18 : Menyukainya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau harus menjadi pewarisku yang bisa diandalkan."

"Kaulah kebanggaan keluarga Gunadarma, Ares."

"Kau membawa nama keluarga Gunadarma, jangan kecewakan Ayah."

"Bermain piano hanya membuang waktu."

"Berhentilah bermain piano dan fokus pada perusahaan."

"Tuan meminta Anda menyelesaikan laporan ini dalam satu minggu."

"Kalau konser itu berhasil membawa baik nama perusahaan, ayahmu mungkin akan mempertimbangkannya, Nak."

"Ayah tidak mau tahu! Yang jelas, Ayah ingin kau kuliah di London!"

Ares membuka mata, napasnya terengah-engah, butiran-butiran keringat memenuhi dahinya. Ia merasa seperti baru saja berlari mengelilingi lapangan hingga membuat napasnya tak beraturan. Kata-kata Barata masih menggema dalam telinganya walaupun kini ia telah terjaga. Ia segera terduduk di tempat tidur dan menyisir rambutnya yang basah karena keringat dengan jemari tangan.

Mimpi buruk yang seperti potongan film itu sering menghampirinya. Kalimat-kalimat yang diucapkan kedua orang tuanya selalu menjadi kenangan buruk dan terbawa mimpi. Bayangan Brata, Widya, dan Yanu muncul bergantian dengan kalimat-kalimat yang membuatnya tertekan.

Ares bangkit, menyambar botol obat kecil di atas nakasnya, dan mengambil 1 butir tablet putih dari dalamnya. Ia menelan tablet putih itu bersama dengan segelas air putih. Diliriknya jam beker di atas nakas yang menunjukkan pukul 1 dini hari, kemudian perlahan ia membaringkan tubuhnya ke tempat tidur, selama beberapa menit ia memejamkan mata dan menenangkan diri dengan mengatur pernapasan seperti yang dianjurkan dokter pribadinya.

"Aku akan membuktikannya padamu, Ayah. Aku akan membuktikannya. Aku akan membuktikannya," gumamnya berkali-kali sampai ia tertidur kembali.

-----##-----

"Permisi, Mas. Ada tamu untuk mas Ares."

Perhatian Ares beralih dari kertas partitur yang ada di tangannya ke arah Dirman yang sudah berdiri di depan pintu ruang piano. Kedua alisnya tertarik ke atas, "Siapa, Pak?"

Dirman tersenyum, "Anda pasti akan senang menemuinya."

"Hai, Res. Long time no see." Seorang cowok berperawakan tinggi berwajah peranakan Asia tiba-tiba muncul dari balik tembok.

"Simon?" dengan wajah berseri, Ares menghampiri Simon dan memberikan pelukan singkat, "sejak kapan kau pulang ke Indonesia? Kenapa nggak menghubungiku dulu?"

"Untuk mengejutkanmu," ujar Simon dengan senyum miringnya. Beberapa waktu kemudian, Simon dan Ares sudah duduk berhadapan mengobrol ringan ditemani kopi hangat dan kudapan di sofa kamar Ares.

"Gimana pertunjukanmu di Jepang?" tanya Ares.

Simon mengusap rambut hitam kecoklatannya dan tersenyum bangga, "Simon Demiand Tan nggak akan berani menunjukkan wajahnya di depan Ares Gunadarma kalau nggak bisa meraih juara." Ia mengambil ponselnya dari saku, selama beberapa detik mengusap-usap layar dan menunjukkannya kepada Ares.

"God! Kau memenangkan National Great Violinist Japanesse Festival tahun ini? Proud of you, Bro."

"You have to, Brother. Gimana denganmu? Kudengar kau akan mengadakan mini concert? Semacam konser amal?"

Ares mengangguk, "Ya, Simon. Aku dan timku akan mengadakan konser amal beberapa minggu lagi. Kuharap kau bisa datang atau kalau kau mau, kau bisa tampil di konserku. Akan jadi kehormatan bagiku tampil bersama juara NGV Jepang tahun ini."

Simon tertawa keras, "Kau terlalu berlebihan seolah-olah aku memenangkan kompetisi internasional, itu cuma festival kecil tahunan. Lagipula, aku cuma beruntung bisa mengikuti kompetisi itu karena kewarganegaraan ibuku."

"Tapi tetap saja kau memenangkannya," ujar Ares.

Simon tertawa pendek, ia berdiri dan berkeliling sambil melihat-lihat ruangan kamar Ares. Kemudian pandangannya tertuju ke arah sebuah pamflet yang tergeletak di atas meja. Ia membacanya dengan seksama.

"Score Art University? Kau akan mendaftar di SA University?" tanya Simon.

Ares yang sedang menyesap kopinya sedikit tersentak. Ia berdiri dan merebut pamflet itu dari tangan Simon, sedangkan Simon hanya menatap sahabatnya itu dengan tatapan bertanya, "Nggak. Aku cuma sedikit penasaran sama pamfletnya, jadi aku mengambilnya."

"Aku tahu kau ingin kuliah di sana. Kau sangat mencintai musik, kan?"

Ares menggeleng, "Ayah ingin aku kuliah bisnis di London. Aku nggak bisa mengecewakannya." Ares menyelipkan pamflet itu ke dalam sebuah buku, kemudian menghela napas panjang ketika ia melihat tatapan Simon yang masih membutuhkan penjelasan. "Bisakah kita nggak membahas itu dulu? Aku hanya ingin fokus pada konserku."

Simon berdecak, lalu menepuk pundak Ares. "Baiklah. Gimana kalau kita mulai membicarakan konsermu?" mereka kembali duduk di sofa, "konsep apa yang kau pilih?" lanjut Simon.

"Klasik tentu saja, aku mengambil tema dari cerita-cerita Disney karena konser ini kupersembahkan untuk anak-anak panti asuhan. Aku pengen menampilkan lagu yang bersahabat dengan anak-anak. Jadi, soundtrack-soundtrack dari film Disney yang akan kutampilkan nanti."

"That's great. Lalu, siapa yang akan bernyanyi? Tunggu, biar kutebak." Simon memijat keningnya, berpura-pura memikirkan jawaban, kemudian menyeringai. "Tiara?"

Ares tertawa pendek, lalu menggeleng keras.

Mata Simon terbelalak, "What? Bukan? Lalu siapa?"

Ares berpikir sejenak, menyesap kopinya, lalu tersenyum, "Seorang cewek yang punya suara malaikat."

"Ada cewek yang suaranya lebih bagus dari Tiara yang sering memenangkan lomba nyanyi itu? Aku jadi penasaran."

"Hmm... aku nggak bisa bilang suaranya lebih bagus dari Tiara."

"Hah? Lalu?"

"Tiara bernyanyi dengan teknik yang mengagumkan dan suaranya sudah nggak diragukan lagi. Terbukti ia sering memenangkan kompetisi bernyanyi. Kau juga tahu kalau dari kecil ia sudah belajar bernyanyi di tempat kursus terbaik."

"Hmm," Simon mengangguk dalam.

Ares tersenyum, ia bangkit menuju jendela panjang yang mengarah ke luar, kemudian melipat tangannya di depan dada. "Tapi cewek itu beda, suaranya terdengar begitu murni. Aku yakin dia nggak punya pengalaman apapun atau melalui kursus dengan segala teknik yang rumit itu. Dia cuma bernyanyi dengan hati. Aku benar-benar tenang dengar dia nyanyi, aku pengen mendengarnya lagi dan lagi, warna suara seperti itulah yang kucari. Kau akan tahu apa yang kumaksud kalau kau mendengar suaranya."

Simon berpikir sejenak. Selama bersahabat dengan Ares, ia mengakui bahwa Ares adalah orang yang sulit ditebak. Beberapa waktu kemudian, seakan menyadari sesuatu ia tersenyum, "Tunggu, jadi kau sedang jatuh cinta, heh?"

Ares berbalik cepat menatap Simon yang tersenyum jenaka padanya. "Kau berlebihan, Simon."

Simon beranjak menghampiri Ares, "Jadi apa? Caramu bercerita tentang cewek itu membuatku mikir kalau kau jatuh cinta sama dia."

Ares menggeleng pelan, "Kenapa kau mulai bertingkah seperti Paman Yanu?"

"Apa aku salah?"

"Mengagumi seseorang bukan berarti menyukainya, kan?"

"Kalau kau nggak menyukainya, berarti kau membencinya? What's her name?"

"Naya. Namanya Naya Kumala. Aku nggak membencinya. Dan berhentilah menatapku seakan aku melakukan hal yang memalukan."

Simon tertawa keras. "Kau tak menyukainya ataupun membencinya, lalu apa, heh?"

Ares memutar bola matanya menghadapi kawannya itu, "Aku udah bilang aku cuma mengaguminya Simon."

Simon mengangkat kedua tangannya rendah. "Oke-oke. Anggap aja begitu. Aku akan datang di konsermu dan melihat sendiri bagaimana kemampuan gadismu itu."

Ares tertawa pendek mendengar kelakar sahabatnya itu.   

-----##-----

"Sudah kamu pelajari lagunya?"

Naya mengangguk, "Udah, Kak."

Ares tersenyum, "Oke. Kalau gitu, kita coba lagu Can You Feel the Love Tonight." Ares mulai memainkan intro dengan pianonya, Naya yang berdiri di samping Ares mulai bernyanyi ketika intro berakhir. Suara Naya dan piano menyatu membentuk alunan lagu yang indah. Detak jantung Ares berdetak cepat seiring mendengar suara Naya. Bahkan ketika lagu selesai, Ares masih merasakan sesuatu yang membuat perasaannya sejuk, seakan masalah-masalah yang membuatnya tertekan hilang.

"Gimana tadi, Kak? Ada suara yang fals nggak?" tanya Naya takut-takut.

Ares menggeleng, "Udah bagus, kok." Sempurna malah, tambah Ares dalam hati.

"Syukurlah, aku gugup banget, Kak. Masih nggak nyangka nantinya aku bakal tampil di konser Kak Ares."

"Bikin dirimu senyaman mungkin, Naya. Bernyanyi itu memang nggak mudah. Kau harus bisa menyampaikan isi lagu kepada penonton. Karena itu penghayatan itu penting. Kau punya suara sebagus penyanyi internasional dan teknik bernyanyi yang mendewa, tapi tanpa penghayatan sama saja nggak akan berguna."

Naya mengangguk, "Iya, Kak. Ibuku juga sering menasihatiku begitu."

Alis Ares bertautan, "Oh ya? Ibu kamu penyanyi juga?"

"Hmm... bisa dibilang iya sih, Kak. Ibuku seorang sinden."

Ares manggut-manggut, "Pantas saja kamu pinter nyanyi."

"Tapi kalau dibandingin dengan suara ibu, aku nggak ada apa-apanya, Kak. Ibu bisa nyanyiin semua jenis lagu. Jazz, pop, tembang-tembang Jawa, aku benar-benar kagum sama ibu."

"Kamu juga pinter main gitar. Kursus?"

"Hah?" Naya tertawa, "Nggak lah, Kak. Sekolah aja pake beasiswa, mana mungkin aku ikut kursus-kursus?"

Ares terhenyak, "Maaf, aku nggak maksud bikin kamu tersinggung."

"Nyantai aja, Kak," Naya tersenyum simpul, "aku diajarin main gitar oleh ayahku, dia seorang wiyaga. Tahu, kan? Pemain gamelan Jawa."

Ares mengangguk.

"Ibu ngajarin aku nyanyi dari kecil, terus ayah yang ngajarin main gitar, seruling, dan gamelan Jawa. Satu lagi sih yang ngajarin aku main gitar. Dia Tanu, adikku yang sekarang masih duduk di kelas dua SMP. Dia main gitarnya lebih jago, anak band kalau di sekolahnya." Naya menceritakan keluarganya dengan wajah berseri. Ia sangat merindukan mereka. "Tanu itu kadang nyebelin, itu aja aku paksa-paksa buat ngajarin main gitar. Tapi akhirnya dia mau." Naya menahan tawa teringat adiknya itu.

Ares tersenyum, melihat Naya sangat senang menceritakan keluarganya ia ikut merasa senang, tapi sedetik kemudian senyumnya menghilang. Pandangannya beralih ke arah tuts piano. Pikirannya melayang, ia teringat kedua orang tuanya tak ada yang mendukung keinginannya bermusik, di sisi lain ada keluarga yang mendukung anak-anaknya sampai mengajari bernyanyi dan memainkan alat musik. "Enak ya, punya keluarga yang punya bakat seni," ujarnya kemudian.

Alis Naya tertarik ke atas, "Hmm? Enak apanya, Kak? Aku malah iri sama Kakak. Kakak pinter banget main piano. Nggak ada yang bisa ngajarin aku piano. Padahal aku dari kecil pengen belajar piano."

Ares tertawa, "Kamu pengen main piano? Mau coba main?"

"Hmm?"

Ares berdiri, mendorong Naya duduk di bangku piano. Naya memandang Ares dengan tatapan bertanya. "Aku akan mengajarimu bermain piano."

"Hah? Tapi Kak-"

Ares beranjak memosisikan diri di belakang Naya, meraih kedua tangan Naya, dan menempatkannya di atas tuts.

"Santai saja, Naya. Buat jari-jarimu nyaman di atas tuts."

Hah? Santai gimana? Aku deg-degan setengah mati nih.

Jantung Naya bertalu-talu, posisi Ares sangat dekat dengannya. Ia bisa merasakan napas Ares menerpa pucuk kepalanya.

Ares membimbing tangan Naya menekan tuts dengan meletakkan tangannya di atas tangan Naya. "Nah, kurang lebih kamu harus memosisikan tanganmu seperti ini dan menekan tutsnya dalam, jangan ragu-ragu."

Naya membisu, tapi jantungnya berdebum keras. Ia tak berani menggerakkan kepala, ia hanya menunduk memandang tuts piano di hadapannya. Tiba-tiba terdengar ponsel berdering. Ares bergerak mengambil ponselnya. Naya sontak berdiri.

"Kak Ares, kalau gitu aku balik dulu, ya. Aku harus kerja. Dah, Kak." Naya menyambar tasnya kemudian berlari keluar. Ares tak sempat menjawab Naya, ia hanya tersenyum melihat tingkah Naya yang terlihat buru-buru, kemudian ia mengangkat ponselnya yang sedari tadi berdering.

"Ya, Paman?" sejenak ia mendengar lawannya di seberang berbicara. "Baiklah, aku akan segera ke pabrik sekarang."    

-----##-----

Naya berlari sekuat tenaga. Ia berhenti di samping gerbang sekolah dan menyandarkan punggung di tembok luar sekolah. Napasnya tersengal-sengal. Ia memegang dadanya, jantungnya berdetak cepat, berdetak cepat karena gugup bercampur akibat ia berlari.

"Duh, untung tadi ada kesempatan buat cepet pergi dari ruang musik. Kalau enggak, jantungku pasti udah copot."

Naya menenangkan diri.

"Kenapa aku ngerasa nggak karuan kayak gini sih tiap kali deket sama kak Ares?"

Jangan-jangan aku menyukainya.

-----##-----

To Be Continued

-----##-----


Yeay, akhirnya bisa up di hari pertama MWM. Semoga bisa konsisten up sampai memenuhi target minimum. Yang penasaran sama kelanjutan Jewel, akhirnya aku bisa up chapter baru. :D Yang penasaran gimana lagunya Can You Feel The Love Tonight, cek mulmed..

Oh ya, sahabat Ares, Simon Demiand Tan adalah karakter dari karya teman baikku, kudedikasikan part ini untuknya. 

Dia jadi cameo di sini, wkwk. Pastinya Simon punya cerita yang nggak kalah menarik dari Ares. Cus aja cek worknya. Kalau dihapus sama dia, teror aja sampai dia up lagi. :D.

31 Mei 2018


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro