Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak janji untuk fast update, ya. Semoga suka...

**

Bagaimana cara menghentikan harapan? Meyakinkan diri bahwa yang dijalani sekarang adalah dunia nyata, bukan mimpi buruk yang sewaktu-waktu berakhir saat terjaga? Tidak ada. Itu benar, tidak ada cara tepat untuk memberitahu hati bahwa apa yang diinginkannya tidak akan pernah terjadi. Karena sesungguhnya harapan itu bukan organ tubuh yang tunduk pada perintah otak. Dia memilki sayap sendiri. Melayang menjanjikan kebahagiaan ketika menarik napas terasa sedemikian sulit.

Memelihara harapan yang tidak akan pernah menjelma nyata itu menyakitkan. Terbangun saat pagi hanya untuk menyadari bahwa satu hari yang lain telah tiba. Hari yang dijalani karena keharusan, bukan karena ingin. Hari yang diisi sambil berdoa semoga malam segera menjelang. Saat lelap menjanjikan mimpi indah dan berharap tidak akan terjaga lagi. Selamanya. Sebuah siklus yang membuat kebas dan berharap semoga akan kehilangan kemampuan menghitung.

Ini penghujung hari yang lain. Kelam yang dihias dengan aneka lampu dari gedung dan kendaraan yang terus bergerak di jalan raya. Robby mengawasinya dari ketinggian. Gelap menyelimutinya. Dia memang sengaja tidak menyalakan lampu apartenennya. Ini sedikit memberi nyaman. Bahwa dia tidak bisa melihat pantulan dirinya pada beberapa cermin yang dipakainya sebagai dekorasi ruangan di beberapa tempat di apartemennya. Seseorang yang berdiri menantangnya di balik cermin hanya akan mengingatkan betapa buruk dirinya sebagai lelaki.

Dia seorang pecundang. Pengecut yang seharusnya tidak punya tempat di dunia. Dia ada hanya untuk mengambil hidup orang-orang. Orang-orang yang dicintainya dengan sangat. Itu beban yang harus dipikulnya seumur hidup. Serupa penyesalan yang menyusup dalam nadi dan bercampur di darahnya. Berputar-putar dalam tubuhnya untuk mengingatkan bahwa dia adalah laki-laki yang gagal memikul tanggung jawab.

Dia membuka galeri ponsel dan kembali menatap terpesona. Gambar yang entah sudah berapa ribu kali dia lihat sejak dimilikinya minggu lalu. Telunjuknya bergerak perlahan. Mengusap layar. Seolah senyum yang memantul dari wajah mungil itu bisa merasakan hangat yang ujung jarinya kirimkan.

Senyum Robby mengembang, bersamaan denngan air mata yang kemudian menetes. Ini keindahan yang seharusnya menjadi miliknya, seandainya dia memiliki cukup keberanian untuk berjuang. Tapi dia tidak punya itu. Dia hanya pecundang tak berperasaan.

"Maafkan aku," bisiknya lemah. "Maafkan Papa." Dia harap getaran suaranya yang diayun gelombang udara akan menjumpai telinga mungil itu Mungkin tidak akan membawa perbedaan apap pun, tapi setidaknya dia tahu bahwa kehadirannya di dunia diinginkan. Bahwa dia hanya tidak beruntung memiliki ayah seperti dirinya.

Robby masih berdiri hingga kakinya kebas. Ketika kemudian menekan sakelar dan akhirnya cahaya yang menyilaukan memenuhi ruangan, dia kemudian tegak mematung, memandang sebuah foto berukuran besar yang menempel di dinding. Seorang gadis yang sangat cantik tersenyum padanya. Binar mata yang masih setia mengikuti langkahnya setelah sekian lama digulung dan ditenggelamkan waktu. Dia masih menyimpan semua kenangan. Tak ada yang terlupa, karena dia tak ingin lupa. Ini seperti membayar utang yang tak pernah lunas.

"Maafkan aku," Roby mengulang kata-kata itu. Wajahnya kini basah. "Aku mencintaimu. Selalu. Kamu tahu, kan?" 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro