siapa yang mencarinya ke rumah sakit? Dia tidak punya kenalan laki-laki dari tempat lain yang harus mencarinya ke sini. Semua kenalannya adalah staf rumah sakit ini. Dia sudah menutup diri untuk hubungan asmara sejak kebodohannya beberapa tahun lalu. Dia dan Pelita baik-baik saja berdua (meskipun sekarang masih menumpang di rumah orang lain), tidak butuh laki-laki dalam hidup mereka.

Hara sudah belajar dari pengalamannya yang pahit. Cinta itu hanya tipuan. Perasaan magis yang ditimbulkannya hanya bertahan sesaat. Sakitnya terasa lebih lama. Dia tidak bodoh untuk terjebak dalam perasaan semu yang dikendalikan hormon-hormon yang memicu euforia.

Hara mengikat rambutnya menjadi ekor kuda sebelum keluar untuk menemui orang yang mencarinya. Dia memikirkan beberapa kemungkinan. Bisa jadi suami Mbak Adel. Sepupunya itu tahu di mana Hara bekerja. Memang tidak ada telepon dari Mbak Adel, tetapi bisa saja, kan? Mungkin saja sepupunya itu tiba-tiba mengingatnya dan ingin menjalin hubungan kembali dengannya, meskipun itu rasanya tidak masuk akal karena mereka tidak pernah benar-benar, pun saat Tante Ros masih hidup. Atau Pak Broto dan beberapa tetangga di rumah Tante Ros. Mereka juga tahu di mana Hara bekerja. Mungkin ada di antara mereka atau keluarga mereka yang harus masuk IGD. Wajar kan kalau mereka menanyakan dokter yang mantan tetangga?

Langkah Hara terpaku sebelum mencapai tujuan. Orang yang sedang bicara dengan perawat itu sama sekali tidak termasuk dalam kemungkinan yang tadi dia pikirkan. Bagaimana laki-laki itu tahu Hara bekerja di sini?

"Hara...!" Terlambat. Panggilan itu terdengar sat Hara hendak berbalik untuk kabur. Laki-laki itu setengah berlari menuju ke arahnya, mengikis jarak yang tadinya lebar. "Hei... maaf menemui kamu di tempat kerja seperti ini, tapi kita beneran harus bicara."

"Dari mana kamu tahu aku kerja di sini?" Hara sama sekali tidak menyebutkan rumah sakit ini saat pertemuan tidak sengaja dengan laki-laki itu kemarin.

Senyum laki-laki itu mengembang, sama sekali tidak terpengaruh oleh ketusnya kalimat Hara. "Saya bertanya sama kasir di kafe kemarin. Kamu bukan orang yang suka mencoba tempat-tempat baru untuk nongkrong, jadi saya pikir kamu sering di sana. Dan ternyata benar. Orang itu bilang kamu kerja di sini. Tadi pagi saya ke sini, dan akhirnya tahu kamu di IGD. Nggak terlalu sulit mencari informasi."

Memang tidak terlalu sulit untuk orang seperti dia. Hara belum lupa tentang kegigihannya saat menginginkan sesuatu, sama persis dengan kemampuannya melarikan diri dari tanggung jawab. Memang ada orang yang memiliki kelebihan seperti itu. Kalau bisa disebut kelebihan, tentu saja.

Hara mengingatkan diri supaya ke depannya dia tidak perlu berbasa-basi sehingga menyebutkan tempat kerjanya kepada orang asing yang bertanya, seperti pemilik kafe yang terlihat ramah kepada pelanggan setia, misalnya. Karena keramahan seperti itu bisa berakhir pengkhianatan seperti ini.

"Aku nggak tahu kenapa kamu harus mencariku." Hara bersedekap. Dia harus mengusir laki-laki ini secepatnya.

"Kita harus bicara," Andrew mengulang kalimatnya, seperti tidak melihat keenganan dan penolakan Hara.

"Ini jam kerja, aku nggak bisa bicara sama kamu sekarang."

"Kalau gitu, aku akan balik lagi setelah kamu selesai jaga. Jam berapa?"

Hara tidak mau bertemu lagi dengannya, tetapi itu tidak akan terjadi jika laki-laki ini tidak diyakinkan kalau Hara benar-benar ingin memutus hubungan. Dia tidak akan menunda lebih lama lagi. Laki-laki ini serupa bakteri yang harus dibom dengan antibiotik sesegera mungkin, sebelum merajalela.

Beberapa perawat rupanya terus mengawasi mereka, Hara menyadari itu saat melihat ke meja jaga. Dia segera membuat isyarat untuk dihubungi melalui telepon ke arah mereka sebelum kembali kepada laki-laki di depannya. "Kita bicara di atas." Dia berjalan lebih dulu, membiarkan laki-laki itu menyusulnya. Dia tidak mau menjadi gunjingan di IGD karena percakapannya dengan laki-laki ini tidak akan terdengar manis.

Hara kadang-kadang naik di atap saat sedang ingin sendiri. Di situ ada tenda dan sofa panjang untuk bersantai. Dari gosip yang melegenda di IGD, Hara mendengar kalau tenda dan sofa ini diperuntukan oleh dokter Rajata untuk Mika. Kedengarannya kisah mereka setara dengan dongeng Disney karena orang-orang terus membahasnya saat melihat Mika atau Rajata. Beberapa orang memang cukup beruntung bertemu orang yang tepat. Kata kuncinya bukan cinta, tetapi orang yang tepat. Cinta bisa datang dan pergi, tetapi orang yang tepat tinggal, untuk menjagamu.

"Aku nggak bisa lama-lama," kata Hara cepat. "Aku nggak membawa urusan pribadi ke tempat kerja. Jadi langsung saja, ya. Aku nggak mau kamu datang lagi ke tempat ini dan bersikap seolah-olah kita adalah teman lama yang butuh reuni. Jujur, aku lebih suka kalau nggak usah bertemu dengan kamu lagi."

"Aku tahu." Andrew seperti mengeluh. "Aku nggak menyalahkan kamu."

"Kalau begitu, seharusnya kamu nggak datang. Kalau kamu tahu aku nggak akan tersenyum lebar saat lihat kamu, kamu seharusnya cukup pintar untuk bersembunyi saat kita nggak sengaja bertemu. Kamu bisa pura-pura nggak kenal aku."

"Tapi aku nggak bisa begitu."

Emosi Hara seperti tersulut. Selama ini selalu dia diam karena tidak pernah menemukan cara untuk menyalurkannya setelah dia sadar kalau air matanya terlalu berharga untuk dihabiskan meratapi satu orang laki-laki. Dia diam ketika Tante Ros mengomel, sebelum akhirnya pasrah dan menyiapkan makanannya lebih cermat saat dia hamil Pelita. Dia diam saat para tetangga mulai bergunjing tentang perutnya yang membesar padahal dia belum menikah. Dia diam saja walaupun hidup terasa sangat tidak adil kepadanya hanya karena dia pernah mencintai seseorang yang salah. Jadi ini terasa seperti saat yang tepat untuk menyemburkan semua emosi yang terlalu lama mengendap di dalam hati dan benaknya.

"Kamu nggak bisa pura-pura nggak kenal aku?" Nada Hara langsung meninggi. "Apa menurut kamu sakit hati yang kamu kasih ke aku dulu itu masih kurang sampai kamu pikir aku mau kasih kamu kesempatan untuk masuk dalam hidup aku lagi? Maaf kalau bikin kamu kecewa, tapi hidup aku bukan sinetron kejar tayang dengan ribuan episode hanya untuk menampung ego kamu!"

Andrew mendekat, tatapannya tidak lepas dari wajah Hara. Sama sekali tidak terpengaruh oleh emosi Hara. "Ayolah, Hara," katanya dengan nada membujuk. "Aku layak dapat kesempatan kedua. Aku tahu aku salah karena nggak benar-benar belain kamu dari mamaku, tapi kamu tahu sendiri gimana kejadiannya waktu itu. Aku bahkan masih tidur saat Mama datang di apartemenku dan melihat kita. Lihat dari sudut pandang dia dong. Wajar kalau dia marah. Membela diri waktu itu hanya akan membuat kemarahan dia makin besar, kan? Di mata dia kita salah, dan kita memang salah. Jadi lebih baik mendengarkan dia marah daripada membela diri. Kamu tahu itu."

Itu hanya salah satu contoh, tapi Hara tidak ingin membahasnya. Tidak sekarang saat semuanya sudah tidak berguna.

"Gimana kalau aku hamil?"

Jeda yang lama. "Pasti ada tempat untuk aborsi, kan? Maksudku, kita belum siap punya anak sekarang, Hara. Kamu sibuk banget di rumah sakit. Aku juga baru mulai kerja. Ini bukan saat yang tepat. Eh, kok kamu tanyanya gitu? Memangnya kamu beneran ha—"

"Tidak! Ini seandainya."

"Syukurlah. Kita belum siap untuk nikah, apalagi punya anak." Tawanya terdengar ringan. "Kita masih muda banget. Aku tentu saja mau punya anak, tetapi nggak sekarang. Peling cepat 5 atau 6 tahun lagi."

Laki-laki itu bahkan sudah menolak kehadiran Pelita sebelum mengetahuinya.

"Aku nggak bisa memberi kamu kesempatan kedua." Hara memikirkan cara untuk menolak. Cara yang langsung akan membuat laki-laki itu menjauh. "Aku... aku sudah bertunangan." Laki-laki ini tidak cukup gila untuk mengganggu tunangan orang, kan?

Andrew malah tertawa. "Kamu harus coba alasan yang lebih bagus, Hara." Dia menunjuk tangan Hara. "Sejak kemarin, aku lihat jari kamu kosong. Aku nggak akan melewatkan detail seperti itu."

"Aku melepas cincinku di rumah sakit. Menyebalkan memang, tapi itu SOP sebelum mencuci tangan."

"Bohong!"

**

Robby memutuskan menunggu Rajata di atap. Kakaknya itu masih punya beberapa pasien. Dia malas menunggu di kafe. Dia lebih suka sendiri, jadi atap adalah tempat yang bagus.

Ada tempat duduk yang bisa dipakai menunggu di sana. Robby pernah menjadi saksi mata kisah cinta Rajata dan melihatnya memasang tenda dan sofa bodoh di sana saat sedang patah hati karena cintanya yang ditolak Mika. Kisah cinta yang kompleks. Namun, setidaknya, ada yang berakhir bahagia, tidak seperti dirinya.

Robby terpaku saat menyadari bukan hanya dirinya yang berada di atap, karena dia melihat ada orang lain di sana. Dia baru saja hendak berbalik, saat mendengar suara perempuan yang setengah berteriak. Mungkin mereka hanya pasangan yang sedang bertengkar, tetapi dia tetap mengarahkan pandangan ke sana.

Eh, bukannya itu keluarganya yang sekarang tinggal di rumah orangtuanya? Dia ibu anak yang sangat cerewet itu. Pelita, ya, namanya Pelita. Apa yang mereka ributkan jelas bukan urusan Robby, tetapi itu keluarganya. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan perempuan itu, dia pasti akan merasa bersalah. Dia menjadi seperti sekarang karena ketidakmampuannya membuat keputusan. Jadi dia bergerak mendekat saat melihat laki-laki yang bersama ibu Pelita itu berusaha memeluk perempuan itu.

"Ada apa ini?" tanyanya pelan dan dan tenang, tetapi tetap mengejutkan kedua orang itu.

Hara yang sejak tadi meronta berusaha melepaskan diri memanfaatkan kelengahan Andrew dan segera melompat ke dekat Robby. Tangannya mencengkeram lengan Robby erat.

"Aku nggak bohong waktu tadi bilang sudah bertunangan sekarang," katanya kepada Andrew. "Ini tunanganku."

**

Ada GA di akun Instagramku, ya. Berhadiah 4 Buku untuk 2 orang pemenang, dan voucher belanja buku @200K untuk 2 orang pemenang. Silakan follow Instagram @titisanaria ya.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro