Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yyu ol, Gaesss....

**

Ketukan di pintu yang disusul suara dokter Inggrid membuat Hara melepaskan tangan dari pundak Pelita. Seketika Hara merasa sedikit tegang. Tidak biasanya dokter Inggrid datang ke kamar ini. Biasanya interaksi mereka terjadi di lantai bawah, saat makan malam ketika Hara tidak sedang jaga siang atau malam. Pertemuan yang lumayan jarang, untuk ukuran orang yang tinggal serumah. Pelita lah yang lebih sering menghabiskan waktu bersama dokter Inggrid dan suaminya.

"Eyang!" Pelita langsung melompat-lompat ke arah pintu. Dia memutar tubuh untuk pamer penampilan setelah pintu yang dikuakkannya terbuka lebar. "Eyang, lihat, Pelita dong, udah mandi."

Inggrid menunduk untuk mencium kepala Pelita. "Pantesan udah wangi dan cantik banget."

Anak itu melompat dan bertepuk tangan. Senyumnya lebar. "Eyang, tadi dong, Pelita diajakin nonton sama Tante Mika. Maunya sih sama Mama juga, tapi Mama nggak bisa karena harus nyari duit gitu. Tante Mika nggak kerja, kayaknya duitnya udah banyak, jadi bisa ajakin Pelita nonton."

Inggrid tertawa mendengar kalimat Pelita yang tidak runut. "Nonton film apa? Seru, nggak?"

"Seru dong. Mamanya jadi jagoan gitu, Trus anaknya kalau napas ada apinya gitu. Trus...."

"Pelita main di bawah dulu, ya." Hara mendekat dan memotong kalimat Pelita. Anaknya itu tidak akan berhenti bicara kalau tidak dialihkan perhatiannya. Hara merasa dokter Inggrid tidak mengunjunginya di kamar karena iseng.

"Tapi Pelita kan masih mau cerita film-nya, Ma," protes Pelita. "Eyang kan belum dengar semuanya. Pasti penasaran. Iya kan, Eyang?" dia mencari dukungan Inggrid.

"Iya, Eyang penasaran banget." Inggrid tersenyum dan menuntun Pelita masuk ke dalam kamar. Dia memangku anak itu saat sudah duduk di ranjang. "Jadi jagoannya menang, ya?"

"Iya, menang dong, Eyang. Masa ada jagoan kalah. Nggak seru dong!"

Inggrid mengusap kepala Pelita. "Oh ya, Eyang mau jalan-jalan ke tempat yang jauh banget. Pelita mau ikut?"

"Naik bus gitu ya, Eyang?"

Inggrid tertawa. "Nggak naik bus. Ini tempatnya jauh banget. Mungkin nanti ada naik bus-nya juga, tapi kita harus naik pesawat dulu."

"Naik pesawat?" Pelita meluncur turun dari pangkuan Inggrid dan melompat-lompat kegirangan. "Mau dong... mau dong!"

Inggrid tertawa melihat Pelita yang begitu antusias. Dia lalu berbalik menatap Hara. "Keponakan saya yang kerja di Sulawesi ketemu jodoh di sana. Mereka akan menikah dua minggu depan. Pelita pasti senang diajak jalan-jalan, jadi kalian ikut saja, ya?"

"Tapi...." Hara tidak ingin terlibat dalam acara keluarga seperti itu. Bukan saja karena tidak ingin semakin berutang karena dia tahu semua biaya perjalanan itu tidak akan ditagihkan kepadanya, tetapi juga untuk menghindari ikatan batin Pelita kepada keluarga ini. Hara tahu kalau dia tidak akan menumpang selamanya di sini. Harga dirinya tidak mengizinkan. Dia hanya perlu sedikit waktu lagi, saat kondisi keuangannya sudah cukup stabil untuk hidup dengan Pelita di tempat lain. Memulai hidup di tempat baru tidak murah, apalagi dia ingin yang terbaik untuk anaknya.

"Nggak usah berpikir soal pekerjaan. Itu bisa diatur." Inggrid bisa merasakan keengganan Hara, jadi melanjutkan dengan nada membujuk. "Kamu bisa izin. Kita nggak lama kok di sana. Perjalanan seperti ini bagus untuk Pelita. Dia bisa lihat tempat lain yang jauh berbeda dengan Jakarta."

"Ma, kita ikut, ya. Ikut dong!" Pelita mengguncang lengan Hara, berusaha meyakinkan ibunya yang terlihat enggan.

Hara menatap anaknya tidak berdaya. Dia bisa apa kalau seperti ini? "Iya, kita ikut," jawabnya pasrah, meskipun belum sepenuhnya ikhlas. Akan sulit membujuk Pelita untuk meninggalkan rumah ini nantinya.

Inggrid tersenyum dan menepuk punggung tangan Hara yang menelungkup di pangkuan. "Kita berangkat beberapa hari sebelum acara karena ada kegiatan lain." Senyumnya perlahan memudar dan gesturnya menjadi sedikit kaku. "Cucu saya dan ibunya dimakankan di sana, jadi kita akan sekalian ziarah kubur. Saya ngasih tahu karena mungkin suasananya akan sedikit canggung nanti, jadi kamu nggak akan kaget." Inggrid berdiri dan menggapai Pelita. "Yuk, ikut turun sama Eyang, siap-siap untuk makan malam. Mama kamu nanti nyusul."

Hara menatap punggung dokter Inggrid yang berlalu bersama Hara. Penjelasan yang sama sekali tidak jelas tadi menimbulkan semakin banyak tanda tanya di benaknya. Dokter Inggrid mengatakan menantu dan cucunya dimakamkan di Sulawesi. Apakah itu berarti istri dan anak Robby? Tidak mungkin Dewa dan Rajata karena mereka sudah punya istri, dan sepertinya masih terlalu muda untuk pernikahan kedua.

Hara menggelengkan kepala. Untuk apa dia memikirkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dirinya? Lebih baik mandi dan bersiap untuk turun makan malam. Dia tidak boleh membiarkan tuan rumah menunggu. Dia hanya menumpang di sini. Semoga tidak untuk waktu yang lama.

**

Robby membuka pintu apartemen dan membiarkan Mika masuk. "Sendiri, Mbak?"

"Kelihatannya gimana?" Mika langsung menuju ruang tengah. "Kakak kamu lagi di rumah sakit." Dia berhenti di depan foto berukuran superbesar yang dipajang secara mencolok. Napasnya seperti tercekat. Senyum yang terpancar dari foto itu sama sekali tidak menular, padahal orang dalam bingkai itu terlihat bahagia. "Mbak memang sengaja datang sendiri biar kita ngobrolnya enak." Mika melepas pandangan dari foto itu dan melanjutkan langkah menuju sofa.

Robby menyusul kakak iparnya dan memilih sofa tunggal lain untuk duduk. "Ngobrol soal apa, Mbak?" Dia tersenyum, tetapi sorot matanya tidak terlihat gembira. "Kalau hanya mengulang-ulang nasihat supaya aku move on, sebaiknya lupakan saja. Aku nggak mau terdengar kasar saat ngomong sama Mbak Mika, tapi cara aku menjalani hidup, itu urusanku sendiri."

Mika mendesah. Mengatakan hal yang membuatnya datang ke sini ini tidak mudah. Rajata mengusulkan mereka datang berdua untuk bicara dengan Robby, tetapi Mika menolak karena ingin melakukannya dari hati ke hati.

"Mbak nggak datang untuk nyuruh kamu melepas semua foto Dhesa yang ada di sini dan melanjutkan hidup, karena Mbak tahu, meskipun fotonya sudah nggak ada di sini, bukan berarti bayangan dia di hati dan kepala kamu juga akan otomatis hilang. Mbak memang nggak suka dengan cara kamu menjalani hidup, tapi seperti yang kamu bilang, itu urusan kamu sendiri." Mika mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan pada hal yang membuatnya datang menemui Robby. "Dean akan menikah di Baubau. Kita semua akan pergi. Ayah-Ibu, Dewa-Kinan, dan Mama juga. Kita... kita akan sekalian menengok makam Dhesa dan anak kalian di Buton."

Robby seketika merasa ada rasa dingin yang merayapi tulang punggungnya. Butuh beberapa waktu untuk membuatnya menemukan suara. "Aku... aku nggak akan ikut." Dia menggeleng kuat-kuat. Dia terlalu takut untuk melakukannya. Melihat makam Dhesa dan anak mereka hanya akan membunuh harapannya. Dia tidak lagi berpura-pura bahwa Dhesa sedang menghukumnya dengan pergi bersembunyi dan membawa serta anak mereka. Makam adalah kenyataan. Robby belum kuat untuk kenyataan sekeras itu.

"Kamu harus ikut, Rob. Kamu, Mama, Ibu, dan Mbak sendiri harus berdamai dan menemui Dhesa bersama-sama. Ini saat yang tepat. Bukan berarti Dhesa masih ada di sana dan sedang menunggu kita. Makam itu hanya simbol tempat raganya disemayamkan, tapi rasa sentimental saat kita melakukannya di sana akan membuat kita lebih terhubung."

"Aku nggak akan pergi." Suara Robby terdengar lebih tegas. Tidak ada yang boleh mementalkan harapannya. Dia bertahan hidup karena harapannya. Dia berhasil melalui hari demi hari setelah berhasil menipu diri bahwa Dhesa masih ada dan hidup di suatu tempat.

Mika tahu dia tidak boleh mendesak. Dia harus memberikan Robby kesempatan berpikir. Dia tahu persis dilema yang dirasakan laki-laki itu. "Masih ada waktu. Mbak akan tetap beli tiket untuk kamu, meskipun nantinya kamu nggak ikutan."

**


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro