36 : Permata dan Raja

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Naya sudah memandangi layar ponselnya selama berjam-jam dan selama itu pula ia menghabiskan waktu chating dengan Ares, senyum simpul terulas di bibirnya. Tak ada pembicaraan yang spesial, hanya obrolan ringan dan candaan, tapi membuat Naya nyaman hingga ia betah mengobrol lama sambil berbaring di kasur. Chating-an berakhir ketika mereka saling mengucapkan selamat tidur. Mata Naya menerawang atap putih kamarnya, pikirannya berkelana mengingat saat-saat menyenangkan bersama Ares. Cowok itu tak henti membuatnya kagum, Ares selalu ada ketika ia membutuhkan pertolongan. Naya meraba liontin kalung pemberian Ares yang terpasang di lehernya.

"Tak peduli sebanyak apapun bahaya yang akan menimpamu, sebanyak itu pula aku akan menjadi malaikat penyelamatmu."

Naya tersenyum mengingat kata-kata Ares. Ia benar-benar ingin menjerit sekarang saking senangnya. Di saat seperti ini, tiba-tiba ia berpikiran menelepon ibunya. Ia ingin membagi kebahagian yang dirasakannya.

"Ibu!" seru Naya dengan segera ketika teleponnya tersambung. "Bagaimana kabar Ibu hari ini?"

[Ibu baik-baik saja, Nak. Uhuk ... uhuk ...]

Naya terhenyak mendengar ibunya terbatuk, wajahnya berubah cemas, "Ibu? Ibu batuk?"

[Iya, tadi Ibu bersih-bersih rumah dengan Tanu dan ayahmu. Kami memilih barang-barang yang sekiranya tidak terpakai dan membuangnya. Mungkin kena debu jadi batuk.]

"Apa Ibu udah minum obat? Udah periksa ke Puskesmas?"

[Tenanglah, Nduk. Ibu nggak apa-apa. Ada apa menelepon Ibu? Kangen?]

"Iya, Bu. Hari ini Nay pengen denger dongengnya ibu."

[Dongeng Pandawa yang melawan Kurawa lagi?]

"Hmm ... Nay pengen denger cerita tentang Dewi Drupadi dan Raden Yudhistira, Bu."

Terdengar tawa kecil ibunya. [Wah, putri Ibu yang satu ini rupanya sudah bosan cerita tentang peperangan, ya?]

Naya tertawa, "Enggak, Bu. Nay cuma jarang denger cerita tentang Dewi Drupadi."

[Baiklah. Ibu akan memulai cerita dari siapa itu Dewi Drupadi. Dewi Drupadi adalah putri raja Drupada dari negara Pancala yang akhirnya menikah dengan Raden Yudhistira. Ia adalah wanita bijaksana, tangguh, dan setia yang dilahirkan dari api.]

"Gimana mereka bisa bertemu dan menikah, Ibu?"

[Melalui sayembara, Nak. Zaman dahulu, biasanya cara mencarikan calon suami untuk putri Raja yang akan menikah adalah dengan mengadakan sayembara. Nantinya, sang pemenang lah yang berhak meminang putri Raja.]

Naya mengangguk paham. Ia mendengarkan dengan seksama dongeng dari ibunya.

[Pada waktu itu, Raja Pancala mengadakan sayembara. Barang siapa dapat memanah sehelai rambut Dewi Drupadi yang diikat tinggi hanya dengan melihat bayangannya di sebuah cermin dengan Busur Gandiwa, dia lah yang berhak meminang Dewi Drupadi. Saat itu, Pandawa yang terusir dari Hastinapura menyamar sebagai kaum brahmana dan mengetahui tentang sayembara itu. Raden Arjuna, saat itu ditantang untuk mengikuti sayembara dan berhasil memenangkannya.]

Kening Naya mengkerut, "Arjuna yang memenangkan sayembara?"

[Benar, Nduk. Raden Arjuna lah yang berhasil memenangkan sayembara. Bukankah kemampuan memanahnya tidak perlu diragukan lagi?]

"Tapi, tadi Ibu bilang pemenang sayembara yang berhak meminang Drupadi? Bukannya suami Drupadi adalah Yudhistira, Bu?"

[Memang pemenang sayembara itu adalah Raden Arjuna, tapi ia menyerahkan Dewi Drupadi kepada kakak sulungnya.]

"Kenapa, Bu?"

[Karena Raden Arjuna adalah adik yang setia dan kesatria yang tak pernah melanggar sumpahnya, Nduk. Ia bersumpah bahwa dia tidak akan menikah sebelum kakak sulungnya itu menikah.]

"Tapi, bukannya itu nggak adil, Bu?"

Ibunya tertawa, [Kalau dipikirkan, memang tidak adil. Tapi, niat Raden Arjuna mengikuti sayembara sejak awal adalah untuk mewakili kakaknya. Pada waktu itu Raden Yudhistira juga sempat menolak karena ia merasa bukan orang yang memenangkan sayembara. Tapi, karena bujukan ibunya, Dewi Kunthi, maka Raden Yudhistira pun menerima Dewi Drupadi.]

Naya mengangguk pelan, "Jadi, begitu ceritanya mereka bisa jadi suami istri, Bu? Nay baru tahu."

[Benar, Nduk.]

Naya tersenyum, "Nay selalu seneng denger dongengnya Ibu."

[Banyak sekali seri cerita tentang Pandawa yang bisa Ibu ceritakan padamu, jadi jangan khawatir kehabisan cerita.]

"Iya, Bu."

[Ya sudah, cepat tidur. Besok masuk sekolah, kan?]

"Iya, Bu."

Naya mengakhiri sambungan telepon setelah mengucapkan selamat malam kepada ibunya. Ia mulai bersiap tidur, tapi matanya seakan sulit terpejam, ia berguling kesana kemari. Duh, emang kalau ngrasain terlalu seneng rasanya gini, ya? Mengingat chat-chat menyenangkan dari Ares membuatnya tersipu. Ia mengenyahkan pikirannya tentang Ares dan berusaha memejamkan mata. Selamat malam dan selamat tidur, Malaikat Penyelamatku. 

-----##-----

"Hai, Guys. Sorry telat, tadi piket dulu," ujar Hara sambil meletakkan nampan makan siangnya di meja, bergabung dengan Eli, Dini, dan Naya di kantin.

"Ciee, yang mau jadi nyonya Adit rajin amat," Eli menyenggol lengan Hara.

"Eli!!" Hara tersipu malu, mengundang tawa ketiga temannya, sedetik kemudian ia terhenyak, "Eh, Nay, nanti klub bola tanding, kan?"

Naya mengangguk, "Iya, ada tanding sama SMA Gajahmada. Tadi aku disuruh kak Bimo beli kue buat nanti."

"Jadi, nanti bakal nonton, kan? Aku pengen banget lihat kak Adit. Aku belum pernah nonton dia tanding, sering-sering cuma nemenin kak Adit futsal."

Naya mengangguk, "Tenang aja, nanti aku temenin. Aku kan nggak bisa pulang kalau pertandingan mereka belum selesai."

"Idih, kok kamu masih mau ngejalanin hukuman itu sih, Nay? Beasiswa kamu kan sekarang udah aman. Lagipula, kak Elang kayaknya juga udah nggak pernah gangguin kamu," ujar Dini.

"Entahlah, Din. Belum ada kesempatan tanya tentang itu. Klub bola masih sibuk, apalagi kak Elang baru aja kepilih jadi ketua. Aku masih disuruh ini itu."

"Hmm ... iya juga, Din. Kak Adit juga banyak kegiatan di klub bola," sambung Hara.

Dini menghela napas panjang, "Kenapa kakak adik sifatnya bisa beda banget gitu, ya? Kak Elang ganteng padahal. Andai aja nggak suka bully dan playboy, pasti aku juga ikut naksir kayak cewek-cewek lain," ia berdecak, "andai aja sifatnya kayak kak Ares. Kamu beruntung banget, Nay, dislametin cowok kayak kak Ares. Aku bayangin pas kamu digendong ala bridal style kayak di drama-drama Korea gitu. Unchh ... romantis banget."

"Ish, Dini. Kebanyakan nonton drama Korea," Naya mengibaskan tangan di depan Dini.

"Tapi serius loh. Romantis banget. Apalagi bayangin adegan dia dobrak pintu gudang terus nemuin kamu. So sweet ...."

"Pintunya nggak didobrak kali, Din. Gemboknya dipukul pake tabung APAR," timpal Hara.

"Hah? Serius?" mata Dini melebar. Naya terhenyak, ia juga baru tahu tentang itu.

"Iya, kak El- Aaww!!" Eli meringis merasakan kakinya diinjak.

"Kata kak Adit, kak Ares mukulin tabung APAR sampe gemboknya rusak, terus pintunya dibuka," ujar Hara sambil melirik Eli yang hampir keceplosan. Menyadari lirikan Hara, Eli menelan ludah dan menyadari kebodohannya.

"Wuaahh, keren banget tau," ujar Dini dengan wajah berseri.

Naya tersenyum kemudian tenggelam dalam pikirannya sendiri, mengabaikan teman-temannya yang mulai mengobrol topik lain. Ia masih tak menyangka bahwa Ares yang telah menyelamatkannya, membuatnya semakin dekat dengan cowok itu. Mendengar usaha Ares menyelamatkannya, ia berpikir bahwa ucapan terima kasih saja tidak cukup untuk membalas kebaikan Ares. Apa yang bisa kulakukan untuk dia, ya?

-----##-----

Naya melihat Elang yang sibuk mencari sesuatu ketika memasuki ruang klub sepak bola.

"Nyari apaan, Kak?"

"Kotak PPPK, kamu taruh di mana, sih?" tanya Elang sambil tetap sibuk mengobrak abrik barang di almari. Naya menghampiri salah satu almari di sudut dan mengambil kotak P3K. Karena ia sering merapikan barang-barang di ruang klub, ia langsung tahu letak kotak P3K.

"Nih, Kak."

Elang mengambil kotak itu dari tangan Naya, pandangannya mengarah ke wajah gadis itu. Ia melihat lebam membiru di pipi Naya. Sejenak ia termangu sampai suara Naya menyadarkannya.

"Ada lagi, Kak?"

Elang menggeleng kemudian beranjak keluar, "Cepetan siap di lapangan!" ujarnya sambil berlalu.

Lapangan sepak bola terlihat ramai. Penonton yang memenuhi bangku terdengar riuh menyemangati tim sekolah mereka.

"Huwa ... rame banget ya, Nay. Kayaknya banyakan ceweknya, deh." Pandangan Hara menyapu penonton di sekitarnya. Naya mengangguk, sejenak pandangannya bertemu dengan Zizi yang duduk di bangku paling depan. Cewek itu menatapnya sinis sampai peluit wasit tanda mulainya permainan mengalihkan perhatian Zizi.

Naya yang memilih duduk di bangku tengah menghela napas panjang. Kejadian di festival sekolah masih membuatnya tak habis pikir, kenapa Zizi bisa menuduhnya mendekati Elang, bahkan hampir mencelakakannya.

"Kyaa!! Kak Adit! Semangat!"

Teriakan Hara mengenyahkan pikirannya. Pertandingan semakin seru dan euphoria penonton semakin besar ketika Elang berhasil membobol gawang lawan untuk pertama kali, membuat tim sekolah mereka unggul. Tepukan tangan terdengar riuh. Elang dan timnya saling melakukan tos. Pandangan cowok itu mengarah ke bangku penonton, membuat sebagian penonton cewek berteriak. Elang tersenyum miring, kemudian menggerakkan tangannya membentuk gestur 'hati' hingga membuat penonton perempuan berteriak.

Melihat itu, Naya memutar bola mata, Dasar, namanya saja Arjuna. Selalu tebar pesona.

-----##-----

Naya terhenyak merasakan sensasi dingin di pipinya yang ternyata adalah sekaleng soda dingin.

"Capek?" ujar Ares sambil beranjak duduk di sampingnya sambil mengulurkan sekaleng soda. Mereka sedang duduk bersantai di trotoar depan cafe tempat Naya bekerja.

Naya meraih soda itu dan segera meminumnya, "Ya. Sedikit."

"Kau nggak harus memaksakan diri bekerja kalau masih sakit."

Naya tertawa pendek, "Hmm ... Tenang aja, Kak. Aku kuat."

Suasana hening sejenak, pandangan mereka menyapu jalan yang sudah mulai lengang.

"Apa Elang masih mengganggumu?" tanya Ares memecah keheningan.

Naya menggeleng, "Enggak kok, Kak."

Ares mengangguk pelan, "Kalau dia nyusahin kamu lagi, bilang aja, aku akan menasihatinya."

"Beneran udah enggak kok, Kak. Cuma, kadang dia nyebelin. Manggil aku 'Kumal, Kumal' terus. Enak aja ganti-ganti nama orang."

Ares tertawa, "Kumal?"

Naya mengangguk, "Iya. Jadi jelek, kan? Padahal arti namaku kan bagus."

"Memangnya artinya apa?"

"Permata yang bercahaya. Naya artinya bercahaya, Kumala artinya Permata."

Ares tersenyum, "Arti namamu bagus."

"Nah? Kak Ares juga mikir bagus, kan? Kak Elang aja tuh yang ganti-ganti nama orang sembarangan, 'Kumal, Kumal'. Nggak enak banget, kan? Mana dia sering tebar pesona ke cewek-cewek. Dasar playboy!" Naya memutar bola mata mengingat pertandingan bola siang tadi.

Ares tertawa, gemas melihat wajah kesal Naya, ia mengulurkan tangan mengusap kepala gadis itu. Naya terhenyak, ia bergerak kikuk.

"Kalau arti nama Kakak apa?" tanyanya mengalihkan perhatian.

Pandangan Ares menerawang ke arah langit. "Ares adalah nama Dewa Yunani. Dulu, kakek yang memberiku nama itu. Kakek sangat menyukai cerita dewa-dewi Yunani. Karena itu waktu aku lahir, dia memberiku nama itu. Kakek juga sampai membuat patung dewa Ares di halaman rumah kami."

Naya mengangguk, "Kalau Maheswara?"

"Raja. Ayah yang memberi nama dengan arti raja di nama kami. Maheswara dan Narendra."

"Arti nama Kakak juga bagus."

Suasana kembali hening hingga dapat terdengar suara jangkrik. Mereka memandang langit malam, tenggelam ke dalam pikiran masing-masing.

"Kak?"

Ares mengalihkan perhatian dari langit ke arah Naya, "Hmm?"

"Makasih, ya Kakak udah banyak bantuin aku. Kakak nggak perlu repot-repot ke cafe buat bantuin aku."

Ares menghembuskan napas panjang kemudian tersenyum, "Tak apa, Naya."

Naya memainkan kaleng di tangannya, "Kakak udah banyak bantu aku. Kakak juga udah nylametin aku waktu kekunci di gudang. Aku bener-bener nggak tahu gimana aku bisa bales kebaikan Kakak."

"Nggak perlu, memangnya aku minta sesuatu dari kamu?"

Naya tersenyum kikuk, "Ya enggak, sih. Aku cuma ngerasa banyak ngrepotin kak Ares."

Ares tertawa renyah, "Aku nggak merasa direpotkan. Aku membantumu karena keinginanku sendiri."

"Malam itu, kak Ares susah payah bawa aku ke rumah sakit, nggak capek apa gendong aku? Kakak juga harus ngancurin gembok buat nylametin aku. Pasti kesulitan karena gemboknya keras, kan?"

Ares menggaruk kepalanya yang tak gatal, Gembok?

"Hmm ... nggak juga, kok. Untung ada palu pemecah kaca, jadi nggak kesulitan menghancurkan gembok itu."

Naya terhenyak, Palu pemecah kaca?

"Sudahlah. Berhenti berpikiran kamu membuatku repot. Ayo kita pulang saja." Ares bangkit dan mengulurkan tangan. "Nay?"

"I-iya."

Di sepanjang perjalanan, pikiran Naya melayang, Palu pemecah kaca? Bukannya Hara bilang kak Ares ngancurin gembok pake tabung APAR? 

-----##----- 

*APAR = Alat Pemadam Api Ringan

*Palu pemecah kaca emergency

Sorry guys, tadi malem aku nggak ada koneksi internet. Sinyal ngadat. Semoga kalian puas dengan part ini, wkwk. Akhirnya aku mengungkapkan arti dari judul cerita ini. Hehe... Jewelnya adalah Naya dan Kingnya adalah kedua kakak beradik unyu, Ares dan Elang... :) Thanks udah setia nunggu.. sampai jumpa di part selanjutnya... :)

Oh ya, Ares lagi ultah. Happy Birthday Ares! 1 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro