Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buat #TimGagalMoveOn, maafkan, ya. Tapi sepertinya Robby berhak melanjutkan hidup, meskipun prosesnya akan teramat sangat tidak  mudah, karena di antara semua karakter yang pernah aku tulis, dia orang yang paling sulit pindah ke lain hati. Dan jujur saja, aku juga nggak yakin dia benar-benar bisa pindah ke lain hati. Kita lihat bersama saja nanti bagaimana prosesnya. Aku juga nggak akan maksain kalau dia memilih jadi lagamon. Aku hanya pengin dia ketemu dengan orang lain saja. 

Part awal masih pendek aja dulu. Hepi reading en lope-lope tu ol, Gaesss....

**

Rumah itu terlihat megah dari luar, menimbulkan perasaan gentar. Pilar-pilar penopang teras mengirimkan kesan angkuh. Pintu yang tertutup rapat seolah hanya ingin terbuka kepada siapa yang diinginkannya. Rumah ini jelas bukan tempat yang memberi perasaan nyaman kepada setiap orang yang mendatanginya.

Kemewahan terkadang mengintimidasi. Itulah yang dirasakan Hara sejak mobil yang ditumpanginya memasuki pintu gerbang yang dijaga dua orang satpam. Setelah terbiasa dengan rumah bergandengan di gang sempit penuh hiruk pikuk, keheningan yang tampaknya menjanjikan di tempat ini membangkitkan kecanggungan. Dia bergerak-gerak gelisah, seolah jok empuk tempatnya duduk terbuat dari paku-paku yang pelan-pelan mulai mengoyak kulitnya.

Hara menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan melalui mulut. Mungkin datang ke tempat ini bukan tindakan yang benar. Ya, dia pasti tidak berpikir matang-matang saat menyetujui pindah ke sini. Mungkin dia harus membatalkannya. Belum terlambat untuk melakukannya.

"Turun, yuk. Sudah sampai." Suara itu seakan darang dari alam lain, tetapi cukup untuk mengembalikan fokus Hara. Kecemasannya bagai sekepal bola salju yang terus digulirkan, mengikat bunga-bunga es lain bersamanya, membesar. Emosi itu seperti tumpah ruah dari dalam hati, menembus daging, dan Hara merasakannya merembes keluar melalui pori-pori. Keringatnya mulai keluar, padahal AC dalam mobil cukup dingin. Ini keringat yang murni dipacu adrenalin, bukan karena kerja ototnya.

"Dok," Hara tercekat. Dia sekarang benar-benar yakin kalau dia berada di tempat yang salah.

"Sudah aku bilang kamu panggil aku Mbak Mika saja." Perempuan yang berada di balik kemudi itu turun dan membuka pintu belakang tempat Hara duduk dengan gelisah. "Pelita masih tidur, ya? Kasihan, dia pasti capek banget."

Ucapan itu menyadarkan Hara pada tangan kecil yang sejak tadi digenggamnya erat-erat, seolah takut terlepas, padahal si pemilik tangan melekat kepadanya. Kepala mungil itu bertumpu di pangkuannya, tampak lelap diayun mimpi. Seketika Hara teringat jika tangan yang berada dalam kepalan tangannya ini adalah alasan dia berada di tempat ini. Keputusasaan, karena tidak punya jalan keluar lain.

"Nggak usah dibangunkan. Biasanya anak-anak rewel kalau dipaksa bangun. Bisa kamu gendong, kan?"

"Bisa, Dok... eh, Mbak." Menggendong Pelita adalah pekerjaan rutin Hara saat memindahkan anak itu ke kamar tertidur dari ruang tengah ketika dia pulang malam dan Pelita berkeras menunggunya di luar.

"Koper-koper di bagasi nanti diangkat Pak Mus naik di atas."

Hara menggendong Pelita keluar dari mobil. Ini benar-benar titik nadir dalam hidupnya. Dia pernah melalui hari-hari yang benar-benar buruk, tetapi saat itu dia masih berdiri di atas kedua kakinya. Namun sekarang keadaannya berbeda. Untuk pertama kali, dia akan menggantungkan diri kepada orang yang benar-benar asing.

Hara mengenal Dokter Mika, orang yang membawanya ke sini, karena mereka sering jaga bersama, dan dia tahu persis kalau perempuan itu sangat baik, apalagi saat tahu Hara sudah punya Pelita di umur yang semuda sekarang. Namun, hubungan mereka hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih. Jadi menerima kebaikan sebesar ini terasa membebani.

"Mbak, mungkin saya harus cari tempat kos saja," ujar Hara takut-takut. Dia bahkan mendengar suaranya sendiri bergetar tidak yakin. Hangat tubuh pelita yang menempel dalam dekapannya semakin membunuh keberaniannya. Dia tahu kalau dia sebenarnya tidak punya pilihan.

Hara terkesiap saat melihat raut wajah Mika yang tadi lembut berubah keras saat berbalik dan menghampirinya tergesa. "Aku tahu kamu berat menerima ini, tapi ini bukan saat yang tepat untuk egois. Iya, cari tempat kos itu gampang. Tapi habis itu apa? Kamu mau meninggalkan pelita di sana sendirian saat kamu kerja? Kamu tega? Bagaimana kalau dia dibawa kabur orang jahat?"

Hara tergidik. Tubuhnya menggigil tiba-tiba. Bulu kuduknya meremang. Itu kemungkinan yang sangat buruk. Satu-satunya alasan dia bertahan dari kerasnya dunia adalah Pelita. Dia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Pelita.

"Aku minta maaf harus bilang kayak gitu, Hara. Tapi ini bukan saat untuk berpikir soal harga diri dan ketidaknyamanan kamu. Sekarang kamu harus mengutamakan kenyamanan Pelita. Dia prioritas kamu sekarang." Suara Mika kembali melembut, mengusap pendengaran Hara, menghapus sedikit kegelisahan, meskipun canggungnya tetap bertahan. "Aku mungkin nggak pantas kasih kamu nasihat karena meskipun lebih tua, kamu sudah merasakan beratnya menjadi ibu. Dan kamu pasti tahu persis bahwa di lubuk hati kamu yang terdalam, kamu bersedia melakukan apa pun untuk anak kamu. Jadi, berhenti membantah dan masuk sekarang."

Air mata Hara langsung jatuh. Setetes, dua tetes, kemudian mulai mengalir. Tanpa suara. Semua yang dikatakan Dokter Mika itu benar. Dia akan melakukan apa pun untuk pelita. "Saya... saya..."

"Kalau kamu nggak betah di sini, kamu boleh pindah ke rumah mama saya setelah dia kembali dari liburan. Tinggal di sini hanya untuk kepraktisan saja. Di sini Pelita ada yang mengawasi kalau kamu kerja. Kamu sudah dengar sendiri, kan, Dokter Inggrid bilang begitu?"

"Tapi... tapi, Mbak...."

"Dokter Inggrid hanya tinggal bersama Dokter Lukito sekarang. Anak sulungnya Dewa sudah menikah dan tinggal di tempat lain. Aku dan Rajata juga nggak tinggal di sini. Robby, adik Rajata yang bungsu juga nggak terlalu sering pulang. Jarang banget, malah. Kamu nggak perlu sungkan. Aku dan Rajata masih tinggal di apartemen, dan nggak punya ART yang bisa membantu mengawasi Pelita kalau kita semua kerja. Kalau di sini, kamu nggak perlu khawatir soal itu." Mika mengusap lengan Hara. "Ayo masuk. Dokter Inggrid pasti sudah menunggu di dalam."

Hara menaikkan tubuh Pelita yang sedikit melorot dalam gendongannya. Air matanya yang masih terus turun, membasahi dan terserap dalam kaus yang dipakai Pelita.

Ya, dia bisa melakukan ini. Dia bisa menyingkirkan semua harga diri yang tersisa untuk Pelita. Tidak masalah. Lagi pula, bukankah sejak dulu dia memang adalah perempuan yang tidak punya harga diri di mata orang-orang? Mengapa harus meributkan hal itu sekarang? Ya, Tidak ada yang tidak bisa dan cukup sulit dilakukannya kalau itu untuk Pelita.

Hara menarik napas panjang sekali lagi, meneguhkan hati, sebelum mengikuti Dokter Mika yang sudah berjalan lebih dulu menuju pintu yang tidak kelihatan ramah itu. Mulai sekarang, hidupnya dan Pelita tergantung pada apa pun yang orang-orang di balik pintu itu tawarkan. Belas kasihan.

Ini hanya sementara, Hara berusaha meyakinkan diri. Setelah menemukan rumah kontrakkan kecil dan pengasuh Pelita sesuai kondisi keuangannya yang minim, dia akan keluar dari rumah bos besarnya di kantor, Ya, ini tidak akan lama.

Sialan, kenapa air matanya tidak berhenti jatuh? Hara tidak suka terlihat lemah seperti ini. Mengapa ketegarannya harus menguap tak berbekas di saat dia paling membutuhkannya seperti sekarang?

**

Aku nggak bisa janji akan fast update  karena temanya lebih berat daripada biasa. Jauh lebih mudah menulis  romcom daripada yang kayak gini. Dan, bulan  Ramadhan juga akan lebih sibuk dengan urusan rumah. Waktu yang biasa dipakai nulis juga akan dipakai untuk menyiapkan sahur. Jadi yaa.... gitu deh.

Daaannn.... untuk mengimbangi tema yang berat ini, nanti MUNGKIN aku akan posting cerita lain yang sedikit lebih ringan. Idenya sudah bulat, tinggal nunggu eksekusi aja karena akan diselingi dengan ini nulisnya. Semoga jadi. Kalau nggak, berarti nunggu yang ini kelar dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro