43 : Menebus Kesalahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kedua tangan Elang mengepal, luka-luka dan rasa ngilu di tubuhnya rasanya tak sebanding dengan hatinya yang remuk sekarang. "Kenapa? Kenapa ayah selalu memaksa Kakak?" suaranya terdengar parau.

Barata menatap datar putranya, lalu meraih brosur yang dilemparkan Elang. Dibaca sekilas brosur itu, ia berdecak, "Kakakmu pasti mengambil ini saat berlibur ke Austria dengan Dokter James tahun lalu."

"Yang dia inginkan kuliah musik, Ayah. Kenapa Ayah terus membuatnya tertekan dengan mengikuti kemauan Ayah?!"

"Lalu apa yang dia dapat setelah lulus kuliah musik? Ketenaran? Popularitas?" Barata tertawa sarkastis, "kalau dia sadar tentang tanggung jawabnya sebagai calon direktur utama Gunadarma Group, dia tak akan memilih jalan itu."

"Jadi, maksud Ayah, Ayah tak peduli dengan keinginan Kakak? Apa Ayah tak memikirkan kebahagiaannya?"

Barata menghela napas panjang, selama beberapa detik memandangi putranya itu, lalu mengambil dokumen yang ada di mejanya dan tak mengacuhkan putranya, "Ayah sibuk! Keluar dan kembalilah ke kamarmu."

"Ayah!"

"Diam kau! Jangan mendebat dan keluarlah."

"Kakak menderita distimia, Ayah! Dia berusaha memenuhi kewajibannya dan mengabaikan keinginannya demi Ayah! Tidakkah sedikit saja Ayah memikirkan keinginannya?!"

Wajah Barata mulai memerah, rahangnya mengeras melihat kekurangajaran anaknya.

"Apa Ayah tahu bagaimana beratnya usaha kakak untuk mendapatkan nilai sempurna, menguasai bahasa asing, dan menguasai ilmu bisnis sialan itu?!" Elang merasakan dadanya berat dan napasnya seakan sesak, "belum cukup dengan itu, Ayah juga memaksanya melakukan pertunangan dengan orang yang mungkin tak dicintainya hanya demi kepentingan bisnis tanpa memikirkan keadaan kakak. Ayahlah yang membuat kakak mengalami depresi. Ayah adalah orang tua paling egois!"

Barata tertawa sarkastis, "Apa kau sadar dengan yang kau bicarakan barusan? Egois? Kurasa bukan hanya aku saja yang egois di sini. Tapi juga kau."

"Apa?"

"Selalu membantah, bermain-main, berbuat onar, apalagi yang bisa kau lakukan selain itu? Apa kau pernah membantu kakakmu?"

Elang menelan salivanya dengan susah payah. Barata bangkit dari kursinya, ia berjalan pelan hingga sampai di hadapan Elang.

"Kau pikir, kenapa Ares sampai mengidap depresi ringan? Karena beban yang seharusnya ditanggung denganmu ia tanggung sendirian."

Elang terpaku, Apa? Itu nggak benar.

"Kalau kau sedikit saja mengerti dan mau berbagi beban dengan kakakmu, mungkin saja Ares tak akan depresi."

Suasana hening sejenak, pandangan Elang menerawang.

Barata mencengkeram pundak putranya itu, "Kau harus sadar kau itu siapa. Kalian bukan anak orang sembarangan. Kalian adalah pewaris keluarga Gunadarma dan berlakulah seperti jati diri kalian yang asli. Aku selalu bilang kalau kalian harus kuat seperti singa, kan? Tanamkan itu dalam hidupmu!"

Hati Elang seakan dihujani anak panah, ia tak bisa percaya bahwa ia juga ikut andil dalam keadaan buruk kakaknya dan ia menyesal tidak menyadarinya dari awal.

Barata tertawa pendek, "Kau bicara seolah-olah Ares tak mempunyai pilihan selain menuruti kemauan Ayah, tapi apa kau pernah berpikir apakah Ayahmu ini mempunyai pilihan selain mendidik kalian untuk menjadi penerusku?"

"Saat seusiamu, aku juga melakukan semua hal yang diinginkan kakek, sama seperti yang dilakukan Ares. Merasa tertekan? Ya, selalu. Menyesal lahir di keluarga Gunadarma? Tentu saja. Mengorbankan keinginan pribadi? Ya, itu pasti. Tapi semakin aku berpikir, aku semakin mengerti akan tanggung jawabku. Aku adalah anak tunggal Subrata Gunadarma, kalau bukan aku yang memikul tanggung jawab sebagai penerusnya, siapa lagi?"

Elang bergeming, terpaku memandang Barata.

"Kalau saat itu aku selemah kakakmu, bagaimana bisa aku meraih gelar MBA di usia muda? Bagaimana bisa Gunadarma Group bertahan sampai saat ini? Kau tahu apa yang membuatku menjadi kuat?" Barata berhenti sejenak, ia mendekatkan bibirnya di telinga anaknya, "Ambisi."

Elang masih bergeming, ia masih tak bisa menerima dengan apa yang dikatakan ayahnya. Pikirannya kacau sekarang.

"Dunia ini kejam. Kalau kau tak mempunyai ambisi, kau tak akan bisa bertahan. Orang-orang akan memandangmu rendah dan menginjakmu." Melihat Elang sepeti memikirkan ucapannya, Barata tersenyum miring, "Baiklah. Kembalilah ke kamarmu. Jangan mengkhawatirkan kakakmu, dia ada di tangan yang tepat." Barata menepuk pundak anaknya sekali dan hendak beranjak kembali ke tempat duduknya, tapi perkataan Elang sukses membuatnya mengurungkan niatnya.

"Aku akan menjadi seperti yang Ayah inginkan," ucap Elang.

"Apa?"

"Aku akan mengikuti takdirku dan menjadi pewaris yang bisa membanggakan Ayah."

Barata tertawa, "Baiklah, sebelum itu, aku akan mengajukan pertanyaan yang sebelumnya kutanyakan kepada kakakmu juga. Kau harus menjawabnya."

Elang mengangguk.

"Bayangkan kau sedang tersesat di dalam hutan, saat mencari jalan keluar, kau menemukan tiga pintu. Kau yakin bahwa jalan keluar ada di salah satu pintu itu. Di balik pintu pertama, ada ratusan ular berbisa yang siap mematukmu. Di balik pintu kedua, ada ribuan kelelawar liar yang pastinya akan menyerang dan mencongkel mata siapa saja yang memasuki areanya. Di balik pintu ketiga, ada seekor singa kelaparan yang siap memangsamu dan mencabik-cabik tubuhmu. Pintu mana yang akan kau pilih?"

Selama beberapa waktu, Elang bergeming, otaknya berputar mencari jawaban dari teka-teki ayahnya.

"Jawabanmu menentukan apakah kau pantas atau tidak dibanding kakakmu. Aku akan memberimu waktu memikirkannya, sekarang keluarlah."

"Tidak Ayah, aku akan menjawabnya sekarang."

Kedua alis Barata bertautan, menunggu jawaban Elang.

"Pintu ke tiga."

Barata tertawa keras, "Jadi, kau memilih mati dimangsa singa kelaparan?"

Elang tersenyum miring, "Mati? Kenapa aku harus mati kalau singa yang kelaparan itu adalah ayahku sendiri? Selapar-laparnya seekor singa, dia tak akan memangsa anaknya sendiri. Benar, kan?"

Barata terkesan, "Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?"

"Dari awal tidak ada keterangan kalau aku yang tersesat di dalam hutan adalah seorang manusia. Ayah juga tidak memberitahu peraturan bagaimana aku harus menjawab. No Rules No Game. Jadi, aku memilih menjadi anak singa. Apa aku salah?"

Barata tertawa, ia terkesan dengan kepintaran anaknya, "Baiklah, kau menang."

"Aku berjanji akan menjadi yang Ayah inginkan saat aku benar-benar siap."

"Apa maksudmu?"

"Beri aku waktu, Ayah. Ayah harus berjanji, sampai saat aku benar-benar siap, aku boleh melakukan hal yang kuinginkan dan Ayah tak berhak melarangku."

Barata tertawa renyah, "Memangnya apa yang kau inginkan?"

"Berjanjilah dulu, Ayah."

Sejenak Barata memandang skeptis putranya, "Baiklah, Ayah berjanji. Lakukan apa saja maumu."

"Aku akan menebus kesalahanku... akan kupastikan Kak Ares mendapatkan semua keinginannya."

-----##-----

"Terimakasih, silakan datang kembali." Naya mengucapkan salam kepada pengunjung terakhir yang hendak meninggalkan kafe. Ia mulai menata kursi dan meja.

"Gelasnya taruh aja di tempat cucian, biar aku yang cuci, kamu sapu di dalam sama teras kafe aja," ujar Tama. Naya mengangguk. "Oh, ya. Belum ada kabar dari Mas Elang?"

Naya terhenyak, ia menggeleng. Sudah lebih dari tiga hari Elang tidak masuk sekolah. Ia mencoba bertanya kepada Bimo, tapi Bimo selalu mengatakan hal yang sama, "Palingan lagi liburan."

Terakhir bertemu, Elang dalam keadaan yang tidak baik dan itu membuatnya khawatir. Apalagi Tama bilang padanya bahwa Elang pulang sendiri dalam keadaan sakit. Tangan Naya bergerak mengambil ponsel di sakunya, ia memeriksa pesan Whatsapp yang ia kirimkan kepada Ares. Pesan itu hanya menunjukkan centang 1. Ia juga tak pernah bertemu Ares di sekolah. Apa beneran mereka lagi liburan, ya?

Naya segera mengenyahkan pikirannya. Ia bergerak hendak mengambil sapu ketika lonceng pintu kafe berbunyi, matanya membulat ketika melihat siapa yang datang.

Elang melambaikan tangan ke arahnya. Cowok itu memakai topi dan ditutupi hoodie jaket.

Perlahan, Naya menghampiri Elang.

"Eng... gimana keadaan Kakak?" tanyanya. Sejenak cowok itu tak merespon, sedangkan pandangannya tak lepas dari Naya.

"Masih sakit. Mau tau sakitnya di mana?" Elang meraih tangan Naya kemudian menempatkan telapak tangan gadis itu di dadanya. "Di sini."

Selama beberapa detik pandangan mereka saling mengunci.

"Loh? Mas Elang?" Tama muncul dari dapur. Naya sontak menarik tanganya dan bergerak rikuh. "Diantar siapa ke sini, Mas?"

"Naik mobil sendiri, Paman. Tuh, parkir di seberang. Motor masih masuk bengkel."

"Gimana keadaannya, Mas?"

"Masih sakit, Paman. Makanya saya ke sini, saya nggak bisa ganti perban sendiri," pandangan Elang beralih ke Naya, "bisa gantiin perban, kan?"

Beberapa waktu kemudian, Naya dan Elang sudah duduk berhadapan. Naya sibuk mengolesi luka di tangan Elang dengan obat merah, sedangkan Elang hanya memandang lekat gadis itu, sesekali dilihatnya gadis itu mengaitkan rambutnya ke belakang telinga.

"Kok lukanya masih basah? Nggak pernah diobatin?"

"Nggak pernah. Obatnya kan ada di sini."

Naya memandang Elang dengan tatapan bertanya, "Kalau nggak punya obat merah kan tinggal beli di apotek, nggak perlu jauh-jauh ke sini."

"Nggak ada di apotek. Obatnya cuma ada di sini."

"Hah?"

Elang memutar bola mata, "Udah itu cepetan diperban."

Naya mulai membalut tangan Elang dengan perban, Elang kembali memperhatikan gadis itu.

"Udah selesai, ada lagi yang sakit?"

Bukannya menjawab pertanyaan Naya, tangan Elang bergerak meraih rambut Naya dan mengaitkannya ke belakang telinga gadis itu. Naya mengerjapkan mata beberapa kali, tak menyangka dengan reaksi cowok itu.

"Mending rambutmu dikuncir aja, ganggu konsentrasi, tau," ujar cowok itu sambil beranjak bangkit. "Paman! Saya pamit," sahutnya kepada Tama di dapur, pemilik kafe itu merespon dengan sahutan.

"Kak?"

Elang berbalik ketika mendengar panggilan Naya, ditatapnya gadis itu penuh tanya. Naya hanya bergeming sambil memandang cowok itu. Setelah tahu bahwa Elang meninggalkan kafe dengan keadaan sakit beberapa hari lalu, Naya merasa tidak tenang, apalagi cowok itu tidak masuk sekolah dan tak ada kabar. Bayangan Elang yang menangis saat tidur tak henti-hentinya muncul di benaknya. Hatinya terasa hampa, entah kenapa ia merasakan hal seperti itu, apakah ia mulai peduli dengan cowok itu? Sekarang, saat ia bertemu kembali dengan Elang, entah kenapa ia malah tak bisa berkata-kata.

"Aku belum sempet ngucapin terimakasih." Pada akhirnya, hanya itulah yang bisa Naya katakan.

"Terimakasih untuk?"

"Karena udah nylametin aku waktu festival sekolah."

Elang tertawa pendek, "Kamu tuh kebanyakan ngucapin terimakasih."

Suasana hening sejenak.

"Besok aku mau ke Amerika menemui kak Ares, terus ke Austria karena ada urusan. Jadi, aku mungkin libur sekolah dulu."

Naya terhenyak, ia bergerak rikuh, Apa kak Elang tahu aku sering nanyain dia ke kak Bimo?

Naya tertawa rikuh, "Ke-kenapa Kakak bilang gitu ke aku?"

"Karena aku ngerasa mungkin bakal kangen sama kamu."

Mata Naya membulat, "Hah? Dia ngomong apa barusan," tanyanya dalam hati.

Elang mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu mengulurkannya ke Naya. "Buat kamu."

Naya meraih sebuah gantungan kunci berbentuk mahkota dan terdapat charm berbentuk huruf 'E'.

"Aku jarang ngucapin terimakasih, anggap aja itu hadiah karena udah bantuin aku ganti perban luka."

Naya tersenyum mengamati gantungan kunci itu, Bagus, batinnya.

"Oh ya... sebenernya ada sesuatu yang mau aku omongin ke kamu. Apa kamu mau menungguku sampai aku kembali?"

Naya tersenyum, kemudian mengangguk. Elang kemudian berbalik dan beranjak keluar kafe. Naya mengulas senyum sambil memandang gantungan kunci di tangannya itu. Aku akan menunggumu.

-----##-----

Widya memandangi Ares yang sedang tertidur di ranjang, ia mengelus lembut rambut putranya. Tak jauh dari Widya, seorang wanita yang jauh lebih tua berdiri dengan tangan yang terlipat di dada, memandang menantu dan cucunya. Pandangannya baru teralihkan ketika seseorang menepuk pundaknya.

"Nyonya Helena, saya ingin berbicara dengan Anda," dokter James memandang Helenda dengan penuh arti, "ini soal Ares."

Helena mengikuti dokter James keluar dari kamar Ares.

"Bagaimana perkembangan cucuku? Apa dia sulit menjalani terapi?"

"Bukan begitu, Nyonya. Ares menunjukkan perkembangan yang baik. Yang akan saya utarakan sebenarnya adalah penyebab Ares kambuh. Ada sesuatu yang sangat dia inginkan tapi sepertinya dia tahu dia tidak bisa mendapatkannya. Dia memendam semuanya sendiri, mencoba bertahan, tapi itu malah membuatnya semakin tertekan."

Helena menghela napas panjang, "Dia memang ingin mendalami dunia musik, tapi tentu saja Barata tak bisa membiarkannya."

"Yah, well... itu salah satu penyebab dia tertekan, tapi ada satu hal lagi yang memiliki porsi lebih besar."

"Maksud Anda?"

"Saat terapi, saya selalu meminta Ares untuk menutup mata dan membayangkan hal yang dia sukai. Saya coba merangsangnya agar memikirkan hal yang positif dan memicu rasa bahagianya. Dia mengatakan bahwa dia melihat seorang gadis dengan suara yang sangat indah. Awalnya saya pikir, sugesti saya memicunya untuk menciptakan sesuatu yang indah berupa seorang gadis. Tapi, sepertinya gadis itu memang nyata."

"Jadi, maksud dokter, ada gadis yang disukai Ares tapi sepertinya dia tidak bisa memilikinya?"

"Kemungkinan besar iya, saya akan mencoba membuat Ares lebih terbuka, tapi itu perlu waktu dan metode pendekatan yang lain. Karena itulah saya ingin berbicara dengan Anda tentang masalah ini, saya belum memberitahu Mrs. Barata. Melihat situasi ini, saya tidak mungkin mengungkapkan masalah ini kepada orang tuanya, hanya Anda yang bisa menolong Ares."

Helena mengangguk pelan, ia kembali memasuki kamar Ares dan memanggil Widya, beberapa waktu kemudian, mereka sudah duduk berhadapan di ruang tamu.

"Tinggalkan New York dan pulanglah ke Indonesia dengan dokter Badra, biar aku dan dokter James yang merawat Ares," ucapnya.

"Apa?" Widya tampak terkejut, "Ibu, aku ingin menemani putraku di sini sampai dia sembuh."

"Sembuh?" Helena tersenyum miring, ia meraih cangkir teh cammomile dan menyesapnya, "Keberadaanmu hanya akan membuat Ares mengingat apa yang membuatnya tertekan."

"Ibu!"

"Apa kau belum sadar juga kalau penyebab Ares mengidap distimia adalah perbuatan kalian?!" Helena menatap menantunya dengan tajam.

Widya terdiam sejenak, "Ibu, tapi-"

"Pulanglah! Banyak yayasan yang harus kau urus. Sebagai petinggi, kau tidak bisa mengabaikan tugasmu hanya demi kepentingan pribadi."

Widya menghela napas panjang, "Ibu, aku juga seorang ibu, aku tidak-"

"Aku tahu apa yang terbaik untuk cucuku. Aku akan mengurus Ares, sampaikan kepada Barata bahwa Ares sudah ditangani dengan tepat, jangan memperparah keadaannya."

Widya akhirnya mengangguk meskipun enggan.

"Aku akan menyiapkan keberangkatanmu secepatnya."

-----##-----

James memasuki kamar Ares, perlahan ia menghampiri pemuda itu. Ia menyentuh lembut bahu Ares.

"Res?" panggilnya.

Mata Ares terbuka perlahan, ia bangkit terduduk.

"Aku sudah berbicara dengan Nyonya Helena dan dia mengikuti saranku untuk menyuruh ibumu dan dokter Badra meninggalkan New York."

Mata Ares menerawang ke depan, "Terimakasih kau sudah mengabulkan permintaanku, dokter."

-----##-----

To Be Continue

-----##-----

Sejujurnya, aku akan semangat apdet kalau banyak yang nagih.. tagihhh gaess, tagihh!!!!

btw, aku mulai yakin bakal namatin Jewel bulan ini. huahahaha... Hail MWM //sungkem sama tukang pecut NPC.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro