Ini Tentang Mawar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pukul 17.45 WIB Dilan baru saja selesai mata kuliah terakhir. Ia tergesa menuju musala sebelum seruan salat berkumandang. Ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang terlihat juga di sana.

Azan berkumandang kemudian disusul ikamah.

Dilan terlihat ikut berjamaah dengan mahasiswa lain. Lima menit berselang akhirnya mereka selesai. Dilan segera bersiap pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan beberapa teman yang dikenalnya. Rambut mangkuk cowok jangkung itu terlihat masih agak basah sisa air wudu.

"Rambut mangkuk!"

Langkah Dilan mendadak terhenti. Ia menoleh ke sumber suara. Cowok gondrong itu. Dilan menghela napas.

"Mau ngatain doang sampai ngintilin gue solat?" cela Dilan sambil mendekati si gondrong. "Gabut ya lo?" Kali ini Dilan tersenyum mengejek.

Wira sebenarnya tidak suka harus berlagak baik pada Dilan, tetapi ia ingat motivasi awal. Wira akan mempertaruhkan apa pun untuk Mawar. Ya, termasuk gengsi. Gengsi sebenarnya bagi Wira untuk bersikap baik setelah selama ini rutin melakukan perisakan pada Dilan.

"Gue cuma mau nanya sesuatu."

"Tanya aja!"

"Lo naksir Mawar?"

Untuk sepersekian detik Dilan tercekat.

"Mau bully gue lagi?"

Wira tertawa sumbang, "Kita sama-sama udah dewasa. Tolong kesampingkan dulu masalah kita. Gue minta lo jawab pertanyaan gue!"

Dilan merasa aneh karena tiba-tiba ditanya seperti itu, terlebih yang menanyakannya adalah Wira. Wira yang selama ini begitu gencar melakukan perundungan padanya. Dilan curiga Wira ada maksud tersembunyi.

"Sorry gue nggak bisa jawab," jawab Dilan.

"Lo harus jawab!"

"Gue nggak bisa dan nggak mau."

Dilan melangkah pergi meninggalkan Wira.

Wira menghela napas berat. Usahanya untuk mengajak Dilan bekerja sama melindungi Mawar tidak berhasil. Namun, ia mendapat ide lain.

***

"Assalamu'alaikum," ucap Dilan begitu sampai rumah. Pintu ruang tamu rumahnya petang ini terlihat sedikit terbuka. Tidak seperti biasa.

"Wa'alaikum salam," jawab sebuah suara.

Dilan masuk dan mendapati seseorang yang sudah lama tak ditemuinya sedang duduk di sofa bersama sang ibu. Senyum pria itu terkembang. Tubuh tingginya berdiri menyambut Dilan. "Keponakan Om makin ganteng."

Dilan menjabat tangan pamannya. "Om Yama bisa aja." Dilan tersipu. Ia memang jenis cowok perasa, mudah merasa malu, sedih atau marah.

"Giman kuliah, lancar?" tanya Yama dengan ekspresi datar seperti biasa. Meski begitu ada perhatian besar yang dirasakan Dilan dari pertanyaan itu. Tentu saja itu membuat Dilan senang.

Dilan menjawab, "Alhamdulillah lancar, Om." Dilan mempersilakan pamannya untuk kembali duduk. "Dilan mau bersih-bersih dulu, ya, Om."

Dilan meninggalkan ibu dan pamannya.

"Ni, aku pulang, ya."

"Kok buru-buru?"

"Kasian Diva sama Al kalau aku pulang kemalaman."

"Iya, iya, Uni ngerti. Salam buat anak dan istrimu yang cantik," ujar Anandya. Wanita berkerudung lebar itu berdiri menyusul adik iparnya.

Yama diantar dengan tatapan sayang oleh Anandya. Yama adalah adik ipar yang begitu perhatian. Ia selalu menyempatkan diri berkunjung ke rumah di sela kesibukannya mengurus bisnis kuliner.

"Ma, Om Yama pulang?" Dilan yang tiba-tiba sudah di samping ibunya sukses membuat wanita itu terlonjak. Dilan tertawa.

"Kamu ... jangan suka ngagetin dong!" rutuk Anandya geram. Jantungnya masih berdetak kencang. Tangan wanita itu memegangi dadanya, berupaya meredam debaran jantung yang masih bertalu.

"Maaf," ujar Dilan sambil memamerkan giginya. "Om Yama ngapain doang ke sini?" Dilan mengamit lengan ibunya dan menariknya masuk. Wanita itu menurut. Sesampainya di ruang tamu, mereka duduk berjejer di sofa. Anandya mengusap-usap rambut halus Dilan.

"Kamu tumben lagi betah di rumah?

"Apaan, sih?" gerutu Dilan memanyunkan bibir. "Pertanyaan aku belum dijawab, Ma." Wanita lima puluh tahun itu tertawa kecil.

"Om Yama?" tanya Anandya menegaskan.

Dilan mengangguk. "Siapa lagi?" Kali ini Dilan menyenderkan kepalanya di bahu sang ibu. Sudah lama sejak sibuk mengikuti seminar dan acara-acara sejenis, Dilan tidak melakukannya.

"Biasa, Om Yama baru pulang dari Bali."

"Bawain oleh-oleh?"

Mata Dilan menyisir meja di hadapan mereka.

"Iya."

"Mana?" Dilan tidak menemukan apa pun di meja. Biasanya Yama akan membawa banyak oleh-oleh, yang pasti ada itu Pia Legong.

"Ada di kulkas. Om Yama abis borong banyak stroberi dari petani langsung di Bedugul." Dilan manggut-manggut. Ia paham arah berpikir paman semata wayangnya itu. Yama memanfaatkan situasi, di saat petani Bedugul panen raya stroberi, ia bawa juga ke Jakarta untuk restorannya.

"Yaudah kalau gitu aku mau bikin jus dulu."

***

"Lan, gue pengen ngobrol serius sama lo."

Pagi-pagi sekali, Rio sudah menunggu Dilan di gerbang kampus. Wajahnya terlihat serius. "Sepenting apa pagi-pagi udah nungguin gue?"

"Ini masalah Mawar."

Dilan menghentikan langkah. "Mawar?" Rio hanya mengangguk, sedangkan Dilan mendadak khawatir.

🍓🍓🍓

Hello haiii🖐🏼

Mamak rempong kembali lagi.

Part ini ada cameo dari lapak sebelah.

Untuk yang penasaran siapa Yama, bisa inti Blue Love, ya. Siapa tau naksir😁

Vomen masih dinantikan.

Salam,

Noya Wijaya

Tangsel, 30 Juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro