35 : Malaikat Penyelamat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah panah kecil mendarat di papan darts yang ditempel di tembok. Elang mengembuskan napas panjang, melihat lemparannya tak cukup bagus, ia membidik dan melempar lagi sebuah panah yang ada di tangannya.

"Heiyo Boss!"

Sapaan Bimo mengalihkan perhatiannya. Dilihatnya Bimo dan Adit dengan kantong berisi makanan yang baru saja memasuki kamarnya.

"Untung kau bolos. Capek banget harus bersih-bersih sisa bazaar tadi malem. Kalau aja aku bukan sesi perlengkapan, pasti udah ikut bolos," gerutu Bimo sambil mendaratkan bokongnya di sofa.

Adit membuka bungkusan makanan ringan dan mulai mengunyah, "Gerry nagih balapan bareng. Dia nanya kapan kita bisa kumpul bareng lagi."

Mata Elang menyipit, membidik papan darts, "Selama nggak ada Ronal, aku bisa kapan aja," jawabnya sambil melempar panah darts.

"Anjir! Perut nggak bisa dikompromi." Bimo bangkit dan berlari menuju kamar mandi di sudut kamar Elang.

Melihat Bimo tergopoh-gopoh berlari seperti kucing disiram air, Adit tertawa hingga hampir menyemburkan makanan di mulutnya, "Jangan lupa cebok, Bro."

"Bacot lu, Cuk!" teriak Bimo dalam kamar mandi. Adit hanya menganggapinya dengan tawa yang semakin menggelegar. Suasana kemudian hening, Elang masih sibuk dengan lemparan panahnya dan Adit dengan makanan ringannya. Pikiran Adit melayang entah ke mana, ia memandang Elang dan papan darts bergantian, kemudian mengembuskan napas panjang, "Lang?"

"Hmm?"

"Udah denger kabar Naya?"

Elang melirik Adit tak suka, kemudian perhatiannya kembali beralih ke papan darts sebelum melemparkan anak panah lagi, "Kenapa tiba-tiba tanya gitu? Bukannya kemarin langsung dibawa ke rumah sakit dan udah ditangani?"

Adit berdecak, "Kau tahu? Kata Hara, banyak bagian tubuhnya yang memar. Kayaknya dia habis dipukulin sama benda keras."

Tak ada respon dari Elang, Adit melanjutkan, "Ditanya berapa kali pun, dia nggak mau ngaku siapa yang udah mukulin dia. Untungnya pagi ini dia boleh langsung pulang dan istirahat. Tapi Lang ..." Adit sedikit meragu, "kok kamu bisa tahu kalau dia bakal nyariin kak Ares? Begitu siuman, dia langsung tanya kak Ares ada di mana."

"Kau udah bilang yang kuminta, kan?"

Adit mengangguk, "Aku udah nyuruh Hara sama Eli bilang kalau kak Ares yang nylametin dia, kak Ares harus pulang duluan dari rumah sakit karena ada urusan. Aku juga bilang Hara buat ngelarang Naya hubungin kak Ares. Awalnya mereka agak keberatan harus bohong sama Naya. Tapi, kubilang karena ini perintahmu dan nggak perlu banyak tanya, ya udah, mereka nurut daripada kena masalah."

"Baguslah kalau gitu. Lebih baik kau juga jangan banyak tanya. Aku lagi males."

Adit menggigit bibir. Meskipun masih penasaran dengan sikap Elang, ia memutuskan tak mau bertanya lagi. Ia mengedikkan bahu, toh hal itu bukan urusannya, "Oke."

Elang melirik Adit yang kembali sibuk dengan makanan ringannya sambil menyalakan televisi. Pandangannya kemudian beralih ke anak panah terakhir yang ada di tangannya, matanya menerawang, otaknya kembali memutar peristiwa malam kembang api di saat ia menyelamatkan Naya yang terkunci di gudang. Ada perasaan janggal yang membuat dadanya terasa sesak ketika gadis itu mengira dia adalah orang lain. Ia bertanya-tanya kenapa gadis itu mulai memenuhi pikirannya, bahkan membuatnya sulit berkonsentrasi padahal pada awalnya ia sangat membenci gadis itu.

Sialan! Kenapa dia membuatku jadi begini?

Ia melempar anak panah kepapan darts dengan keras dan kali ini lemparannya tepat sasaran.

-----##-----

"Nay!" Hara memasuki kelas Naya dan langsung bergabung dengan teman-temannya yang sedang duduk berkumpul. "Gimana keadaanmu? Beneran udah nggak papa?"

Naya mengangguk, "Tenang aja, Ra. Nih, aku udah kuat lagi. Malahan nanti udah masuk kerja."

Mata Hara melebar, "Masuk kerja? Mendingan jangan dulu, deh. Aku yakin badanmu masih belum sembuh bener. Tuh, memar di pipimu masih kelihatan biru."

"Tenang, Ra. Udah nggak sakit, kok. Lagian kalau aku nganggur malah badanku pegal-pegal semua. Kemarin nggak masuk sekolah, seharian udah tidur mulu."

Dini memandang Naya dengan tatapan prihatin, "Nay, kenapa sih kamu nggak mau jujur aja siapa yang udah bikin kamu gini? Kamu nggak usah takut, bilang aja sama kita-kita."

"Iya, Nay. Apa kamu diancam sampai nggak berani bilang?" imbuh Eli.

"Sumpah, siapa yang nglakuin ini ke kamu bener-bener keterlaluan," kata Hara.

Naya memandangi teman-temannya satu per satu, ia tidak ingin menambah masalah dan merepotkan teman-temannya. Ia hanya ingin melupakan semuanya dan fokus dengan sekolahnya. "Udahlah, aku nggak pengen inget-inget kejadian itu lagi. Jadi, please jangan paksa aku buat cerita ya, karena nanti aku bakal keinget kejadian yang bikin aku takut setengah mati. Yang penting aku udah sehat sekarang."

Dini mengangguk, "Ya udah, Nay. Kita hargain keputusan kamu, kok. Aku jadi ngerasa bersalah waktu itu nggak ada buat nolong kamu. Aku malah ketiduran di asrama."

"Iya, nih. Nggak asyik banget kamu, Din. Itu acara puncak festival sekolah, lho. Malah molor di asrama," cetus Eli.

"Sorry-sorry. Habisnya capek banget, pengunjung di shift siang juga banyak. Kudu bolak balik kelas buat ngambil bahan lah, hiasan bazaar lah, beli bahan yang kurang lah. Hash!! Beneran bikin tepar. Paginya malah aku dibikin kaget waktu Naya balik dengan keadaan kayak gitu. Untung banget ada kak Ares, ya. Kalau kak Ares nggak di situ dan sadar kamu di dalem gudang, pasti kamu terkurung sampai pagi di situ, Nay."

Naya terhenyak, ia belum menghubungi Ares sejak malam itu. Hara bilang padanya kalau Ares sedang ada urusan, jadi lebih baik tidak dihubungi dulu. Meskipun begitu, ia ingin mengucapkan terimakasih. Ia benar-benar bersyukur bisa keluar dari gudang yang gelap dan pengap itu. Ketika ia berada di sana, ia merasa seperti berada di dalam peti mati. Ia benar-benar takut setengah mati. Mengingat ada seseorang yang membuka pintu dan ia berhasil keluar, tidak bisa diungkapkan lagi bagaimana ia merasa sangat lega.

Naya ingat saat menghirup aroma vanili kayu khas parfum Ares ketika ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Tanpa melihat wajahnya pun, Naya yakin bahwa orang yang menyelamatkannya adalah orang yang selama ini sangat dikaguminya. Tak sadar, sebuah senyuman terukir di bibirnya mengingat kejadian itu.

"Hayoo, ngomongin kak Ares langsung senyum-senyum sendiri, nih," goda Dini. Naya tersipu malu, Dini malah semakin menggodanya. Sedangkan Hara dan Eli tersenyum rikuh, sesekali saling berpandangan. Mereka tak memberitahu Naya dan Dini tentang kejadian yang sesungguhnya.

-----##-----

"Kak Ares?" Mata Naya melebar melihat Ares memasuki cafe.

Tama menyambut pemuda itu dengan ramah dan mengajaknya mengobrol. Naya menunduk, bergerak rikuh sambil membersihkan meja. Ia terhenyak ketika beberapa waktu kemudian seseorang merebut lapnya.

"Kak Ares, apa yang Kakak lakukan?" Naya terkejut melihat Ares mengelap meja. Naya berusaha merebut lap di tangan Ares, tapi Ares tak membiarkannya.

"Kata Paman, kau tetap keras kepala masuk kerja padahal belum sembuh."

Naya memutar bola mata, "Paman Tama berlebihan, Kak. Aku beneran udah sembuh." Naya merebut kembali lapnya dan mengerjakan tugasnya. Ares terpaku sejenak, memandangnya sendu. Sesaat kemudian pemuda itu meraih tangan Naya, membuat gadis itu mengalihkan perhatian memandang orang yang memegang tangannya itu. Ares memerhatikan lebam di wajah Naya. Ditatap kasihan oleh Ares, Naya tersenyum hendak mengatakan bahwa lelaki itu tidak perlu khawatir. Namun, belum sempat ia mengutarakannya, ia merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pelukan.

"Kau membuatku khawatir."

Beberapa kali Naya mengerjapkan mata, ia masih terkejut dengan tindakan tiba-tiba Ares. "A-aku ... beneran nggak papa, Kak."

"Maaf, udah membiarkanmu terluka." Ares memeluk gadis itu lebih erat.

Naya tersenyum, "Kenapa Kakak yang minta maaf? Harusnya aku karena terlambat ngucapin terima kasih," Naya berhenti sejenak untuk menarik napas panjang, "terima kasih udah nylametin aku dari gudang itu. Saat itu aku bener-bener ngerasa takut. Terkurung sendirian di tempat gelap dan sepi. Aku bahkan berpikiran akan mati saking takutnya. Terima kasih banyak, Kak." Tangan Naya bergerak membalas pelukan Ares.

Pandangan Ares menerawang, otaknya memutar peristiwa sehari sebelumnya, ketika Elang memberitahunya tentang kejadian yang menimpa Naya pada malam puncak festival sekolah.

"Jadi, gimana keadaannya sekarang?" tanya Ares.

Elang mengedikkan bahu, "Yang jelas hari ini katanya belum masuk sekolah."

Ares termangu, Pantas aja Naya nggak kelihatan di sekolah. Ares meraih ponsel di sakunya hendak menelepon Naya, namun Elang menghentikannya, "Jangan telepon dia sekarang!"

Ares menatap adiknya penuh tanya.

Elang menghela napas panjang, "Dengarkan aku dulu. Setelah itu, kau boleh berbicara dan ketemu sama dia sepuasnya."

Ares mengangguk, "Oke. Kenapa?"

Elang termangu sejenak, "Dia mengira kalau kau yang menyelamatkannya," katanya dengan hati-hati.

Ares mengerutkan kening, "Apa maksudmu? Tadi kau bilang kalau kau-"

"Ya, emang aku yang udah nylametin dia. Tapi dia mengira aku adalah kau, Kak. Jadi, bilang aja sama dia dan berpura-pura saja kau yang udah menyelamatkannya. Oke?"

Ares menatap adiknya skeptis, "Tapi kenapa?"

"Hash! Sudahlah, Kak. Lakukan saja. Aku juga nggak peduli dan nggak mau terlibat sama dia lagi. Aku serahkan semua padamu." Elang menepuk pundak kakaknya kemudian beranjak pergi.

Lamunan Ares buyar, ternyata memang benar apa yang dikatakan Elang. Ia berpikir, harusnya bukan dirinya yang menerima ucapan terima kasih, harusnya bukan dia yang dianggap sebagai pahlawan penyelamat gadis yang dicintainya itu. Tapi di sisi lain hatinya berkata bahwa ini adalah situasi yang menguntungkan baginya. Bukannya ia mencintai Naya? Bukannya ia yang selalu ingin mendengar suara merdu gadis itu? Bukannya ia yang ingin memiliki gadis di pelukannya itu?

"Tak peduli sebanyak apapun bahaya yang akan menimpamu, sebanyak itu pula aku akan menjadi malaikat penyelamatmu."

-----##-----

To Be Continue

-----##-----   


Hiyaa, hampir lupa ngasih author note.. Gimana Jewel sejauh ini menurut kalian? Semoga part ini bisa bikin baper... Makasih udah setia menunggu... //peluk reader satu2.

19 Januari 2019

14:27


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro