Sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Belum sempat diedit. Maafkan typo dan kalimat nggak efektifnya. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Pelita melompat-lompat kegirangan saat sampai di lounge bandara. Anak itu tampak antusias, tidak merasakan kecanggungan ibunya berada di antara keluarga Lukito. Hara sudah pernah bertemu dengan pasangan Dewa dan Kinan saat mereka datang makan malam di rumah orangtua mereka dan kebetulan Hara jaga pagi sehingga bisa ikut bergabung. Mika dan Rajata sudah lumayan akrab dengannya, terutama Mika yang pernah bekerja bersamanya. Ibu Mika juga tampak ramah dan terlihat senang direpotkan pertanyaan Pelita yang tidak habis-habis.

Suasana yang cair itu mendadak beku ketika seseorang yang membawa tas kecil ikut bergabung di situ. Ikut bergabung sepertinya bukan kata yang tepat, karena Hara melihat laki-laki itu mengambil sedikit jarak dengan mereka, sebelum ibu Mika bergabung dengannya.

Itu pasti Robby. Dia terlihat mirip dengan kakak-kakaknya, meskipun sebagian wajahnya ditutup oleh kacamata hitam. Ada topi yang bertengger menutupi kepalanya. Sekilas, wajah itu terasa tidak asing. Mungkin karena Hara sudah pernah melihat fotonya di rumah dokter Inggrid.

Aneh karena Robby tampak lebih dekat dengan ibu Mika daripada ibunya sendiri. Hara juga bisa melihat raut dokter Inggrid yang sedikit tegang. Ada apa dengan keluarga ini? Tetapi Hara berusaha tidak memikirkannya. Dirinya toh bukan bagian dari mereka. Dia berada di sini karena keluarga ini, terutama dokter Inggrid, jatuh cinta kepada Pelita. Dia diikutkan karena mereka tidak mungkin mengajak Pelita pergi tanpa dirinya.

"Ma, pesawat itu ada jendelanya kayak yang tivi itu, ya?" Pelita yang baru saja meninggalkan pangkuan dokter Inggrid sudah memanjat sofa tempat Hara duduk.

Hara mengusap kepala anaknya yang tidak bisa duduk manis dan diam saja. "Iya, Sayang. Ada jendelanya, memangnya kenapa?"

"Pelita mau dong duduk di dekat jendela."

"Boleh. Emang nggak takut?"

"Enggak dong. Kan ada Mama." Pelita kembali turun dan mendekat ke arah Mika yang duduk di sebelah hara. "Tante Mika, Pelita mau dong makan es krim." Dia menunjuk keluar lounge. "Tadi Pelita lihat ada yang makan es krim di sana."

Hara segera berdiri. "Maaf, Mbak. Biar sama aku saja." Dia meraih tangan Pelita. "Kok mintanya sama Tante Mika sih, kan ada Mama."

"Kan Tante Mika banyak duitnya, Ma. Tempo hari Pelita diajakin nonton dong, trus dijajanin gitu. Mama kan kerja dulu baru dapet duit."

Wajah Hara langsung panas karena ucapan Pelita yang lantang itu didengar oleh semua anggota keluarga Lukito yang segera tersenyum karena kepolosan Pelita.

"Nggak apa-apa." Mika ikut berdiri. "Sama aku juga sama saja."

"Nggak usah, Mbak." Hara langsung mengajak Pelita pergi. "Maaf banget, ya." Dia harus menemukan cara yang tepat untuk memberitahu Pelita supaya tidak meminta apa pun dari orang lain. Anak itu mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa meminta dan hidup dari belas kasihan dari orang lain seperti yang mereka jalani sekarang sangat menyinggung ego dan harga diri, tetapi dia tetap harus diberitahu.

Mereka belum jauh meninggalkan lounge saat Pelita berteriak, "Om Robby... om Robby!" Dia melepaskan pegangan Hara di tangannya dan berlari ke arah belakang. Hara melihat Pelita sudah bergayut di lengan laki-laki yang memang sudah diduganya sebagai anak dokter Inggrid itu. Dengan canggung Hara berdiri menunggu sampai Pelita dan laki-laki itu mendekat. "Om Robby mau beli es krim juga?"

"Tidak," suara laki-laki itu terdengar kikuk. "Mau beli majalah aja."

"Pelita juga punya majalah dong di rumah. Majalah Mickey-Donald gitu. Om sih nggak bilang, nanti Pelita pinjemin. Pelita belum bisa baca sih. Lihatin gambarnya aja. Mama sama Eyang yang bacain. Lucu deh. Jadi, Mickey itu ada temennya gitu. Namanya Minie, trus...."

Hara segera menarik tangan Pelita. "Maaf ya, dia memang cerewet banget," kata Hara tanpa berusaha menatap laki-laki itu. Dia hanya ingin mengajak Pelita pergi. "Yuk, tempat jual es krimnya di sana." Dia mempercepat langkah, setengah memaksa Pelita yang sepertinya masih terus ingin bicara dengan laki-laki itu. Hara benar-benar harus melakukan sesuatu dengan anaknya yang superaktif ini.

**

Robby memilih menumpang mobil yang terpisah dengan orangtuanya. Mereka tiba kemarin siang di Baubau. Dari Jakarta, mereka transit dan berganti pesawat di Makassar karena rute ke Baubau hanya dilayani oleh pesawat jenis ATR. Dia sama sekali tidak keluar dari kamar hotel setelah mereka check in kemarin. Makan malamnya dibawakan Dewa yang membangunkan dan menyuruhnya makan.

Hari ini mereka akan ke tempat Mika pernah tugas saat PTT, sekaligus tempat Dhesa dan anak mereka dimakamkan. Robby butuh waktu lama untuk berperang dengan batinnya setelah kedatangan Mika di apartemennya sebelum akhirnya memutuskan ikut ke sini. Ya, ini sama saja dengan membunuh harapannya, karena dengan melakukan ini dia secara ikhlas akhirnya menerima bahwa dia sudah benar-benar kehilangan Dhesa. Inilah ujung perjalanan dan dia akan berhenti menipu diri sendiri setelah menyaksikan bukti bahwa Dhesa memang tidak akan pernah kembali, tidak peduli seberapa lama pun dia menunggu.

Beberapa hari lalu, tekad Robby benar-benar bulat. Dia tidak ingin ikut ke sini. Hanya saja, apa kata Dhesa kalau semua orang pergi mengunjungi tempat peristirahatan terakhirnya sementara dia mangkir? Dhesa tidak akan pernah memaafkankan.

"Tempatnya lumayan jauh sih," kata Mika yang duduk persis di belakang Robby. Ibu Mika dan Rajata juga berada di mobil yang sama. Mereka berlima dengan sopir mobil sewaan yang mereka pakai. "Tapi pemandangannya indah banget."

Robby membuang pandangan keluar jendela. Dia tidak ikut ke sini untuk menikmati pemandangan. Dhesa juga ke sini dulu bukan karena pemandangannya. Kalau pemandangan bisa menghibur sedikit saja hati Dhesa, perempuan yang dicintainya itu mungkin tidak akan berkalang tanah sekarang.

Mobil yang mereka tumpangi melewati hutan jati, hutan pinus, dan padang savana dengan diselingi oleh beberapa perkampungan. Masih banyak rumah-rumah panggung di sana. Jalanan tampak berkelok-kelok, nyaris seperti garis semrawut yang digambar anak kecil. Jurang-jurang yang mereka lalui tampak dalam, dengan pegunungan di sisi yang lain. Semua terlihat hijau.

Satu setengah jam berikutnya, pemandangan hutan itu berganti dengan pemandangan pantai dan laut lepas. Biru air laut menyatu dengan langit di ujung horizon. Dihiasi awan putih di beberapa tempat. Ini hari yang benar-benar cerah. Hanya saja, Robby tidak terlalu memperhatikan, apalagi menikmati.

"Nggak sampai setengah jam lagi kita akan tiba di sana," suara Mika terdengar lagi.

Robby mendesah. Sejak tadi dia tidak berusaha terlibat obrolan yang dibangun oleh Mika dan Rajata. Mungkin dia seharusnya tidak ikut. Debaran jantungnya mulai tidak terkendali. Apa yang akan dikatakannya di depan pusara Dhesa? Meminta maaf saja tidak akan cukup untuk menebus semua kesalahan yang dia lakukan. Ironisnya, Robby bukan orang yang sering berbuat salah. Dia selalu memikirkan dengan baik apa yang akan dilakukannya. Sekalinya dia melakukan kesalahan, hasilnya fatal dan dia kehilangan orang yang dicintainya.

Saat akhirnya mobil berhenti di tempat yang Mika sebutkan kepada sopir, Robby merasa terikat erat di jok mobil. Dia tidak bisa bergerak.

"Rob, yuk turun," suara Mika terdengar lembut, tetapi hanya serupa gaung yang memantul-mantul di benak Robby.

Robby menggeleng. "Duluan saja. Aku... aku akan nyusul."

Mika yang mengerti segera mengangguk. Dia menggandeng ibunya berjalan ke arah kompleks pemakaman yang sepertinya tampak liar. Tidak ada papan nama, makam-makam yang tidak teratur dan terkesan asal, dan rumput liar yang tumbuh subur.

Tempat pemakaman itu terletak tidak jauh dari garis pantai. Robby dapat melihat ujung pasir putih, air laut, perahu nelayan di kejauhan, dan tentu saja mendengar debur ombak yang memecah pantai. Tidak ada suara kendaraan apa pun. Bahkan di tempat seperti ini Dhesa tidak menemukan kedamaian dan tetap berniat mengakhiri hidup. Dan itu kesalahannya.

Robby mengawasi keluarganya dari balik jendela. Mereka duduk mengelilingi satu tempat. Sibuk menyiangi rumput liar yang ada di situ sambil mengusap mata. Dia bisa melihat bahu ibunya terguncang dan dirangkul ayahnya. Apa yang ibunya pikirkan? Dhesa berbaring dan dagingnya perlahan dimamah tanah juga adalah campur tangannya. Ibunya sama tidak berhaknya dengan dirinya untuk meminta maaf. Dalam hati Robby tahu kalau Dhesa, seperti halnya Mika, dan ibunya, perempuan yang melahirkan mereka memiliki hati seluas samudra yang siap untuk memberi maaf. Bahkan untuk orang yang tidak pantas menerimanya sekali pun. Seperti dirinya.

Setelah waktu yang cukup lama, semua orang kemudian beranjak perlahan dari situ. Mereka bergerak menuju pantai. Hanya Mika yang kembali ke mobil dan mengetuk jendela tempat Robby duduk. "Giliranmu," katanya singkat sebelum berbalik dan menyusul yang lain.

Robby tahu dia tidak akan bisa menghindari atau menunda ini selamanya. Dia melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Tempat itu dekat saja, hanya butuh beberapa langkah, tetapi terasa jauh dengan kakinya yang berat untuk diajak berjalan.

Ketika akhirnya sampai di pusara yang terlihat bersih dengan tanah yang berhamburan karena rumput yang baru dicabut, tungkainya terasa lunglai. Dia jatuh terduduk. Untuk ukuran perkampungan sekali pun, makam Dhesa dan anak mereka tampak sangat sederhana. Hanya ditandai sebuah nisan bertulis nama, tanggal lahir, dan wafat. Itu saja. Bahkan tanahnya rata, tak menyisakan gundukan sama sekali, membuktikan betapa lamanya mereka terkubur di sana. Dan dia baru datang! Dia yang menempatkan kedua orang ini di dalamnya menikmati hidup di tempat yang sangat nyaman.

Maafkan aku, Robby memohon dalam hati. Maafkan aku karena membuatmu seperti ini. Maafkan aku untuk semua kesedihan dan sakit hatimu yang tidak pernah aku lihat. Maafkan aku untuk beban yang kuberi dan lantas kutinggalkan. Maafkan aku untuk anak kita. Maafkan aku untuk semua hal indah yang kurebut paksa darimu. Kamu tahu betapa aku mencintaimu, kan? Aku tahu kalau aku tidak berhak memohon apa pun darimu, tapi tolong maafkan aku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro