Bab 16: Sia-sia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mawar baru saja selesai kelas dan bermaksud menuju kantin untuk membantu ibunya berjualan. Jam makan siang memang selalu ramai di kantin ini. Saat langkah Mawar hampir memasuki kantin, matanya menangkap sosok yang sudah lama tidak dilihatnya.

Dengan sedikit berjingkat, Mawar menuju sosok itu. Berjalan dengan hati-hati agar langkahnya tidak diketahui target. Niat hati Mawar ingin sedikit memberi kejutan.

Jarak keduanya sudah sangat dekat saat sebuah kalimat mengejutkan terdengar oleh telinga Mawar. Sesaat otak cerdas gadis itu mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Kalimat sederhana yang bisa dibilang sangat menyakitkan.

Maju, berdiri di hadapan dua orang yang sejak tadi membiarkan dirinya. "Kak Mona bicara apa tadi?" Mawar memang cewek lemah lembut yang masih tetap bisa menata cara bertanyanya meski hatinya tersinggung.

"Yang mana?" Sama sekali tidak ada raut terkejut di wajah cantik itu. Cewek itu masih tetap asyik menikmati ayam gepreknya.

"Kak Mona merasa berbicara apa tentang saya? Saya mau dengar lagi." Mawar menarik kursi di hadapan Mona. Duduk dengan kedua tangan diletakkan di meja. Mata cewek itu lurus menatap Mona.

"Oh, lo merasa idiot?" Dengan santainya Mona membalikkan pertanyaan. Sontak Mawar tersenyum kecut.

"Saya belum pikun, Kak Mona memnag pernah beliin aku skincare. Saya nggak nyangka Kak Mona hanya berpura-pura baik selama ini," beber cewek yang siang itu mengenakan setelan serba katun itu. Napasnya dihela perlahan. "Jadi sebenarnya untuk apa Kak Mona beliin saya skincare itu?" cecarnya lagi. Sangat terlihat rona kekecewaan di wajah ayu itu. Bibir terkatup dengan tatapan yang masih sama, lurus dan tajam.

"Ya iseng aja. Gue lihat kan lo itu norak banget, ya, siapa tahu memang pengen gitu nyobain perawatan ala wanita." Mona berkata sambil memainkan tangannya yang belepotan sambal.

"Saya menyesal sudah percaya sama Kakak."

Mawar bangkit. Mona tergelak sampai matanya berkaca-kaca. "Sebenarnya gue berharap produk itu bisa ngerusak kulit muka lo yang super nyebelin." Kali ini Mona makin terbahak sampai-sampai ia terbatuk.

"Udah, anaknya ngacir, tuh!"

Erik yang sedari tadi hanya menyimak adegan tidak mengenakan itu menyodorkan air putih miliknya untuk Mona. Cewek yang sedang menahan rasa nyeri di tenggorokan itu langsung menyambar botol air mineral pemberian Erik dengan cepat, kemudian menenggak isinya. Sedikit berkurang rasa panas dan perih yang dirasakan cewek itu.

"Sial."

***

Mawar masih terus terngiang apa yang didengarnya dari mulut Mona. Ia tidak menyangka Mona yang selama ini begitu baik padanya, ternyata hanya ingin memperalat. Mona berusaha mempengaruhi Mawar agar tidak menaruh hati pada Dilan. Semata-mata demi cita-citanya memiliki Dilan tercapai. Mona tahu Dilan menyukai Mawar, untuk itu ia mati-matian menjauhkan Mawar dari jangkauan Dilan.

Mendengar semua pengakuan itu, hati Mawar merasa sakit. Teman yang selama ini ia puji kebaikannya, ternyata tak lebih baik dari seorang pengkhianat. Mawar jadi teringat dengan wira.

Mawar yang tadinya ingin membantu sang ibu, kini berbalik arah menuju perpustakaan.

Perpustakaan baginya adalah tempat yang pas untuk menyendiri. Menenggelamkan diri dalam rangkaian huruf dan lembar-lembar kertas adalah sebuah cara yang ampuh untuk melupakan semua amarah. Mawar hanya ingin tenang.

Namun, sepertinya Tuhan berkata lain.

Kedatangan Mawar ternyata bersamaan dengan Dilan. Cowok itu terlihat sedikit canggung saat mata mereka bertemu. Dengan sedikit keberanian, Mawar mendekati Dilan.

"Kak," sapa Mawar.

"Hai, Mawar. Apa kabar?" gugup Dilan.

"Bolehkah saya minta waktu?"

"Boleh, tentu saja."

Begitulah, mereka sama-sama bersikap kaku layaknya dua orang yang belum pernah bertemu sebelumnya. Niat mereka yang ingin membaca, mendadak berubah. Akhirnya mereka keluar dari perpustakaan dan menuju taman kecil di belakang gedung fakultas.

Mereka berjalan beriringan.

"Duduk sini aja, Kak!" Mawar mendahului Dilan duduk di sebuah bangku taman panjang yang terbuat dari kayu lengkap dengan sandaran. Mawar meletakkan di bangku itu tas cokelat yang dibawanya.

Dilan duduk.

Kekakuan masih menyelimuti keduanya.

"Kamu--"

"Saya--"

Keduanya sama-sama ingin membuka percakapan.

Entah kecanggungan level berapa yang tengah dirasakan keduanya hingga bisa bertubrukan bicara.

"Kamu dulu aja!"

Mawar tersenyum manis.

"Saya akhir-akhir ini jarang lihat Kakak."

"Oh." Dilan menyunggingkan senyum. "Aku cuma sedang mengalihkan fokus."

"Fokus?"

Dilan sebenarnya tidak ingin mengatakan apa pun tentang pelariannya.

"Iya."

Mawar terlihat mengamati wajah bersih di hadapannya. Keduanya saling menatap sebelum akhirnya Dilan mengakhiri. Cowok itu memalingkan pandangan sejauh yang ia mampu.

"Tentang niat Kakak tempo hari--"

"Ah, lupain itu!"

"Lupain, Kak?" Mawar heran. Mana bisa cewek itu lupa dengan kejadian paling greget dalam hidupnya? Di saat mahasiswa lain berlomba untuk berganti pacar, Dilan justru melamarnya. "Baik."

Pada akhirnya Dilan memang belum siap ditolak lagi. Sedangkan niat Mawar yang tadinya ingin berbincang banyak dengan sosok mahasiswa kalem itu pupus. Semua terasa sia-sia.

"Aku cabut dulu, ya," pamit cowok itu.

🍂🍂🍂

Greget, ga sama Dilan?

Kalau kalian greget boleh loh ikut nimpuk! 😂😂😂

Salam,

Noya Wijaya

Tangerang Selatan, 18 Agustus 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro