Bab 7: Fakta dan Siasat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pandangan mereka bertemu. Sorot mata tajam Wira seolah menembus jantung Mona. Cewek itu berusaha untuk menguasai keadaan.

"Wira, Sayang ... ayolah jangan jadi cowok posesif!" ujar Mona dengan nada yang dibuat semanja mungkin.

Wira membeku. Cowok itu tidak mengerti arah pikiran Mona. Ternyata kecantikan dan kesempurnaan yang dimiliki gadis itu tidak berbanding lurus dengan kepribadiannya. Sampai di sini, Wira menyesali satu hal, mencintai Mona. Memang, soal wajah, Mona tiada duanya, tetapi hati siapa yang tahu. Menyadari itu Wira menyerah. "Kita putus."

Mona hanya mencebik, sama sekali tak ada raut menyesal di wajah ovalnya yang penuh riasan. Wira meninggalkan kedua insan yang sudah berhasil mematahkan hatinya. Namun, belum lagi langkahnya jauh, ia teringat sesuatu.

Cowok itu membalik badan dan kembali menuju di mana gadisnya berada.

"Bukan aku nggak percaya sama Kak Wira," ujar Mawar menggantung, "tapi aku kurang yakin kalau Kak Mona bisa melakukan hal seburuk itu."

"Dek, Mawar, apa harus kamu dimanipulasi dulu sama dia baru percaya?"

Mawar saat ini berada dalam posisi serba salah. Sudah bertahun-tahun ia mengenal Wira dan selama itu tidak sekali pun ada kebohongan di antara mereka. Namun di sisi lain, Mona yang supel dan menawarkan pertemanan padanya, rasanya tidak mungkin memiliki sifat seperti yang diceritakan Wira.

"Kak, maaf untuk kali ini aku nggak ingin di pihak mana pun. Aku percaya Kak Mona seperti halnya aku percaya ke Kakak," tegas Mawar. Kali ini Wira menahan napas. Sesak. Bayangan tentang Mona yang akan menyakiti Mawar tiba-tiba berkelebat. Cowok itu mengusap wajah gusar.

Bukan tanpa alasan Wira menaruh kekhawatiran.

Ingatan Wira kembali melayang pada kejadian siang itu, saat di mana ia kembali lagi menemui Mona setelah mengatakan putus.

"Baguslah dia mutusin gue," kata Mona yang sudah kembali menikmati kentang gorengnya, "jadi nggak ada lagi halangan buat ngejar Dilan."

Mona tidak sadar sepasang telinga lain ikut mendengar kalimat yang dilontarkannya.

"Sorry, ini tugas lo." Wira mengangsurkan flashdisk pada Mona. Ia sama sekali tidak tertarik untuk berbasa-basi lagi. Baginya, Mona tidak lebih dari pengkhianat.

Dilan. Nama itu yang membuat Wira khawatir. Ia tahu Dilan adalah target Mona selanjutnya. Sejak tahu Mona mengincar Dilan, ia jadi rajin memperhatikan gerak-gerik cowok berpotongan rambut seperti mangkuk itu.

Dilan dan Wira berbeda jurusan, tetapi beberapa kali bertemu di kelas yang sama.

Awalnya Wira hanya mengamati keseharian cowok berwajah sedikit oriental itu, tetapi lama kelamaan timbul niat isengnya.

Dilan yang cenderung pendiam, tidak pernah terdengar memiliki hubungan khusus dengan cewek mana pun di kampus. Berbeda dengan kedua teman dekatnya yang memang selalu eksis dengan gandengan masing-masing. Dari fakta itu, Wira mulai berani melontarkan candaan-candaan kasar yang lebih tepat disebut bully. Anehnya, Dilan hanya sekilas mengangkat wajah dan memberi tatapan masa bodo pada Wira dan beberapa orang temannya yang ikut-ikutan. Wira tidak memiliki teman dekat selain Mawar, tetapi beberapa teman di tim basketnya lumayan suka mengintil pada cowok gondrong itu.

"Mentang-mentang suka makan bakso, sampe mangkoknya dibawa ke mana-mana."

Kalimat itu ialah salah satu andalan Wira dan teman-temannya menjaili Dilan.

Wira dan kawan-kawan paling senang mengomentari gaya rambut yang menurut mereka itu sama sekali tidak terlihat macho.

Sayangnya, sejahat apapun mulut mereka, Dilan tetap tak pernah buka suara.

Wira dan kawan-kawan akan tertawa puas.

***
Hubungan Mawar dan Mona makin akrab.

Wira tak berani berbuat banyak, ia hanya memgawasi mereka dari jauh. Wira sangat tidak menginginkan apa yang dibayangkannya terjadi. Baginya, Mawar sudah seperti adik sendiri. Ia sampai berjanji pada diri sendiri akan melakukan apapun untuk kebahagiaan Mawar. Tentu saja ia tidak akan pernah memaafkan orang yang menyakiti gadis itu.

Seperti siang ini, Wira sengaja mengadakan pertemuan rahasia dengan Mona. Bukan ingin mengenang kisah lalu, ia hanya mewanti-wanti Mona untuk tidak coba-coba menyakiti Mawar. Mona sampai terbengong-bengong dengan kelakuan Wira.

"Segitu sayangnya, ya, lo sama dia?"

"Itu bukan urusan lo. Yang perlu lo inget, sekali saja Mawar terluka, lo yang gue cari," ancam Wira. Matanya begitu mengintimidasi, tetapi tentu saja bukan Mona namanya kalau takut.

"Gue nggak akan ngapa-ngapain dia."

"Gue pegang omongan lo."

"Tapi bukan karena gue takut sama lo."

"Terserah!"

Wira meninggalkan Mona begitu saja di basement. Wira memang sengaja memilih tempat sepi untuk bertemu Mona. Ia hanya tidak ingin ada kesalahpahaman jika ada yang melihat mereka bertemu di keramaian.

"Kita lihat aja apa yang bakal gue lakuin," gumam Mona sambil menekan sebuah kontak di ponsel pintarnya.

Sambil menunggu jawaban, Mona mengeluarkan sebatang rokok dari tasnya.

"Halo, Kak," jawab sebuah suara di ujung telepon, "maaf aku lagi agak sibuk."

"Oh, iya maaf aku lupa kalau ini jam makan siang," ujar Mona dengan nada yang dibuat semenyesal mungkin, "bisa nggak kita ngobrol segera setelah kamu longgar?"

***

Bagaimana part ini?

Sudah mulai terungkap sebab-sebab sikap menyebalkan Wira. Sampai sini ada yang mulai menyukai babang gondrong kita? Atau masih pada sebel?

Kira-kira di bab berikutnya akan ada apa lagi, ya? Tunggu aja kelanjutan kisah mereka! Semoga ada yang suka kisah ini.

Masih menerima vote, komentar, dan krisan. Jangan sungkan! Aku akan sangat berterima kasih jika ada yang berbaik hati kasih krisan.

Salam,

Noya Wijaya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro