42 : Dreaming

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part ini berisi lebih dari 2000 kata, semoga tidak bosan, happy reading :)

Elang memacu motornya dengan kencang melalui jalanan metropolitan yang penuh dengan terangnya lampu-lampu jalan. Beberapa kali ia mendapat sumpah serapah dari orang di jalanan yang hampir disenggolnya, namun ia tak peduli. Pandangannya lurus menatap jalanan depan, tapi pikirannya melalang buana. Semua kata-kata Ares masih bisa ia ingat dengan jelas. Hatinya tambah hancur mengingat bahwa Ares pernah membencinya.

Apa itu benar, Kak? Katakan kalau itu nggak benar, kau ngomong gitu karena kau cuma kurang sehat. Iya, kan? batinnya. Ia tahu bahwa ia tak akan mendapatkan jawaban dan itulah yang membuat suasana hatinya kini kacau. Ini adalah pertama kalinya ia bertengkar hebat dengan kakaknya itu. Elang mengenyahkan pikirannya dan berniat mencari tempat untuk mengobati kegundahannya.

Beberapa waktu kemudian, ia sampai di markas Lyonds. Ada beberapa anggota Lyonds yang sedang mengobrol sambil bermain kartu. Elang melenggang menuju sofa lusuh di sudut ruangan dan merebahkan badan.

"Wah, mana cewek yang kemarin? Kok sendirian?"

"Kapan pesta barbeque lagi, Boss?"

"Ajak cewek cantik lagi lah, Lang, lumayan buat cuci mata."

"Cewek aja yang dipikirin. Hutang gorengan di warung Mpok Lela aja belum lunas, berani-beraninya mikirin cewek."

Bunyi tawa mengudara. Elang lebih memilih tak menanggapi teman-temannya dan memejamkan mata, mencoba menenangkan perasaan kacaunya. Dalam hatinya, ia berharap ketika membuka mata lagi, keadaan kakaknya akan membaik.

"Wah, wah, wah, lama tak bertemu ya, Lang," ujar seseorang yang baru saja datang dan menangkap keberadaan Elang. Elang membuka mata mengenali suara orang yang menyapanya. Ia bangkit dan melihat rivalnya yang sudah lama tak ia jumpai. Moodnya yang sedang kacau jadi tambah buruk melihat cowok bertato di depannya, sang ketua Lyonds, Ronal.

Elang tak menanggapi rivalnya itu, ia bangkit, dan lebih memilih angkat kaki.

"Loh? Mau ke mana? Udah lama kita nggak ketemu, kenapa kita nggak pesta kecil-kecilan?"

Kata-kata Ronal membuat Elang berhenti dan berbalik, menatap tajam cowok bertato itu. Anggota yang lain melihat mereka dengan was-was, takut bila terjadi perang antara dua orang yang bermusuhan sejak lama.

Ronal tersenyum miring, ada kepuasan tersendiri baginya melihat Elang yang terlihat menahan amarah. Ia tahu bahwa Elang adalah orang yang menduduki puncak tertinggi orang yang membencinya, menggoda mood Elang adalah hiburan. "Selow, Man. Aku udah mencoba menjadi ketua yang baik untuk Lyonds sesuai keinginanmu dan ingin berdamai."

"Ketua yang baik?" Elang tertawa mengejek, "dengan membuat Lyonds dan Raider bekerja sama? Kau sinting!"

"Arvi udah berubah, Lang. Dia ingin damai, sebagai ketua yang baik, apa aku harus menolak ajakan damainya?"

"Omong kosong! Sekali licik, tetap aja licik."

"Aku licik?"

Arvi muncul dengan beberapa temannya ke markas Lyonds. Ia tertawa hiperbola, membuat Elang semakin muak. Elang menahan amarah untuk tak menonjok Arvi saat itu juga. "Wah, wah, tatapanmu masih setajam yang dulu," sindir Arvi.

Elang menghela napas panjang, ia ke markas Lyonds untuk menenangkan diri, tapi malah tambah kacau dengan kehadiran Ronal dan Arvi. Ia beranjak hendak meninggalkan markas, sampai Arvi menghentikannya dengan mengatakan, "Ayo kita bertanding. Kalau kau menang, aku nggak akan menginjakkan kaki di markas Lyonds, tapi kalau kau kalah, kau harus menerima persekutuan Lyonds dan Raider."

Elang mengepalkan tangannya lebih erat, amarahnya kini memuncak, "Deal," ujarnya singkat.

Beberapa waktu kemudian, Elang dan Arvi sudah siap di garis start area balap. Jalanan yang sepi menjadi medan pertempuran mereka diiringi sorak sorai pendukung keduanya. Elang dan Arvi saling berpandangan sejenak sebelum mereka melajukan motor masing-masing dengan kencang. Mereka beradu kecepatan, berlomba-lomba saling mendahului.

Elang menyeringai ketika menyadari bahwa ia lebih unggul dan tak jauh lagi mencapai garis finis. Elang memacu motornya lebih kencang, tapi pandangannya menangkap seseorang yang menumpahkan seember cairan di dekat garis finis. Ia dengan cepat mencoba menghentikan motornya, tapi terlambat. Motornya tergelincir ketika bannya menyentuh cairan yang ternyata oli itu. Ia terpental, tubuhnya berbenturan dengan aspal dan berguling ke tengah jalan, sedangkan motornya terseret dan menimbulkan bunyi benturan keras.

Elang sadar bahwa ia mengalami kecelakan. Ia kemudian melepas helm dan berusaha bangkit, tapi ternyata tubuhnya sulit digerakkan. Ia mengerang merasakan ngilu di punggung dan pinggangnya. Ia merasa bahwa seluruh tulang-tulangnya seakan retak. Sial!

-----##-----

Pandangan Naya menerawang salah satu sudut kafe, ingatannya memutar kejadian di lapangan sepak bola, bayangan wajah Elang yang begitu dekat dengannya tak bisa ia enyahkan dari pikiran.

Ia ingat bahwa ketika itu terjadi, jantungnya benar-benar tak bisa berhenti berdebar. Tak sadar, senyum manis menghiasi wajahnya.

"Nay?" Naya terhenyak ketika Tama menepuk pundaknya, "sampai kapan ngelap mejanya? Tuh udah kinclong kayak jidat artis Korea."

Naya baru sadar bahwa sedari tadi ia tak berhenti mengelap meja yang sudah bersih, "Ah, maaf, Paman. Aku akan mengelap meja yang lain." Naya bergerak rikuh dan beranjak membersihkan meja yang masih kotor. Tama menyembunyikan senyum dan berlalu ke dapur.

Naya mulai fokus ke pekerjaannya, tapi tak lama kemudian bunyi lonceng pintu berbunyi, "Maaf, kafe sudah tu-"

Ucapan Naya terhenti ketika ia melihat Elang memasuki kafe dan menyandarkan tubuh ke meja di dekat pintu. Ia menyadari keadaan aneh Elang, cowok itu terlihat berkeringat dan seperti kurang sehat. Ia menghampiri Elang hendak menanyakan keadaan cowok itu. Tapi ketika sampai di depan cowok itu, tubuh Elang terhuyung ke arahnya, ia sontak menangkap cowok itu.

Naya memanggil Tama dan mereka berdua menuntun Elang berbaring ke kamar Tama.

"Mas Elang kenapa?"

Pertanyaan Tama tak mendapat respon, Elang mengerang kesakitan merasakan tubuhnya yang serasa akan patah. Tama melepas jaket Elang dengan hati-hati dan terhenyak ketika melihat luka di tangan cowok itu. Tama memeriksa tubuh Elang, cowok itu meringis kesakitan ketika Tama menyentuh bagian tulang rusuknya.

"Cepat siapkan kompres, air hangat, dan P3K!"

Naya dengan sigap melakukan perintah Tama. Selama beberapa waktu mereka merawat luka-luka Elang dan memberi pertolongan pertama. "Kita bawa mas Elang ke rumah sakit."

"Nggak, Paman!"

"Tapi luka-luka mas Elang harus ditangani dok-"

"Nggak, biarkan aku istirahat." Elang membaringkan tubuhnya perlahan dan menutup mata.

Tama dan Naya saling berpandangan sejenak, mereka mengkhawatirkan keadaan Elang, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena cowok itu enggan dibawa ke rumah sakit. Tama kemudian beranjak keluar ruangan. Naya memandangi cowok yang sedang tertidur itu, ia bertanya-tanya bagaimana cowok itu bisa kecelakaan. Ia bergerak membereskan kotak P3K, tapi tiba-tiba pergelangan tangannya digenggam. Naya melihat Elang membuka matanya perlahan, cowok itu terlihat lemah, wajahnya penuh dengan keringat dingin.

"Jangan pergi." Genggaman Elang semakin erat.

Naya terhenyak, ia terpaku menatap cowok itu, sedangkan benaknya bertanya-tanya tentang sikap Elang. Elang menyadari tatapan tanya gadis itu, "Ini bukan perintah, tapi permintaan."

Naya menurut. Elang mencoba tertidur dengan tetap menggenggam tangan gadis itu. Selama beberapa waktu Naya memandangi Elang, entah kenapa hatinya tiba-tiba ikut merasakan sakit. Baru pertama kali ia melihat Elang begitu lemah, tatapan cowok itu juga terlihat sendu. Dilihatnya tangannya yang digenggam erat. Benaknya tak henti bertanya, apa yang sedang terjadi dengan Elang.

"Kak Ares."

Naya terkesiap ketika mendengar Elang mengigau menyebutkan nama Ares, dilihatnya air mata keluar dari mata cowok yang terpejam itu.

Jantung Naya serasa ditohok sesuatu, tak sadar air mata keluar membasahi pipinya. Ia menggenggam erat tangan Elang, seakan memberi kekuatan, dan berharap bisa mengurangi kesedihan cowok itu.

-----##-----

Widya terisak sambil memandang putra pertamanya yang terbaring dengan mata terpejam. Ia meraba lengan Ares yang berbalut perban putih, "Kenapa kau melakukan ini?" bisiknya.

Barata mengembuskan napas panjang melihat kondisi Ares. Beberapa waktu lalu, Dirman, asisten rumah tangganya menemukan Ares yang sudah terkapar dengan tangan penuh darah di kamarnya. Saat itu kondisi kamar Ares sungguh berantakan, benda-benda tercerai berai di lantai bersama dengan potongan cermin yang pecah. Dengan potongan cermin itulah anak pertamanya melukai lengannya dan mendapatkan beberapa jahitan. Barata memberi isyarat seorang pria 40 tahunan untuk mendekat.

"Kenapa dia bisa seperti ini?"

Dokter Badra, pria berkacamata itu menggeleng pelan, "Pasti ada pemicu yang membuat depresinya kambuh. Saran saya, lebih baik jangan memaksakan apapun kepadanya atau membuatnya tertekan. Tahap depresinya sudah sampai melukai diri, jangan sampai ia mengalami kejadian yang membuatnya merasa sebagai beban."

"Apa saya harus membawanya ke dokter James?"

Badra menghela napas panjang, "Sepertinya memang dokter James yang dibutuhkannya sekarang."

Barata mengangguk pelan, "Baiklah, terimakasih Dokter."

Merasa tugasnya selesai, Badra berpamitan dan beranjak pergi. Barata memandang istrinya yang tak hentinya terisak.

"Yanu... siapkan jadwal penerbangan ke Amerika malam ini, paling lambat besok pagi, kita harus ke tempat dokter James," perintahnya kepada Yanu yang berdiri di belakangnya, "oh ya, kenapa Elang belum datang?"

"Saya tidak bisa menghubungi Mas Elang."

"Bukannya aku menyuruhmu mengawasinya? Apa yang anak buahmu lakukan? Mengawasi satu anak saja tidak becus!" Barata melenggang gusar meninggalkan kamar Ares, sedangkan Yanu mengekor di belakang. Ketika baru beberapa langkah keluar kamar Ares, Barata berhenti dan berbalik, "Kita undur dulu masalah gadis itu, kesehatan Ares lebih penting."

-----##-----

Naya mengaduk-aduk minumannya tanpa minat. Pikirannya penuh dengan cowok yang sedang terbaring sakit di kafe. Pagi tadi, Naya dibangunkan Tama untuk bersekolah. Naya sebenarnya enggan berangkat sekolah, tapi Tama meyakinkannya bahwa lelaki itu akan menjaga Elang.

"Kau sudah menjaganya semalaman sampai tidur pun cuma sebentar. Aku akan menggantikanmu menjaganya, kau pergilah ke sekolah, ujian kenaikan kelas udah dekat."

Mendengar itu, akhirnya Naya menurut.

"Hai, cewek!"

Kedatangan Bimo dan Adit di dekat Naya menyadarkan lamunannya.

"Cie... ciee... disamperin pacar. Tumben nih nyamperin?" Dini menyenggol lengan Hara yang tampak malu-malu.

"Sekali-kali makan bareng pacar dan temen-temennya, lah." Adit meraih kursi dan duduk di samping Hara.

"Sekali-kali juga ikut temen yang lagi ngapelin pacarnya, kali aja ketularan dapet pacar." Bimo mengambil tempat di samping Naya sambil mengerlingkan sebelah mata ke arah gadis itu.

"Mata! Mata! Dikondisikan matanya. Ganjen banget sih, Kak." Dini mengibaskan tangan di depan Bimo.

"Iri ya? Makanya dong, kenalan sama kakak kelas paling ganteng satu sekolah ini, biar digodain juga."

"Iyuh... siapa juga yang iri? Digodain situ? Ogah kali!" Dini menunjukkan gestur jijik yang membuat teman-teman lainnya tertawa.

"Kesempatan, nih, mumpung si Boss nggak ada."

"Emang kak Elang ke mana, Kak?" tanya Eli.

"Udah biasa sih dia bolos, paling juga kencan ma cewek, ditelpon juga hapenya nggak aktif," ujar Bimo enteng. Meja mereka kemudian penuh dengan obrolan, sesekali Naya mengikuti obrolan teman-temannya, namun pikirannya tentang Elang tak bisa dienyahkan. Bahkan teman-teman Elang tak tahu bahwa cowok itu sedang sakit, Naya juga tak berani mengungkapkan keberadaan Elang yang sesungguhnya.

Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?

-----##-----

Elang membuka matanya perlahan, ia berusaha bangkit meskipun badannya seakan remuk.

"Mas Elang mau ke mana? Mas Elang nggak usah jalan, biar saya yang ambilkan kebutuhan mas Elang." Tama berusaha melarang Elang bangkit.

"Nggak papa, Paman. Saya mau pulang."

"Saya antar pakai mobil kafe, jangan pulang sendirian."

Elang menahan tangan Tama yang hendak mempersiapkan mobil, ia memandang dalam netra pemilik kafe itu, "Kumohon, Paman, jangan lakukan apapun. Saya bisa pulang sendiri."

Ditatap dengan sendu, Tama menyerah, ia tidak ingin memaksa Elang, akhirnya ia hanya bisa mengangguk dan membiarkan Elang pulang mengendarai motornya.

Tak lama kemudian, Elang memasuki rumah sambil ditahannya rasa ngilu di sekujur tubuhnya. Ketika menaiki tangga, ia melirik kamar kakaknya yang terbuka, beberapa asisten rumah tangganya keluar masuk. Dirundung penasaran, ia memutuskan menghampiri kamar kakaknya dan menemukan Dirman dan beberapa asisten membersihkan kamar kakaknya hingga mengganti seprai. Dirman menyadari kehadiran Elang dan langsung menghampiri cowok itu.

"Semalaman Mas Elang ke mana? Mas Ares dibawa ke Amerika pagi tadi."

Elang merasa seperti disambar petir siang bolong, "Apa? Kenapa? Apa yang terjadi dengannya?"

"Mas Ares melukai dirinya sendiri dengan pecahan kaca, sepertinya sebelum itu dia juga mengamuk, barang-barang yang ada di dalam kamar semuanya berserakan di lantai."

Hati Elang semakin sakit, ia menyesal meninggalkan kakaknya kemarin. Ia mengedarkan pandangan ke kamar kakaknya, kemudian berjalan berkeliling, matanya menangkap foto-foto dalam pigura kecil yang diletakkan di meja. Diamatinya foto-foto itu per pigura. Kebanyakan foto masa kecilnya dengan Ares. Ia tersenyum ketika melihat foto masa kecil Ares yang bergaya sambil tersenyum.

Pandangannya beralih ke foto seorang bayi kecil, ia mengenali bayi kecil itu adalah Ares.

Pandanganya berganti ke arah foto masa kecilnya yang mengendarai mobil-mobilan. Ia tertawa pendek karena Ares memajang foto itu.

Terakhir, pandangannya menangkap foto polaroid yang tergantung di tembok, swafoto Ares dengan almarhum kakeknya.

Ketika hendak pergi, pandangannya menangkap sebuah kertas yang diletakkan di sela-sela buku. Ia mengambil buku itu dari lantai dan menarik kertas itu. Ia terkesiap melihat kertas yang ternyata brosur Score Art University. Yang membuatnya tiba-tiba marah adalah ada coretan yang melingkari salah satu tulisan program jurusan dan tulisan 'DREAMING' yang ditulis kakaknya. Apa kakak ingin masuk ke kampus ini?

Selama ini, Ares tak pernah mengungkapkan keinginannya. Kakaknya itu selalu terlihat senang ketika ayahnya membicarakan tentang persiapan masuk London Business School. Ia tak mengetahui, ternyata kakaknya itu hanya berpura-pura, keinginan yang sesungguhnya adalah memasuki kampus musik bukan kampus bisnis. Kakak? Seperti ada benda yang menghujam dadanya, napasnya seakan terasa sesak, ia segera menghapus air mata yang hendak keluar dari matanya.

"Elang?"

Panggilan Yanu membuat Elang terhenyak.

"Ke mana saja kau? Sudah tahu kabar tentang Ares?"

Elang mengangguk, "Bagaimana bisa terjadi, Paman?"

Yanu menghembuskan napas panjang, "Ada hal pemicu yang membuat Ares kambuh." Yanu memberi isyarat kepada Elang untuk menyuruh pembantunya keluar. Elang mengangguk, ia menyuruh semua pembantunya keluar hingga hanya dia dan Yanu yang berada di kamar Ares. Yanu menceritakan tentang rencana pertunangan Ares dengan Tiara yang diatur Barata dan reaksi Ares ketika mendengar kabar itu. Ares menginginkan kebebasan, sedangkan Barata menginginkan persekutuan perusahannya dengan Soeroso.

"Mungkin karena itu Ares merasa tertekan dan akhirnya kambuh."

Elang mengepalkan tangan, kata-kata Ares terngiang di kepalanya.

"Gimana rasanya hidup bebas, heh? Kau selalu mendapatkan apa yang kau inginkan, kan? Bahkan apa yang kuinginkan, kau mendapatkannya."

"Kenapa ayah dan ibu selalu memaksaku menuruti keinginan mereka!"

Elang meremas brosur di tangannya dengan erat. "Apa Ayah ke Amerika?"

Yanu menggeleng, "Ibumu dan dokter Badra yang menemani Ares. Ayahmu ada di ruangannya."

Elang melenggang gusar menuju ruangan ayahnya, tak menghiraukan panggilan Yanu di belakang. Ia membuka pintu ruang kerja ayahnya dan melemparkan brosur itu di atas meja, tepat di depan Barata.

"Kau yang membunuhnya pelan-pelan, Ayah! Kau yang membunuhnya pelan-pelan!"

-----##-----

To Be Continue

-----##-----


Akhirnya bisa nyumbang part lagi di event MWM. Semoga kalian nggak bingung dengan alur Jewel dan semoga kalian suka dengan part ini.. Aku minta maaf banget kalau alurku terasa lambat, aku berharap kalian nggak bosen. Aku udah punya target namatin cerita ini bulan ini dengan ikut MWM (Marathon Writing Month). Semoga terlaksana :)

bocoran : plot Jewel udah kuselesaikan sampe tamat, tinggal eksekusi. semoga kalian sabar menanti :)

FYI : foto2 masa kecil Elang itu beneran masa kecil castnya Elang guys (Mario Maurer), sedangkan foto bayi Ares itu sebenarnya foto masa kecilnya Chani SF9 (hahahaha), kalau foto Ares yang sekitar umur 8 tahun itu adalah Shunsuke Michieda :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro