31 : Sorot Mata Kejujuran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa kali Naya menguap bosan sambil sesekali melirik jam tangan. Sudah hampir 20 menit ia duduk di bangku penonton melihat pertandingan sepak bola antara tim Elang dan tim dari Dymitri High School. Bangku penonton terlihat sepi, mungkin karena banyak yang mengikuti kegiatan klub masing-masing, pikir Naya, karena itulah ia dilanda bosan.

Di bangku depannya, berjejer pemain cadangan dari tim Elang yang sedari tadi riuh mengomentari jalannya pertandingan. Semenjak menjadi 'tukang kebersihan' klub sepak bola, Naya jadi tahu kegiatan-kegiatan rutin klub bola seperti pertandingan persahabatan dengan klub sekolah lain, dan itu artinya dia harus alih profesi menjadi 'sie konsumsi'.

Diliriknya jam tangan sekali lagi, jam menunjukkan pukul 15.42, itu artinya 18 menit lagi konser Ares akan dimulai. Ia sedikit cemas, mungkin saja ia akan terlambat hadir mengingat pertandingan Elang belum selesai. Kalau dia pergi tanpa izin, Elang pasti akan marah, dan Naya malas meladeni omelan cowok itu. Kalau tidak mengingat Elang pernah menyelamatkannya saat gladi bersih, ia pasti tak akan mau bertahan jadi pesuruh. 

Ia menyibukkan diri dengan bermain ponsel hingga peluit wasit yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatiannya. Di lapangan, ia melihat beberapa pemain mengerumuni sesuatu. Para pemain cadangan di depannya tampak gusar.

"Elang nggak papa, tuh?"

"Tadi kulihat kena pas lutut."

"Bisa lanjut nggak dia?

"Coba samperin, Nath."

Naya melihat cowok bernama Natha itu berlari masuk ke lapangan. Beberapa waktu kemudian, gerombolan pemain menyebar sehingga Naya mulai tahu apa yang terjadi. Dilihatnya Natha memapah Elang menuju bangku penonton.

"Wah, Lang. Memar." Ramon hendak menyentuh lutut Elang tapi tangannya ditampik.

"Woy, cepat ganti posisiku dulu, sana." Elang menyerahkan ikat lengan bertuliskan 'Captain'.

"Bob, ambilin etil klorida di ruang klub," perintah Ramon kepada Bobby.

"Nggak, nggak! Kalian fokus ke pertandingan." Selama beberapa menit Elang menjelaskan strategi kepada anggota timnya, kemudian pergi menjauh setelah melakukan tos dengan teman-temannya. Pandangan Naya mengekori Elang yang berjalan timpang meninggalkan lapangan sepak bola.

"Sial!" Elang berhenti sejenak, keringat bercucuran di dahinya, wajahnya memerah karena menahan ngilu di lututnya. Seorang pemain dari tim Dymitri tak sengaja menendangnya di bagian lutut dan membuatnya tumbang. Ia mencoba berjalan lagi, tapi rasa ngilu itu semakin menjadi.

Sialan!

Tiba-tiba Elang merasa seseorang meraih tangannya. Naya melingkarkan tangan Elang ke belakang lehernya dan menyangga cowok itu berdiri.

"Mau ke ruang klub, kan?" tanya Naya.

"Kau? Apa-apaan, sih ini?"

"Bilang terimakasih, kek. Udah dibantuin juga. Atau Kakak duduk di sini aja, biar aku ambilin obat di ruang klub."

Elang memutar bola matanya, "Nggak, antar aja ke ruang klub."

Naya membantu Elang berjalan sampai ke ruang klub, kemudian sibuk mencari kotak obat dan Chlor Etil di lemari. Beruntunglah ia pernah menanyakan kepada Adit tentang botol semprot di samping kotak obat. Adit menjelaskan padanya bahwa botol itu adalah Chlor Etil yang digunakan untuk pertolongan pertama jika ada pemain bola yang cidera, kalau disemprotkan ke bagian tubuh yang cidera akan menimbulkan reaksi dingin untuk pereda rasa sakit.

Naya melirik Elang, dilihatnya cowok itu sedang duduk di lantai dan meringis menahan sakit. Naya menyemprotkan etil klorida dan mulai menangani kaki Elang.

"Tadi kenapa nggak mau diantar aja obatnya? Kalau gitu kan Kakak nggak usah repot-repot jalan sendiri ke ruang klub. Jadi tambah sakit, kan?"

"Terus kamu mau aku jadi pusat perhatian di lapangan sana? Yang ada timku malah nggak fokus ke pertandingan."

Naya melirik cowok di hadapannya itu, ia hendak mengatai cowok itu 'keras kepala', tapi ia urung dan menutup kembali mulutnya. Suasana menjadi hening.

"Pemimpin yang baik itu bukan orang yang suka perintah sana perintah sini."

Perkataan Elang membuat Naya mengalihkan perhatian, menatap cowok itu. Pandangan mereka bertemu. "Pemimpin itu harus bisa diandalkan dan jadi kekuatan tim. Aku nggak mau tim lawan melihatku sebagai kapten yang lemah. Tim mereka pasti mengira kalau timku bakal down karena kaptennya cidera. Mereka bakal punya celah ngalahin tim. Makanya sebisa mungkin aku harus terlihat baik-baik aja."

Elang berhenti sejenak, menarik napasnya panjang.

"Aku juga nggak mungkin nyuruh tim cadangan meninggalkan lapangan. Tugas tim cadangan itu bukan cuma sebagai pemain pengganti aja, tapi juga membaca strategi dengan mengamati pertandingan yang berlangsung. Kalau aku nyuruh mereka keluar lapangan cuma karena hal sepele, itu sama aja membuang waktu."

Naya terhenyak, selama ini ia selalu mengira Elang adalah orang yang egois, tidak pernah memikirkan orang lain, bahkan sering membully. Ia teringat ketika Elang menyelamatkannya di acara gladi bersih. Cowok itu bisa saja bersikap tak acuh dan membiarkannya malu di depan orang banyak, toh Elang juga tahu bahwa Ares bisa menanganinya dengan mudah. Tapi kenyataannya, Elang membawanya pergi. Ia mulai berpikir bahwa memang ada sisi baik dari cowok di hadapannya ini.

Setelah itu, tak ada pembicaraan lagi, mereka dilanda perang bisu. Naya menyibukkan diri memberi obat pada luka Elang dan membalutnya tanpa menyadari bahwa sedari tadi ada sepasang mata yang menatapnya. Elang memandang gadis di hadapannya itu, gadis yang selalu membantah dan menatapnya tajam tapi kini dengan lembut membantunya mengobati luka, gadis yang biasanya pemberani tapi terlihat sangat rapuh ketika menangis.

Ia tidak tahu kenapa ia tak bisa melepaskan pandangan dari gadis yang sedang membebat kakinya itu. Melihat wajah Naya dari dekat, ia baru sadar kalau gadis yang selalu dipanggilnya 'si kumal' itu tak sekumal yang ia pikir. Gadis itu mempunyai bulu mata yang panjang dan kulit wajah yang mulus. Dilihatnya sesekali rambut terurai gadis itu terjuntai ke bawah, menutupi wajah, membuat gadis itu menyelak rambutnya dan mengaitkannya ke belakang telinga.

Sialan!

"Woy, cepetan. Udah nahan sakit daritadi."

Naya melirik kesal cowok di hadapannya itu, "Iya, iya, masih dibebat, nih."

Suaraku masih belum sembuh gini malah diajak ribut, pengen hemat suara jadi nggak bisa kalau diajak ribut mulu sama nih orang, gerutu Naya dalam hati.

Naya membebat kaki Elang dengan kasa kain, rambut panjangnya yang kembali terjuntai ke bawah membuatnya reflek mengaitkan rambut ke belakang telinga.

"Hash! Bisa nggak, sih, kamu nggak gituin rambut kamu?!"

Naya tersentak, kemudian menatap Elang dengan tatapan bertanya, "Hah? Gituin gimana maksudnya?"

Elang menghela napas pendek, "Lupakan. Udah-udah! Biar aku saja. Kamu balik ke lapangan, sana." Ia menjauhkan tangan Naya. Naya hanya menatapnya dengan bingung sebelum beranjak dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Setelah gadis itu pergi, ia menggerang kesal.

Sialan! Aku pasti benar-benar sudah gila!    

-----##-----

Setelah memperlihatkan tiket kepada petugas di depan pintu, Naya memasuki aula gedung Herakles dengan canggung. Ia belum pernah menghadiri konser orkestra dan memasuki gedung konser Ares membuat jantungnya berdebar-debar. Ia bisa melihat Ares serta timnya di panggung depan sedang melakukan pertunjukkan dengan Tiara sebagai penyanyinya. Ia bernapas lega konser Ares bisa berjalan dengan baik. Setelah pertandingan sepak bola tadi, ia langsung cepat-cepat menuju aula sekolah.

Untung aja masih sempat.

Ia memutuskan menempati tempat duduk yang kosong di barisan paling belakang, meskipun ia tahu bahwa konser Ares sebentar lagi selesai karena lagu yang saat ini dinyanyikan Tiara adalah lagu penutup, ia tetap merasa senang dapat sedikit kesempatan melihat konser itu.

Beberapa waktu berlalu dan konser Ares berakhir. Sebagian penonton berhamburan keluar, sebagian masih sibuk berebut foto dengan sang pianis dan timnya. Naya beranjak hendak menuju panggung, tapi niatnya urung karena melihat Ares masih sibuk berbincang dengan rekan-rekan ayahnya.

Dia pasti sibuk. Mungkin lain kali aja ketemunya, batinnya, dan ia pun berbalik meninggalkan gedung.

-----##-----

Memasuki ruang klub, Elang mendapati Naya yang sibuk mengayunkan kemoceng di rak kayu, membersihkan sela-sela tempat yang dipenuhi peralatan olahraga dan sepatu. Kakinya berjinjit seiring menyapukan kemoceng ke rak yang lebih tinggi darinya itu.

Elang menyandarkan lengannya ke kusen pintu dan melipat tangan di depan dada, mengamati cewek yang membelakanginya itu membuatnya teringat insiden gladi bersih dan alasan tak masuk akal Tiara menyingkirkan cewek itu dari konser kakaknya.

Pikirannya melayang saat ia mendengar perbincangan Zizi dan Tiara di dapur rumah Ramon. Sesegera mungkin ia menuju gedung aula sekolah untuk mencegah cewek itu mempermalukan Ares, apalagi di depan ayahnya. Ketika sampai di aula sekolah, kekhawatirannya terjadi. Naya memaksakan diri untuk bernyanyi dan itu membuat keadaan menjadi fatal. Ia sempat melihat reaksi ketidakpuasan ayahnya dan gumaman para penonton menambah suasana semakin runyam.

Kemudian pandangannya beralih ke arah panggung. Ia melihat gadis itu mulai terisak di atas panggung dan selama beberapa waktu mengamati gadis itu, Bodoh, kenapa cewek kumal itu nggak cepat pergi?, pikirnya. Dan entah setan apa yang tiba-tiba merasukinya, ia melenggang cepat menuju panggung dan membawa gadis itu pergi.

Menghadapi cewek yang menangis selalu membuatnya kesal. Kebanyakan cewek yang ia dekati selalu menjadikan air mata sebagai 'senjata' kalau keinginannya tidak terpenuhi, apalagi tidak dipenuhi oleh lelaki dan itu selalu membuatnya muak. Mereka selalu menuntut, mengekang, dan membuatnya jengah padahal ia tak pernah merasa mempunyai hubungan yang mengikat, di saat seperti itulah ia selalu meninggalkan cewek-cewek yang merepotkan itu, seperti Luna misalnya.

Awalnya ia muak dan hanya bisa memutar bola mata melihat Naya menangis, sama seperti gadis-gadis lain yang menurutnya lemah, atau malah sengaja terlihat lemah agar keinginan mereka terpenuhi dan lelaki yang selalu mengalah. Tapi ternyata gadis itu berbeda. Air mata gadis itu terlihat lebih 'manusiawi' daripada cewek-cewek yang pernah didekatinya. Sorot mata gadis itu menunjukkan kejujuran, tak ada sesuatu yang dibuat-buat.

Ia ingin meyakinkan diri sendiri tentang apa yang dirasanya benar selama ini dengan mencemooh sikap cengeng Naya. Tapi ia tak menemukan sesuatu yang dibuat-buat, malah gadis itu lebih mengkhawatirkan konser kakaknya daripada reputasinya sendiri.

Mengingat itu, Elang tertawa tak bersuara. Dia itu bodoh atau memang tak berotak, sih?

Ia jadi semakin merasa tak habis pikir ketika mengingat alasan Tiara menyingkirkan Naya dari konser Ares. Dari dulu ia memang berpikiran bahwa cewek adalah makhluk yang menyeramkan jika sudah melibatkan 'keinginan perempuan', Zizi contohnya. Ia tahu, Zizi adalah salah salah satu cewek yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya bahkan dengan cara licik. Beberapa kali Zizi melabrak dan membuat trauma cewek-cewek yang pernah didekatinya, dan ketika itu terjadi ia hanya bisa bersikap tak peduli.

Seakan sadar dari lamunan panjangnya, ia menghela napas panjang, diamatinya Naya yang mulai memanjat rak kayu dan menyapukan kemoceng ke rak yang lebih tinggi. Gadis itu masih tak sadar dengan kehadirannya.

Elang tertawa tak bersuara, Sebenarnya apa kehebatanmu sampai kakakku memilihmu dan penyanyi sekelas Tiara merasa tersaingi? Bagiku, kehebatanmu itu cuma jadi babu, ejeknya dalam hati.

Ia beranjak mendekati Naya, "Hei, Kumal! Lelet bang-"

Ucapan Elang terpotong karena ia merasakan sesuatu yang berat tiba-tiba menimpa tubuhnya. Luka di lutut membuatnya tak bisa menahan posisinya dan akhirnya tubuhnya berbenturan dengan lantai. Kejadian yang begitu cepat itu membuatnya sesaat hilang kesadaran, hingga beberapa saat kemudian ia sadar sedang menatap kedua bola mata indah seorang gadis yang menatapnya terkejut. Naya, gadis itu terjatuh dan kini berada di atas tubuhnya.

"Lang! Katanya kamu anter aku pul-"

Suara Zizi yang tiba-tiba muncul membuat Naya segera bangkit dan dengan rikuh kembali menyibukkan diri membersihkan rak.

Zizi menatap Elang dan Naya bergantian, pandangan tak suka terlihat jelas di kedua matanya. Elang bangkit perlahan, "Ya. Ayo," ucapnya sebelum pergi meninggalkan ruang klub mendahului Zizi. Zizi terpaku sesaat sambil memandang Naya sebelum akhirnya menyusul Elang.

Sepeninggal Zizi dan Elang, Naya mengatur napasnya yang sempat tak beraturan. Ia benar-benar terkejut ketika Elang tiba-tiba memanggilnya. Tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang sebelumnya. Suara panggilan Elang yang tiba-tiba itu mengagetkan Naya, membuat pijakannya kehilangan keseimbangan, dan sialnya harus jatuh menimpa cowok itu. Sudah beberapa waktu kejadian itu berakhir, tapi entah kenapa jantungnya masih berdetak cepat. Ia menyandarkan kepala di rak kayu sekedar menenangkan diri, berharap detak jantungnya kembali normal. Duh, kenapa, sih? 

-----##-----

Seseorang berjaket hitam dengan kamera di tangan terlihat membidik seorang anak SMA yang baru saja terlihat di gerbang sekolah dengan mengendarai motor. Di belakangnya membonceng seorang gadis dan kedua motor lain mengekor di belakangnya. Mereka terlihat berbincang sejenak sampai akhirnya memacu motor dan hilang dari pandangan.

Orang berjaket hitam itu tak melewatkan apapun yang dilakukan anak SMA itu. Beberapa foto sudah ia dapatkan, ia memeriksa hasil bidikannya itu dan tersenyum miring. Tapi sedetik kemudian seseorang yang mencengkeram pergelangan tangannya dari belakang membuatnya terkejut. Ketika menoleh, ia melihat seorang anak SMA lain yang menatapnya dengan tajam, yang diketahuinya sebagai objek bidikan kameranya selama beberapa minggu terakhir.

"Siapa yang menyuruhmu?" Ares mencengkeram tangan orang itu lebih kuat. Orang berjaket hitam itu tercekat sejenak sebelum ia menarik tangannya kuat-kuat dan berbalik hendak kabur. Tapi ketika berbalik, ia dihadang oleh seorang anak SMA lain yang langsung menunjukkan kuda-kuda.

"Kau tak akan mau bermain-main dengan atlet Judo, kan?" Faizal menatap tajam orang di hadapannya itu.

Orang berjaket hitam itu menelan ludahnya dengan susah payah. Ares merebut kamera yang dipegang orang itu setelah melemparkan senyum kepada Faizal.

"Siapa yang menyuruhmu?" Ares bertanya lagi, selama beberapa detik tidak ada jawaban, ia kembali mencecar orang itu. "Mandala Group? Lesmana Company? Star King? Katakan saja!"

"Hentikan, Res!"

Suara Yanu mengalihkan perhatian Ares. "Paman? Apa yang kau..."

"Aku akan menghubungimu nanti. Pergilah!" perintah Yanu kepada orang berjaket hitam itu.

Ares menatap Yanu dengan tatapan jengah, "Jadi, dia adalah orang suruhanmu?"

Sejenak, Yanu mengamati keadaan sekitar dan setelah orang berjaket hitam itu sudah berjalan jauh, Yanu kembali mengalihkan perhatian kepada Ares, "Bukan aku, Res. Tapi ayahmu."

"Ayah?" Ares tertawa muak, "apa lagi yang ayah rencanakan? Sekarang ayah menyewa paparazi untuk mengikuti kami? Serius? Menyewa paparazi untuk mengikuti anaknya sendiri? Untuk apa dia melakukan itu? Ini benar-benar nggak masuk akal." Nada Ares meninggi.

"Pelankan suaramu." Mata Yanu masih bergerak waspada. "Sekarang, ikuti saja saranku. Simpan saja pertanyaan-pertanyaanmu itu karena ada sesuatu yang lebih penting."

"Sudahlah, Paman. Aku tak percaya padamu. Kau anak buah ayah dan pasti kau mengikuti rencananya."

"Terserah kau mau percaya atau tidak. Tapi kusarankan kau harus bertindak cepat. Orang itu belum menyerahkan hasil foto-fotomu dan Elang kepada Tuan Barata. Ambil memori kamera itu dan hapus foto-foto yang berhubungan dengan Naya, terutama fotomu bersamanya. Aku akan mengurus sisanya."

Ares termangu sejenak, "Naya? Apa hubungannya dengan Naya?"

Yanu menghela napas sejenak, "Ayahmu sudah memutuskan siapa yang akan menjadi tunanganmu, Res, dan kalau kau tak ingin ayahmu menyingkirkan Naya karena foto-foto itu, kau harus menghapusnya secepat mungkin."

-----##-----

To Be Continue

-----##-----


Akhirnya bisa update juga, maaf karena akhir-akhir ini sibuk banget di kerjaan. Tagih aja kalau aku nggak update update, boleh diteror. wkwkwk. Karena kalian adalah semangatku nulis. :)

Gimana part ini menurut kalian? 

Jangan lupa follow IG @ perihutann

See ya...


10 Oktober 2018

24:00

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro