Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti biasa, minim editan, jadi nggak usah protes soal typo . Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Kafe itu tampak lengang saat Hara masuk. Dia tahu tempat itu dari Mika. Roti isinya memang enak. Tadi pasien lumayan banyak sehingga dia melewatkan waktu makan. Bekerja di IGD itu berarti menandatangani kesepakatan untuk meninggalkan piring makanan yang terisi penuh, karena belum sempat menyendoknya sesuap pun. Makanan selalu bisa menunggu, tetapi pasien tidak. Sejak menjadi ko-ass, sudah tidak terhitung berapa banyak mi cup yang sudah diseduh, tetapi tidak sempat dimakan karena pasien keburu datang. Lembaran mi itu kemudian menjadi dingin, gemuk, lembek, dan menjijikkan.

Hara memilih tempat di dekat dinding kaca, meskipun tidak berniat mengawasi lalu lintas yang padat di luar sana. Dia hanya suka tempat yang jauh dari pintu masuk, supaya tidak perlu spontan berbalik setiap kali pintu kaca didorong oleh pengunjung yang baru datang.

Kopinya masih panas saat Hara menyesapnya. Rasa hangat yang ditinggalkan dalam kerongkongan terasa menenangkan. Saat mulai mengunyah rotinya, dia baru tersadar kalau dia memang benar-benar lapar.

Rumah dokter Inggrid tidak pernah kekurangan makanan. Ada beberapa asisten yang bisa dimintai tolong untuk menyediakan makanan apa pun yang dia inginkan, karena dia dan Pelita sudah dianggap sebagai anggota keluarga yang harus dilayani. Hanya saja, Hara masih sungkan melakukannya meskipun sudah beberapa bulan tinggal di sana. Tidak pernah nyaman menyadari hidup dari belas kasihan orang lain. Setidaknya, itu yang Hara rasakan.

Berbanding terbalik dengan perasaan Hara, Pelita sepertinya semakin betah di rumah besar itu. Tidak heran, semua orang memanjakannya. Sedikit miris saat menyadari bahwa Pelita akan kehilangan banyak kemudahan saat mereka akhirnya pergi dari sana. Memang tidak dalam waktu dekat, tetapi rumah dokter Inggrid tetap saja bukan tujuan akhir. Mereka hanya orang asing yang menawarkan pertolongan. Tidak mungkin bersikap serakah dan menginginkan semua kenyamanan itu untuk selamanya.

"Hara...?"

Hara merasakan tengkuknya dingin. Roti isi yang berada di tangan tanganya, yang hendak disuap, mendadak terjatuh ke pangkuannya. Ada deret hari berjumlah ribuan yang telah membuat jarak dan memisahkan, tetapi suara itu tetap saja terdengar familier. Hara tahu dia tidak perlu mengangkat kepala untuk meyakinkan dugaannya. Jadi dia mengambil waktu untuk menyiapkan diri.

Hara melihat jarinya bergetar saat mengangkat roti yang berantakan di atas roknya. Isinya berhamburan. Sausnya menodai rok panjangnya yang berwarna cokelat muda. Ini terlihat persis seperti hidupnya. Berantakan, kotor, dan menyedihkan. Hanya butuh satu orang yang menyebutkan namanya untuk menyadari hal itu.

Kursi di depan Hara ditarik, dan orang yang baru menyapa itu duduk di sana tanpa meminta izin. Dia seperti tahu jika dia tidak akan dilarang. Dia memang bukan orang peduli aturan. Sejak dulu sudah seperti itu. Hara belajar banyak darinya tentang berbagai cara melanggar aturan dan nilai yang dianutnya sejak kecil. Mungkin terlalu banyak sehingga hukuman yang harus dia tanggung juga menggunung. Saat tersadar, Hara sudah kehilangan banyak hal. Terutama harga diri dan kepercayaan Tante Ros yang selalu membanggakannya ke mana-mana. Beruntung dia masih bisa menyelesaikan program ko-ass, padahal dia nyaris menyerah. Dan... Pelita. Di mata orang lain, anak itu mungkin terlihat seperti lambang kegagalannya sebagai perempuan, tetapi Hara tahu, Pelita adalah hadiah terbaik dari semua kesalahannya. Dia menyesali banyak hal, tetapi tidak Pelita.

"Beneran kamu, Har...!" Suara itu terdengar antusias dan takjub.

Hara memungut roti di pangkuannya dan meletakkannya kembali di atas piring, belum mengangkat wajah. Dia masih berharap ini hanya halusinasi sesaat. Mungkin kalau dia mengulur waktu, imajinasi ini akan buyar. Namun, dia tahu itu hanya harapannya.

"Aku nggak percaya kita bisa ketemu di sini, Har."

Aku bukan tidak percaya, tetapi lebih suka kalau pertemuan ini tidak terjadi. Hara mengangkat kepala. Tidak ada yang berubah. Laki-laki di depannya masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Atau beberapa minggu lalu, saat Hara melihatnya tergesa masuk ke IGD tempatnya bekerja.

"Aku tahu kalau kamu mungkin nggak suka bertemu atau melihat aku lagi."

Hara tidak mengatakan apa pun. Dia berharap semoga tatapannya terlihat datar dan tidak menampakkan emosi apa pun. Dengan begitu, laki-laki itu akan tahu kalau Hara sudah menghapus semua jejak yang melibatkan dirinya.

"Kamu sudah jadi dokter." Laki-laki itu menunjuk jas putih yang Hara sampirkan di kursi kosong yang ada di meja itu. "Sudah terlambat, tetapi selamat."

Hara diam saja. Dia melepas tatapan, lalu manarik tisu, pura-pura sibuk membersihkan rok. Bukan hanya penampilan laki-laki itu yang tidak berubah, pembawaannya pun masih sama, meskipun sekarang dia terlihat menahan diri. Terlihat jelas dari mana Pelita mendapatkan kecerewetannya.

"Aku minta maaf." Laki-laki itu diam sejenak. "Aku tahu kalau aku mungkin nggak pantas mendapatkannya, tetapi—"

"Tidak perlu," potong Hara cepat. "Aku nggak suka membicarakannya. Sudah lama juga. Ada bagian dari hidupku yang ingin aku lupakan , jadi, tolong jangan dibahas."

Laki-laki itu sekarang tampak canggung. Kegembiraan dan keterkejutannya tadi menguap tak berbekas. "Kamu mungkin nggak percaya, tapi aku banyak berpikir setelah kejadian itu. Aku—"

"Sudah kubilang jangan bicarakan itu!" Nada Hara lebih tegas sekarang.

"Aku ke toko kue tante kamu, tetapi tempat itu sudah dijual. Pemiliknya yang baru nggak tahu kalian pindah ke mana."

Hara sengaja melihat pergelangan tangannya. "Aku harus pergi sekarang." Dia berdiri, mencangklongkan tas, dan meraih jasnya.

"Har...!" laki-laki itu ikut berdiri. "Kita harus bicara."

"Aku harus kerja." Hara menatap laki-laki itu lurus dan tajam. "Dan aku tidak mau bicara sama kamu. Aku sudah bilang kalau ada bagian hidupku yang ingin aku lupa. Bagian yang ada kamu di dalamnya. Jadi kalau benar-benar menyesal, biarkan aku lupa pernah kenal kamu." Hara bergegas pergi, meninggalkan laki-laki yang masih mematung itu.

**

Namanya Andrew. Hara mengenalnya ketika sedang ko-ass di bagian bedah. Laki-laki itu masuk rumah sakit karena kecelakaan saat mengemudikan sepeda motor. Sejak pertama melihatnya, Hara sebenarnya sudah tahu kalau laki-laki itu adalah masalah. Tidak seperti orang lain yang selesai dioperasi, Andrew tidak terlihat mengenal tahap penyesalan. Saat melewati ruang VIP yang tidak tertutup rapat tempatnya dirawat, Hara selalu mendengar gelak tawa laki-laki itu dan teman-temannya. Gips di kakinya penuh tanda tangan, seolah patah tulang adalah pencapaian paling membanggakan dan harus dirayakan. Hara selalu pura-pura tidak melihat saat Andrew mengedip kepadanya ketika dia menemani dokter bedah visit. Dia berada di rumah sakit untuk menjadi dokter, bukan berburu pasien untuk dijadikan pacar.

Mengapa mereka akhirnya dekat? Mungkin karena Andrew adalah tipe orang yang tidak mengerti isyarat penolakan, suka tantangan, dan menikmati penaklukan. Atau mungkin juga karena dia tidak tahu malu. Hara tidak tahu mana yang lebih tepat. Hanya saja, laki-laki itu tetap kembali ke rumah sakit untuk sekadar menyapa dan mengganggu Hara, meskipun akhirnya kakinya sembuh.

Sulit untuk tidak tertarik kepada Andrew. Salahkan pesona bad boy yang dipancarkannya. Hara pendiam dan cenderung tertutup. Dia selalu kagum kepada orang-orang yang gampang berinteraksi. Orang yang keran percakapannya seperti tidak pernah habis. Orang seperti Andrew, yang bisa mengajak bercanda suster kepala ruangan yang biasanya menganggap ko-ass seperti manusia-manusia tidak kompeten yang harus disingkirkan. Padahal Andrew dan suster kepala ruangan itu belum lama kenal.

Teman-teman Hara di fakultas kedokteran kebanyakan orang yang serius. Sama seperti dirinya. Tidak bisa disalahkan dengan banyaknya hafalan yang harus dijejalkan di kepala dalam waktu singkat. Kalau kapasitas chip di kepala tidak sebesar memori ponsel pintar keluaran terbaru, kuliah kedokteran memang lumayan berat.

Jadi melihar orang seperti Andrew yang easy going, tanpa beban, urakan, dan mengiklankan kebahagiaan dan indahnya hidup di dunia, benar-benar pengalaman baru untuk Hara.

Seandainya saja dia percaya instingnya saat pertama melihat Andrew, dia mungkin tidak berada di tempatnya sekarang, dengan sudut pandang yang begitu berbeda memaknai hidup. Tetapi juga tidak memiliki akan Pelita dalam hidupnya. Jadi Hara benar-benar tidak bisa memutuskan apakah dia menyesali pertemuan Andrew dulu, atau tidak. Satu hal yang pasti, laki-laki itu tidak boleh tahu tentang keberadaan Pelita. Semoga mereka tidak akan bertemu lagi. Selamanya. Itu akan sangat bagus untuk masa depannya dan Pelita.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro