Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Robi mengawasi punggung dokter itu lekat. Ada yang aneh dengannya. Perempuan itu mengatakan jika dia baik-baik saja. Kopi panas yang tumpah di baju dan mengenai kulitnya bukan masalah sama sekali. Hanya saja, agak sulit meyakini hal itu karena si dokter tampak bercucuran air mata. Yang jelas, tidak ada yang mengucurkan air mata bahagia saat ditabrak orang asing dan menumpahkan kopi panas ke badannya. Memang sudah tidak terlalu panas lagi, karena jarak antara gerai tempat Robby membeli kopi dan IGD ini lumayan jauh, tetapi tetap saja itu bukan air mineral kemasan. Dia melihat dokter itu bahkan membuang kartu nama yang dia berikan di tempat sampah, tanpa sedikit pun melirik tulisan di sana. Perempuan itu jelas tidak mengharapkan ganti rugi apa pun.

Robby mendesah dan menatap tidak berdaya pada gelas kosong di tangannya. Dia meremas benda itu sebelum menuju tempat sampah untuk membuangnya. Dia harus kembali untuk membeli kopi. Sial.

Psikiaternya mengatakan kafein tidak terlalu baik untuknya. Robby mendengus. Tahu apa orang itu tentang apa yang baik dan tidak baik untuknya? Jujur, dia tidak percaya orang itu. Dia menemuinya hanya karena Rajata yang memintanya. Tidak lebih. Robby bahkan sudah melewatkan beberapa pertemuan yang seharusnya dia datangi.

Sejujurnya, Robby merasa psikiater tidak bisa melakukan apa pun untuknya. Dia tidak butuh orang lain untuk membedah isi kepalanya dan mengatakan apa yang seharusnya dia lakukan. Hanya saja, mengetahui kehilangan Dhesa dan anak mereka sangat berat. Minggu pertama, Robby hampir tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Dia tidak bisa menghitung jumlah kopi yang diminumnya tanpa makan apa pun. Dia kehilangan semangat untuk hidup. Apa gunanya bertahan kalau ternyata orang-orang yang ditunggunya tidak akan pernah datang lagi dalam hidupnya?

Dewa yang menyusul ke apartemen karena Robby tidak masuk kantor dan tidak bisa dihubungi, menemukannya pingsan. Rajata lalu membawanya ke rumah sakit. Dan untuk pertama kalinya sejak mendengar tentang Dhesa, Robby bisa tertidur. Ya, dengan bantuan obat penenang, tentu saja.

Setelah keluar dari rumah sakit, Rajata membujuknya (bahkan langsung membuatkan janji) menemui psikiater. Katanya bicara dengan seorang yang ahli akan menolong, meskipun Robby tidak yakin. Tapi psikiater juga tidak terlalu buruk. Bukan bagian percakapannya yang membosankan, karena sebagian besar sesi dihabiskan dalam diam. Psikiater itu menunggu Robby bicara dan menumpahkan isi hati, sedangkan dia tidak berniat melakukannya. Dia lebih suka bicara kepada Dhesa kalau bisa. Memeluknya akan lebih bagus lagi.

Hanya saja, meskipun benci sesi-sesi itu, Robby tetap datang. Tidak rutin seperti yang seharusnya, tetapi dia datang. Untuk obat tidurnya. Obat tidur tidak dijual bebas. Rajata atau ayahnya tidak akan mau meresepkan itu untuknya meskipun bisa. Robby tidak memikirkan ibunya sebagai kemungkinan lain. Sudah lama mereka tidak bicara banyak. Kadang-kadang Robby merasa kepalanya pening kalau sudah beberapa hari tidak bisa memejamkan mata. Jadi dia akan kembali ke psikiaternya. Pekerjaannya juga tidak sebagus yang dia inginkan. Robby tahu itu, meskipun Dewa menolerir dan berusaha tidak menegurnya. Kakaknya itu hanya akan menyingkirkan cangkir kopinya kalau sudah berlebihan. Dan memastikan Robby menghabiskan makan siang yang dia bawa untuknya.

Robby mendesah dan berbalik menuju gerai kopi. Mungkin rokok bisa menolong, tetapi dia tidak pernah merokok. Tidak ada orang yang merokok di keluarganya, jadi dia tidak terbiasa dengan aroma tembakau. Mungkin dia harus mencobanya. Selalu ada yang pertama dalam hidup, kan?

Dewa tadi menghubunginya dan mengatakan salah seorang mandor proyek mereka mengalami kecelakaan kerja di lokasi. Mereka sedang mengejar tenggat waktu sehingga pekerjaan bangunan tetap berjalan di akhir pekan. Karena kebetulan sedang mengantar Pelita untuk bertemu Mika di sini, Robby memutuskan menunggui orang itu sebagai bentuk tanggung jawab.

Ngomong-ngomong soal tanggung jawab, apakah dokter yang ditabraknya tadi benar-benar tidak apa-apa? Ah, untuk apa memikirkannya? Bukankah dirinya adalah contoh paling bagus dari orang-orang yang suka melarikan diri dari tanggung jawab? Dia ahlinya. Ada dua nyawa yang hilang untuk membuktikan kepiawaiannya menjadi orang yang lalai. Sialan! Rasanya Robby ingin berteriak dan menghabiskan udara dalam paru-parunya.

Mungkin dia harus mengunjungi psikiaternya senin besok. Mungkin dia bisa diberikan tambahan obat untuk menyeimbangkan hormon-hormonnya. Mati sebenarnya bukan pilihan buruk. Robby beberapa kali memikirkan soal itu. Hanya saja, itu terlalu mudah untuk membalas apa yang sudah dia lakukann kepada Dhesa dan anak mereka.

Itu juga akan menyakiti keluarganya. Terutama ibunya. Robby masih belum bisa memaafkan perempuan yang sudah melahirkannya itu, tetapi juga tidak bisa membuatnya menghabiskan sisa hidup dalam pelukan rasa bersalah karena menempatkannya di tempat yang sama dengan dirinya sekarang, saat menyesali apa yang dilakukannya kepada Dhesa. Jadi, seperti inilah dia sekarang. Hidup, tetapi tidak benar-benar ada.

**

Hara mulai menyisir rambut Pelita setelah mengeringkannya. Anak itu sudah mandi dan wangi. Seperti biasa, tampak semangat dan ceria.

"Tadi dong, Tante Mika beliin pop corn sama kentang goreng waktu kita nonton. Tapi katanya nggak boleh minum soda, padahal Pelita pengin. Tapi nggak apa-apa sih. Tante Mika baik banget. Sayang Mama nggak ikutan. Seru deh."

"Kan, Mama kerja buat cari duit."

"Tante Mika pasti duitnya banyak ya, Ma? Hari ini dia kan nggak kerja. Cuman nemenin Pelita doang dari pagi. Tadi dong, Pelita diajakin ke rumah Eyaang Bunga-Bunga."

"Eyang Bunga-Bunga?" Hara menghentikan gerakannya menyisir.

"Iya, Eyang Bunga-Bunga. Kata Tante Mika, itu mamanya. Di rumahnya dong, penuh bunga gitu." Pelita mengembangkan tangan di udara. "Banyaaaakkk banget. Trus, Eyangnya baik banget. Pelita dikasih roti gitu. Tadi Pelita bawain buat Mama sih, tapi karena laper, Pelita makan lagi di mobil. Eh, tapi rotinya kurang sih karena dimakan sama Om Robby juga." Pelita membela diri.

Hara tidak bisa menahan senyum. Dia tahu Robby itu adik Rajata. Mika yang memberitahu. Hara belum pernah bertemu dengannya. Dia hanya melihat foto-foto yang ada di rumah ini, tetapi tidak begitu memperhatikan. Hara juga tidak pernah mendengar dokter Inggrid dan dokter Lukito menyebutkan nama anak mereka yang itu. Mungkin saja Robby selalu datang berkunjung saat dia sedang di rumah sakit untuk bekerja.

Tadi Mika mengatakan kalau Robby yang mengantar Pelita ke rumah sakit dari rumah ibunya. Eyang Bunga-Bunga versi Pelita. Hubungan kedua keluarga ini pasti sangat baik, sampai adik ipar Mika pun berkunjung ke sana. Punya keluarga besar pasti sangat menyenangkan. Sekarang Hara hanya punya sepupu yang harus segera menjual rumah tempatnya berteduh karena membutuhkan uang, tidak peduli di mana Hara dan Pelita akan berlindung karenanya. Tanpa sadar, Hara mendesah.

"Om Robby itu orangnya nggak asyik sih." Pelita mengedik. "Diam aja gitu. Trus, dia nggak pernah nonton Princess Sofia." Dia berdecak, seolah tidak percaya ada orang yang melewatkan acara itu. "Trus, nggak tahu Ferdinand itu siapa. Pokoknya nggak asyik."

"Film-nya bagus?" Hara mengalihkan pembicaraan supaya tidak menertawakan kekesalan anaknya.

"Bagus dong. Seru banget. Mamanya jadi jagoan gitu. Trus anaknya kalau napas jadi api gitu. Bandel lagi. Pelita nggak gitu. Oh ya, papanya badannya gede banget. Agak-agak bego gitu sih. Bingung aja kerjaannya."

Kali ini Hara tidak bisa menahan tawa. "Nah, rambutnya udah rapi. Anak mama cantik banget deh. Dia membalikkan tubuh Pelita supaya menghadapnya. Pipi tembam anak itu diciumnya. "Wangi lagi."

Semakin dilihat, Pelita semakin mirip laki-laki itu. Laki-laki yang dilihatnya sekilas di IGD. Memang hanya sekilas, tetapi tetap saja merusak harinya. Blusnya bahkan terkena tumpahan kopi. Walaupun orang yang menabraknya mengaku melamun, tetapi kejadian itu bisa dihindari kalau Hara tidak sedang melakukan hal yang sama.

Jujur, apa yang dilihat Hara  tadi sedikit menakutkan. Stroke bukan penyakit yang hanya butuh observasi di IGD dan langsung diizinkan pulang. Meskipun ibu laki-laki itu sudah dipindahkan ke bagian lain saat besok Hara kembali ke sana, bagaimanapun besarnya, rumah sakit itu tetap saja terlalu kecil untuk menghindari pertemuan yang tidak disengaja. Bahkan hanya dengan memikirnya seperti ini saja, Hara sudah merinding. Orang-orang itu tidak boleh tahu tentang Pelita. Sama sekali tidak. Pelita hanya miliknya. Tidak ada kompromi tentang hal itu. Dia tidak akan berbagi.

**

Bayi Digda akan di-Update kalau vomen cukup, ya. Semoga bisa hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro