22 : Dongeng Sebelum Tidur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sorry ya Mon. Lu kena ceki." Bimo melakukan 'closed card' permainan remi dengan kartu yang berfungsi sebagai joker.

"Asem lu Bim! Gue udah ragu mau buang tuh kartu!" pekik Ramon.

"Anjir! Daritadi dapet bagus mulu kartu lu."

"Sialan nih bocah! Dukun lu manjur amat." Adit menatap kesal ke arah Bimo.

Bimo tersenyum bangga, "Ya udah, itung itung itung, cepetan."

"Aku plus dua lima."

Bimo mencatat skor di kertas, "Natha dua lima. Lu berapa, Dit?"

"Min lima puluh."

"Mon?"

"Aku seratus dua tujuh."

"Min apa plus?"

"Ya min lah, cuk," Ramon membanting kartunya.

Derai tawa Bimo, Adit, dan Natha mengudara melihat reaksi Ramon.

"Eh, tapi poin yang paling kecil tetep Adit nih."

"Hah?" Adit merebut kertas skor yang dipegang Bimo "Anjir. Apes lagi!"

Melihat reaksi Adit, ketiga temannya tertawa puas.

"Siniin muka lu."

Adit terlihat kesal, sudah berkali-kali wajahnya tercoreng bedak tabur. Bimo, Ramon, dan Natha tertawa terbahak-bahak setelah mencoreng sekali lagi wajah Adit.

"Mukamu dah kayak topeng monyet." Natha terbahak sambil memegangi perutnya.

"Topeng monyet kebagusan. Dah kayak adonan apem noh," sahut Bimo. Tawa mereka meledak.

Naya yang sedari tadi berada di ruang klub sambil menata berkas-berkas menahan tawa melihat tingkah mereka. Akhir-akhir ini ruang klub rame dengan tingkah kawan-kawan Elang yang membuat Naya tidak bosan. Sebaliknya, si cowok psikopat itu tak kelihatan batang hidungnya. Naya bersyukur tak melihat muka arogan cowok itu. Setelah ancaman Elang beberapa hari lalu, ia tak menampakkan diri di ruang klub ataupun membuat masalah di sekolah. Hanya sesekali Naya melihatnya di kantin atau di lapangan sepak bola.

"Anjir! Mukaku dah kayak kanvas aja dicoreng-coreng seenaknya."

"Gapapa, Dit. Itu namanya rejeki anak soleh," Ramon menepuk pundak Adit.

"Solah soleh. Mamam tuh soleh," Adit melempar kartu-kartu ke muka Ramon, "Udah, deh. Males! Kalah mulu."

"Lah, cemen lu," ledek Natha.

"Bodo amat."

"Ngomong-ngomong Elang ke mana?" tanya Ramon.

"Kayak nggak tahu dia aja. Pasti bolos, lah. Kalau dia nggak masuk, aku sama Adit yang jadi sasaran Zizi. Diintrogasi mulu," ujar Bimo.

"Dia udah persiapan buat pemilihan belom?" tanya Natha.

"Udah. Kemarin aku sama Bimo bantu dia bikin proker," ujar Adit.

Naya memutar bola matanya, ia tampak tak tertarik mendengar topik tentang Elang. Tak lama kemudian ponselnya berdering.

"Ya?"

[Mal, aku tunggu di OGM sekarang!]

"Hah?" Ngapain aku disuruh ke sana?

[Olympus Garden Mall, bego!]

Argh! Iya, aku juga tahu. Tapi ngapain aku disuruh ke sana? "Hah? Ngapain?"

[Haheh haheh. Kamu budeg? Nggak usah banyak nanya. Terserah kamu naik apa ke sini, angkot kek, bis kek, yang penting kutunggu di ground floor paling lambat dua puluh menit dari sekarang. Awas kalau telat!]

Tanpa menunggu jawaban Naya, Elang memutus sambungan telepon.

Naya menghela napas panjang, diliriknya teman-teman Elang yang masih heboh di sudut ruangan. Ia menaruh berkas yang belum sempat ditata, meraih tasnya, dan bergegas pergi.

-----##-----

Naya melihat Elang duduk di meja food court sambil bermain ponsel. Ia bergerak menghampiri cowok itu, tapi langkahnya terhenti ketika seorang cewek yang duduk di sebelah Elang bermanja-manja menggamit lengan cowok itu.

Lah? Ngapain dia manggil aku kalau lagi kencan?

Ia masih terpaku di tempatnya ketika Elang menyadari keberadaannya dan menyuruhnya mendekat dengan gerakan tangan. Naya terhenyak dan bergerak mendekati mereka. Diamatinya cewek yang sedang bermanja-manja itu. Ia mengira cewek itu pasti seumuran dengannya, pakaiannya dan dandanannya kebarat-baratan dengan softlens berwarna biru mencolok di matanya. Ia mengingat-ingat apakah pernah melihat cewek itu di sekolah, ia tak yakin.

Menyadari tatapannya, cewek itu balik menatapnya.

"Who is she?" tanyanya kepada Elang. Ternyata bukan hanya dandanannya yang kebarat-baratan, cara bicaranya juga, Naya mencebikkan bibir.

"Nobody. But she will help you. You can shop as much as you like."

"Really? Thank you so much. Aku senang kau mau menemaniku selama di Indonesia."

"No prob, Darl. Aku nggak mungkin bisa nolak diminta menemani teman semasa kecilku. You grow into a beautiful girl."

Jocelyn —nama cewek itu— tersipu, sedangkan Naya hanya bisa memutar bola matanya melihat senyum Elang yang semanis madu, tapi baginya senyum itu bagai racun. Elang meliriknya, sekilas pandangan mereka bertabrakan.

Tak lama kemudian, Naya menjadi obat nyamuk di antara Elang dan Celyn. Ia mengekori kemanapun mereka pergi. Ia berdecak bosan mendengar obrolan Elang dan Celyn dengan bahasa Inggris yang terlalu cepat sehingga ia tak bisa mencerna obrolan mereka. Lah? Ngapain aku pusing-pusing kepo mereka ngobrolin apaan?

Selain itu, setiap berbelok ke sebuah toko, Naya menjadi sasaran pembawa barang belanjaan Celyn. Mereka tak peduli tangan Naya sudah penuh dengan belanjaan dan merasa keberatan.

Jadi karena ini dia manggil aku ke sini? Duh, mana berat lagi nih belanjaan, sampai kapan cewek ini berhenti belanja? Berat woy! gerutu Naya dalam hati.

Selama berjam-jam Naya harus mengekori mereka. Tangannya sudah pegal. Ia melirik jam tangannya, masih ada waktu, ia tak mau terlambat bekerja gara-gara harus jadi pembawa barang. Naya menghela napas lega ketika Elang dan Celyn memutuskan untuk makan di food court. Setidaknya ia bisa duduk dan berdoa agar kegiatan tak berguna yang sudah menyita waktunya itu segera berakhir.

-----##----- 

Naya mengempaskan badannya ke ranjang. Tangannya dipijat-pijat kecil, hari itu merupakan hari yang melelahkan. Setelah jadi pembawa barang belanjaan, ia harus lanjut bekerja di kafe. Untungnya ia tidak terlambat meskipun datang terlalu mepet jam masuk kerja. Ia mendesah lega mengingat sekarang ia bisa menikmati kasur empuknya di asrama. Matanya hampir terpejam ketika ponselnya berdering. Melihat nama ibunya di layar ponsel, senyumnya melebar.

"Ibu?"

[Malam, Nduk. Apa ibu menganggu tidurmu?]

"Nay belum tidur kok, Bu. Gimana kabar Ibu, Bapak, dan Tanu?"

Mendengar suara ibunya, rasa capek dan kesal yang melandanya seakan sirna. Naya menyukai suara ibunya yang menenangkan itu. Naya ingat, setiap malam ibunya selalu mendongengkan kisah pewayangan sebelum tidur. Ia rindu saat-saat itu. Semenjak memutuskan tinggal di asrama, Naya merasa sepi, tak ada yang mendongenginya sebelum tidur, tak ada yang mengelus kepalanya hingga ia terlelap.

[Kami baik-baik saja. Maaf Ibu meneleponmu terlalu larut, Ibu kangen, Nduk.]

"Nay juga kangen sama Ibu, sama Bapak dan Tanu juga." Naya membungkam mulutnya, air mata mulai muncul di pelupuk mata.

[Bapak dan Tanu juga merindukanmu.]

Suasana hening selama beberapa waktu. Pikiran Naya mengembara mengingat hal yang dilaluinya di sekolah, terutama ancaman Elang tentang pencabutan beasiswanya, membuat Naya tak sanggup memikirkan perasaan orang tuanya kalau beasiswanya benar dicabut.

[Apa kau baik-baik saja, Nduk?]

Naya terhenyak, dadanya terasa berat menahan tangis agar tidak pecah dan membuat ibunya curiga, "Nay nggak papa, Bu."

[Gimana sekolahmu? Masih lancar?]

"Sekolah Nay lancar, Bu."

[Syukurlah, Nduk. Ibu berdoa semoga kau selalu sehat. Ibu bangga kamu bisa sekolah di sekolah elit. Semoga bisa menjadi bekalmu di masa depan.]

Naya mengangguk, "Iya, Bu."

Naya berhenti sejenak untuk mengembuskan napas panjang. Ia sudah mulai tenang.

"Bu, apa Ibu bisa dongengin Nay? Nay kangen didongengin sama Ibu."

[Tentu. Ingin dongeng apa, Nduk?]

"Terserah Ibu. Kisah tentang Pandawa yang melawan Kurawa juga tak apa, Bu. Nay nggak bosen dengar cerita itu."

[Baiklah. Ibu akan menceritakan kisah pangeran-pangeran dari Hastinapura, Pandawa dan Kurawa. Pandawa adalah simbol kebaikan....]

Naya berbaring mendengar ibunya bercerita. Suara ibunya seperti nina bobo yang membuatnya tenang dan nyaman. Samar-samar ia masih bisa mendengar suara ibunya, hingga menghilang perlahan, dan ia terlelap.

-----##-----

Elang memasuki rumah bersamaan dengan dentang jam dua belas malam yang menggema di ruang tamu. Ia hendak menaiki tangga ketika suara Barata menghentikannya.

"Jam berapa ini, Lang?"

Elang menoleh ke samping dan mendapati ayahnya menatapnya dengan tajam.

"Apa kau membolos hari ini?"

"Ayah?"

Ia tak menyangka Barata berada di rumah, tidak seperti biasanya, dan sialnya harus memergokinya pulang malam.

"Darimana saja kau?"

"Ngopi sama teman-teman."

Barata tertawa pendek, "Ngopi? Sampai kapan kau berhenti melakukan hal tidak berguna itu? Nongkrong di kafe hanya membuang waktu. Sudah saatnya kau memikirkan masa depanmu."

"..."

"Ares membantu pekerjaan Ayah di perusahaan. Di umurnya yang masih delapan belas tahun, dia sudah bisa menyelesaikan masalah di pabrik Muria Agung. Ayah yakin dia akan menjadi pengusaha yang hebat dan pewaris yang bisa diandalkan."

"Aku tak ingin seperti Kakak. Aku ingin menikmati masa mudaku dengan melakukan hal yang kusuka."

Barata tertawa mendengar jawaban anaknya, "Kau tahu umur berapa Ayah berkecimpung di perusahaan Kakek? Di umur enam belas tahun, Ayah sudah dididik oleh kakekmu dan beliau membiarkan Ayah terjun langsung mengurusi bisnis keluarga kita. Tak bisakah kau seperti Ayah dan kakakmu? Kau hanya bisa menghambur-hamburkan uang dan membuat malu keluarga kita dengan terlibat tawuran dan membuat masalah di sekolah."

Tangan Elang mengepal, tapi ia bergeming, membiarkan ayahnya berbicara hal yang selalu berulang-ulang didengarnya. Hari ini ia sudah cukup jengkel terpaksa menemani cewek manja yang gila belanja dan menguras kartu kreditnya, ia tak mau lagi suasana hatinya lebih buruk dengan menanggapi nasihat ayahnya. Ia hanya menundukkan kepala.

"Sampai kapan kau akan bertindak sesuka hatimu, hah? Kau harus mengerti kerja keras yang kulakukan dan kakakmu. Kau sudah cukup dewasa untuk belajar bisnis."

"..."

"Bisanya kok kelayapan, pulang malam, membolos, berkelahi. Mau jadi apa kamu?" Barata mendesah panjang, "besok Yanu dan Kakakmu akan ke pabrik, kau harus ikut dan mempelajari keadaan di sana. Setelah itu kau harus ikut belajar manajemen dengan kakakmu. Aku akan berangkat ke Belanda besok, kalau ada laporan kau tak mendengarkanku, aku akan mencabut semua fasilitasmu. Mengerti?"

Elang mengangguk, "Baik, Ayah. Sekarang bisakah aku istirahat?"

Barata menghela napas panjang, menatap tajam anaknya itu, kemudian berbalik dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Ia tahu Elang tak akan semudah itu menuruti kemauannya.

Elang menatap nanar punggung ayahnya sampai hilang ditelan kelokan ruangan. Ia benci jika mulai diceramahi tentang perusahaan dan berakhir dengan ancaman pencabutan fasilitasnya. Bahkan yang lebih parah, di saat orang tua lain menceritakan kisah dongeng sebelum tidur kepada anaknya, ia malah dibanding-bandingkan dengan saudaranya.

"Terimakasih atas dongeng sebelum tidurnya, Ayah," bisiknya hampir tak kentara sebelum ia melenggang menaiki tangga menuju kamarnya.


-----##-----

To Be Continue

-----##-----   


23 Juni 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro