Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Minim editan, jadi harap maklum dengan segala macam typo terkutuk dan kalimat nggak efektif. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Ada yang salah dengan keluarga Lukito. Hara tidak tahu apa, tetapi dia bisa merasakan ketidakberesan itu. Suasana canggung diliputi kesedihan yang kental kemarin membuat perjalanan pulang dari menengok makam menantu dan cucu dokter Inggrid dilingkupi keheningan. Hara benar-benar menyesali keputusannya ikut ke Sulawesi. Seharusnya dia tinggal dan bekerja saja di Jakarta. Dia bahkan bergerak hati-hati di dalam mobil, takut suara yang ditimbulkannya akan merobek gelembung sunyi yang dibangun semua orang. Untunglah Pelita yang tidak berhenti bicara saat perjalanan menuju makam lantas kelelahan, sehingga tertidur ketika mereka mereka kembali ke hotel.

Kemarin Hara berusaha untuk tidak memperhatikan Robby saat laki-laki itu bersimpuh di makam untuk waktu yang lama, tetapi sulit untuk tidak melakukannya saat semua orang yang ada di situ melakukan hal yang sama sambil mengusap air mata diam-diam.

Robby pasti sangat mencintai anak dan istrinya. Kesedihan yang ditunjukkannya membuktikan itu. Namun, kehilangan orang-orang terdekat memang menyakitkan, apalagi dua orang sekaligus.

Apa yang menyebabkan kedua orang itu berpulang? Apakah mereka meninggal dalam selang waktu yang berdekatan? Kalau iya, kepedihan yang dirasakan Robby memang benar menyiksa. Hara bahkan tidak bisa membayangkan jika dia harus kehilangan Pelita. Ada banyak pertanyaan yang muncul karena sikap tidak biasa yang ditunjukkan semua orang, termasuk ibu Mika dan Kinan yang nota bene tidak masuk dalam keluarga Lukito.

Tentu saja Hara hanya menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu di dalam hati. Dia tidak berniat menanyakannya kepada siapa pun. Mencampuri urusan orang lain bukan kebiasaannya. Sama seperti dia tidak suka orang lain bertanya-tanya tentang hidupnya dan Pelita. Tidak ada yang suka menyorek luka lama yang rasanya tidak pernah sembuh.

"Ma, ini udah siang, ya?" Suara Pelita membuat Hara mengalihkan perhatian kepada anak yang berbaring di sebelahnya. Pelita mengucek mata.

Hara meraih ponsel di atas nakas. "Baru jam 5. Tidur aja lagi, Sayang." Mereka hanya berdua di dalam kamar single bed itu karena Mika memang memesan kamar khusus untuk mereka. Meskipun merasa terbebani, Hara mensyukuri itu, karena kecerewetan Pelita bisa mengganggu siapa saja yang sekamar dengan mereka kalau mereka bergabung dengan orang lain.

Alih-alih memejamkan mata, Pelita bergerak turun dari tempat tidur dan menyibak gorden. "Ma, itu udah mulai terang dong. Kita keluar, yuk.. yuk...." Dia menunjuk keluar dinding kaca. "Di depan ada lautnya. Pelita mau liat lautnya dari dekat dong. Boleh, ya? Boleh dong!" Dia mulai melompat-lompat. Semangatnya tidak terlihat seperti anak yang saja bangun tidur.

"Boleh." Hara ikut bangkit dari tempat tidur. Percuma tinggal lebih lama di dalam kamar. "Setelah kita gosok gigi dan cuci muka." Memang lebih baik berjalan-jalan di sekitar hotel daripada memikirkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dirinya.

"Asyiiikkk!" Pelita berlari lebih dulu ke kamar mandi. "Pelita duluan dong!"

Udara dingin menyambut mereka saat keluar dari pintu hotel. Jalanan lengang sehinga mereka bisa menyeberang dengan mudah ke arah laut yang berada persis di depan hotel.

"Wah... lautnya luas banget...!" Pelita bergerak mendekat ke talut yang dibangun tinggi sebagai pembatas. "Ma, lihat, itu ada kapal. Banyak banget kapalnya. Wahh...!"

"Jangan dekat-dekat. Nanti jatuh." Hara menahan lengan anaknya, menariknya sedikit menjauhi talut. "Yang kecil-kecil itu bukan kapal. Itu namanya perahu atau sampan," Hara membenarkan komentar Pelita.

" Itu ada orangnya, Ma." Pelita menunjuk sebuah sampan yang tidak terlalu jauh dari darat tempat mereka berdiri. Seorang nelayan dalam sampan itu sedang melempar kail. "Dia kok sendiri aja sih? Apa nggak takut, ya? Kasihan kan kalau jatuh. Dia pasti berenangnya pinter ya, Ma?"

"Pinter dong." Hara tersenyum mendengar kepolosan anaknya. "Kalau nggak pinter, nggak mungkin berani ke laut. Kan lautnya dalam banget."

"Wahh... di rumahnya kolamnya pasti gede ya, Ma? Mungkin kayak kolam di rumah eyang gitu, makanya berenangnya jago."

Hara hanya tertawa kecil. Dia lantas menunjuk ke arah timur. Matahari tampak mulai menanpakkan semburat kekuningan di balik bukit, di sela-sela awan yang masih tampak tebal. "Tuh, lihat, mataharinya sedikit lagi terbit. Pasti bagus banget."

Pelita hanya menoleh sebentar, tidak terlalu tertarik dengan apa yang disebut Hara bagus. Dia malah menarik lengan Hara menuju ke arah yang berlawanan. "Ke sana aja yuk, Ma. Di sana banyak orang." Memang mulai banyak yang lalu lalang dengan kaus dan keds. Sepertinya tempat di depan hotel itu menjadi tempat warga kota ini untuk berolah raga. Tidak heran, pemandangannya bagus. Ada pelabuhan dengan kapal-kapal yang berlabuh di sekitarnya, perahu nelayan, dan gugusan pulau-pulau yang terlihat seperti mengambang di kejauhan. Matahari yang akan terbit sebentar lagi juga pasti terlihat menakjubkan. "Ma, itu ada Om Robby lho. Yuk, kita samperin...!"

"Jang...an..." Kalimat Hara tertelan kembali karena Pelita sudah melepaskan tangannya dan berlari menuju ke arah laki-laki yang disebutnya sebagai Om Robby itu.

Hara mendesah pasrah. Dia sebenarnya tidak ingin berinteraksi dengan anak dokter Inggrid itu. Sejak pertama melihatnya di Bandara dua hari lalu, dia sudah bisa menilai kalau laki-laki itu berbeda dengan kedua kakaknya yang tampak ramah. Dia bukan orang yang suka berbasa-basi. Hara hanya melihatnya bicara dengan Mika, ibunya, dan kedua kakaknya. Sama sekali tidak pernah berada di dekat di dekat dokter Inggrid, apalagi berinteraksi dengan ibunya sendiri itu.

Hara berjalan mengikuti Pelita. Dia harus segera menjauhkan anaknya dari laki-laki yang duduk menghadap laut di atas talut itu. Dia yakin Robby tidak sedang ingin melayani kecerewetan anaknya. Laki-laki itu mungkin sedang tenggelam dalam lamunan mengingat anak dan istrinya.

**

Robby menoleh saat mendengar namanya dipanggil dengan awalan "om". Ya, siapa lagi kalau bukan anak kecil yang ikut dalam perjalanan ini?

"Om... Om Robby udah bangun juga, ya?" Anak itu sudah berdiri di sampingnya. "Pelita dong, bangun tidur langsung ke sini. Mau lihat laut."

Robby termangu melihatnya, tidak tahu harus mengatakan apa.

"Maaf kalau dia mengganggu." Ibu anak itu menyusul. "Ayo Pelita, kita jalan ke sana."

Robby mengangkat kepala dan menatapnya. Dia sudah melihat perempuan itu dari dua hari lalu saat di bandara. Dia merasa mengenalnya, tetapi tidak ingat di mana. Mungkin saja dalam salah satu pertemuan keluarga. Dia dan anaknya tinggal di rumah orangtuanya, jadi mereka masih keluarga, kan?

"Tapi Pelita nggak ganggu kok," Pelita protes disebut sebagai pengganggu, sehingga Hara semakin canggung.

"Kita ke sana aja." Hara setengah menarik tangan Pelita. "Tadi katanya mau ke tempat yang banyak orangnya." Dia mulai melangkah, sehingga Pelita akhirnya mengikuti sambil melambai kepada Robby.

Saat itu Robby kemudian teringat. "Kamu nggak apa-apa?" Dia bangkit dan menyusul Hara dan Pelita.

Hara menghentikan langkah dan menatap Robby. Dia tidak mengerti apa yang dibicarakan laki-laki itu. "Ya?"

"Waktu itu kayaknya kamu kesakitan. Maaf, saya beneran nggak sengaja." Robby melanjutkan saat melihat Hara sepertinya tidak paham maksudnya. "Saya menabrak dan menumpahkan kopi saya ke kamu di depan IGD."

"Oohhh...." Hara termangu. Pantas Robby terlihat familier. Bukan saja karena dia melihat fotonya di rumah dokter Inggrid, tetapi juga karena mereka pernah bertemu langsung, meskipun tidak segera mengenalinya saat di bandara. Waktu itu konsentrasinya memang berantakan.

"Beneran nggak apa-apa? Kelihatannya waktu itu kamu kesakitan."

"Nggak apa-apa." Air mata Hara waktu itu terbit karena hal yang berbeda, tetapi tidak mungkin menjelaskan soal itu kepada laki-laki ini.

"Om Robby... Om Robby, lihat itu ada naga...!" Pelita memutus percakapan itu. Dia menarik lengan Robby dan menunjuk ke depan, ke arah patung naga yang berdiri gagah. "Wah... gede banget. Kita ke sana dong!"

"Maaf, dia memang cerewet sekali." Hara melihat Pelita putus asa. Dia harap anaknya tidak bergantung di lengan Robby seperti itu. "Kita ke sana berdua aja, yuk," bujuknya. Dia bisa melihat bahasa tubuh Robby yang kikuk. Laki-laki itu jelas tidak terbiasa dengan anak-anak. Pelita belum mengerti itu.

"Pelita nggak cerewet kok." Bibir Pelita sudah manyun. "Kan cuman bilang mau lihat naga aja."

Robby sebenarnya tidak ingin mengikuti Pelita dan ibunya, tapi tampang anak itu yang kesal karena disalahkan membuatnya meras serba salah. Mereka toh keluarganya. Mungkin tidak ada salahnya sedikit berbasa-basi, meskipun ini bukan saat yang tepat.

Dia tadi turun dari kamarnya karena tidak bisa tertidur. Ingatan tentang Dhesa dan anak mereka terus mengikuti benaknya setelah kepulangannya dari makam. Tidak ada yang berubah dalam hatinya setelah melihat pusara mereka. Masih ada kerinduan dan rasa bersalah yang kental. Mungkin dia akan kembali mengunjungi psikiaternya setelah kembali ke Jakarta. Dia butuh penenang untuk membuatnya memejamkan mata agar pikirannya berhenti mengembara. Setidaknya, untuk sesaat.

Robby melihat Pelita yang menarik tangannya dengan penuh semangat. "Ayo kita lihat patungnya," katanya meluluskan permintaan anak itu.

"Horeee...!" Pelita bersorak gembira.

Robby kembali melihatnya. Kapan dia terakhir tertawa seperti itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro