13. Drama Melankolis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berjalan dengan tertunduk. Menutupi kepala dengan tudung. Memasukkan kedua tangan ke dalam kantong depan jaket. Tatapan kosong di kedua mata menggambarkan kehampaan yang dirasakan. Melangkah tanpa memiliki tujuan.

"Aku sudah menemukan di mana lokasi keberadaannya. Tempat yang tidak asing dan kau pernah menginjakkan kaki di sana."

"Apa itu berarti aku bisa menggunakan Oust?"

"Tentu saja."

Berbincang dengan makhluk yang bersemayam di dalam tubuh. Merencakan dengan matang hal penting yang harus dilakukan. Jari telunjuk dan tengah membuat tanda silang. Mata terpejam perlahan.

"Oust."

Pemandangan yang menjijikkan. Pria paruh baya berbuat hal tidak senonoh dengan gadis muda berusia belasan di sebuah sofa. Masih belum menyadari kedatangan tamu yang tidak diundang.

"Kenapa ayah tidak datang ke pemakaman Ratna?"

Pertanyaan yang mengejutkan. Kedua pemeran adegan panas seketika menghentikan aktivitas mereka. Pria segera mengancingkan kembali semua kancing kemeja dan gadis muda memakai kembali pakaiannya satu-persatu. Pria menatap tajam penuh emosi, sementara gadis muda panik setengah mati.

"Sedang apa kau di sini, hah!? Kau sudah kabur. Tidak bisa seenaknya kembali begitu saja. Keluar!"

Langkah kaki mendekat sofa. Tatapan saling beradu. Gadis muda berlari pergi meninggalkan ruang tamu. Suara pintu rumah yang terbanti terdengar tak lama setelahnya. Berdiri saling berhadapan. Tidak ada yang mau mengalah adu tatap.

"Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi denganmu atau adikmu. Bagiku, kalian sudah tidak ada. Aku membesarkan kalian sekuat tenaga, tetapi apa balasan yang aku terima? Aku tidak mendidik kalian untuk menjadi anak yang kurang ajar padaku. Aku tidak butuh anak seperti kalian."

"Apa menyiksa ibu, aku, dan adikku adalah cara yang tepat untuk mendisplinkan kami? Apa itu yang kau sebut dengan kasih sayang?"

"Aku melakukannya agar kalian semua memahami arti kedisplinan. Agar kalian tahu dunia di luar sana sangat kejam dan keras."

Tangan melesat cepat ke depan. Mencekik leher pria paruh baya sekuat tenaga. Perlawanan coba dilakukan dengan memukul dan menendang pencekik, namun tidak ada yang membuahkan hasil. Cekikan semakin keras. Kulit di wajah perlahan memerah.

"Aku selama ini hanya diam dan menerima semuanya, karena aku memikirkan ibu dan Ratna. Ibu pergi mengkhianati kami, lalu Ratna bunuh diri karena depresi setelah diperkosa kakak kelasnya. Aku pikir setelah berkali-kali bunuh dirinya aku gagalkan, dia tidak berminat melakukannya lagi. Tetapi, dia menipuku dengan bersikap seperti sudah pulih dan akhirnya bunuh diri saat aku lengah."

Amarah memuncak tidak bisa lagi ditahan. Seluruh emosi yang muncul bersatu dalam otot-otot tangan. Pria paruh baya hanya perlu menunggu sebelum tewas dengan cara yang tragis.

"Tidak adil jika orang sepertimu tetap hidup, sementara adikku harus mati."

Darah memuncrat keluar. Lapisan kulit dan dagung hancur lebur. Tulang leher beserta saraf otot berada dalam genggaman. Patah berkeping-keping dan putus begitu tangan berhasil mengepal. Potongan badan tersuungkur di lantai, sementara kepala yang melayang di udara ditangkap dengan menggenggam rambut. Mensejajarkan potongan kepala dengan tatapannya.

"Siapa yang lebih kuat sekarang?"

Potongan kepala terjun bebas dan menggelinding di lantai. Terbaring dalam posisi menyamping. Darah yang tersisa mengalir keluar. Kedua mata melotot dan mulut terbuka.

"Aku menemukan lokasi kedua. Mau melakukannya malam ini juga?"

"Iya. Aku ingin menyelesaikannya dengan cepat."

Menggunakan kemampuan yang sama seperti sebelumnya. Tiba di sebuah stasiun kereta. Di jalur seberang terdapat seorang wanita tengah bersama dua anak kecil. Anak laki-laki yang lebih tua menggandeng tangan ibunya sambil bermain dengan pesawat miniaturnya, sementara anak perempuan yang lebih muda berada dalam gendongan ibunya.

Kemampuan lain digunakan. Muncul rangkaian kalimat bertinta hitam di atas kepala kedua anak itu. Biodata tentang keduanya tertulis lengkap. Dibaca dengan saksama dan teliti.

"Apa lagi yang kau tunggu? Lakukan sebelum keretanya datang."

"Aku tidak bisa melakukannya. Mereka berdua anak kandungnya. Secara teknis mereka adalah adik-adikku. Perlihatkan kembali keberadanku."

Tatapan tidak teralihkan ke mana pun. Potret kehangatan antara ibu dan dua anaknya menjadi pemandangan yang terus dinikmati. Rasa iri mulai terasa. Bersamaan dengan luka yang sudah terkubur sangat dalam.

Wanita di jalur seberang akhirnya menyadari tatapan yang sejak tadi memperhatikan. Matanya membelalak. Terkejut kehilangan kata-kata. Wajah tidak asing yang selama ini dirindukan. Langkah kakinya dengan cepat melangkah. Menggenggam tangan putranya dan memeluk erat putrinya. Berlari secepat yang dia bisa untuk menuju jalur seberang.

"Oust."

Berpindah tempat ke kamarnya. Duduk tersungkur di lantai memeluk kedua kaki dan menempelkan wajah ke area di antara dua lutut. Tangisan memecah keheningan. Semakin kencang tidak berhenti.

***

Terbangun. Menyingkirkan punggung telapak tangan yang menutupi mata. Sinar lampu yang terik sontak menyerang. Bangkit dari tempat tidur dalam keadaan menutup mata. Melakukan beberapa gerakan senam untuk membuat badan kembali bugar. Ketika melihat jam digital di atas meja kecil di samping tempat tidur, Joseph sedikit terkejut.

"Jam dua belas malam? Aku tertidur selama itu?"

"Jari kelingkingmu patah dan disembuhkan dengan cara paksa. Jelas tubuhmu butuh istirahat yang cukup untuk membuatnya pulih dengan sempurna."

"Kenapa tidak kau saja yang menyembuhkannya? Tubuhku, tubuhmu juga."

"Tidak bisa. Kelingkingmu patah karena membayar teknik Oron. Rasa sakit yang timbul di dirimu adalah makanan untuknya. Aku tidak bisa ikut campur dalam urusan kalian berdua, meski secara teknis Oron ada di dalam tubuhku."

"Tidak berguna."

Moz tidak bisa kesal. Perkataan Joseph tidak hanya tertuju pada dirinya yang tidak bisa menyembuhkan, nsmun juga tertuju pada dirinya yang bersembunyi selama bertemu dengan Be Sick. Yang Joseph tidak tahu dia tidak punya pilihan lain selain bersembunyi. Kalau menunjukkan diri, Be Sick akan terus mengajaknya tanding ulang. Pertandingan terakhir dimenangkannya dengan cara yang sangat licik.

Perut berbunyi. Alarm sinyal tanda kelaparan. Joseph tertidur sejak sore dan belum makan apa-apa lagi setelah itu. Wajar jika lambungnya berontak.

Membuka jaket dan kaos kaki. Mengambil terlebih dahulu ponsel dari dalam kantong sebelum membuka celana panjang. Keluar dari kamar menggunakan kaos hitam polos dan celana pendek biru laut. Joseph bergerak menghampiri kulkas untuk mengambil cokelat di freezer, namun langkah kakinya terhenti saat melihat bungkusan plastik di meja makan. Di dalamnya ada sebungkus kertas cokelat, sendok plastik, dan kerupuk yang masih tersegel. Karet yang mengikat dibuka. Nasi goreng memancarkan sinar yang terang benderang.

"Aku tidak tahu kalau warna nasi goreng bisa seindah ini."

"Itu karena lambungmu ikut melihatnya juga."

Duduk di kursi dan mulai menyantap makan malam. Sudah dingin, namun kenikmatannya tetap terjaga. Setiap suapan begitu berarti. Sambil menikmati makanannya, Joseph meletakkan ponsel di atas meja. Memeriksa apa ada pesan atau panggilan masuk selama dia tertidur.

Nomor tidak dikenal menelpon berulang kali. Mengirim empat belas pesan singkat dalam jangka waktu yang berdekatan. Seperti ibu yang khawatir pada anaknya yang belum pulang juga. Pesan pertama dibuka oleh Joseph untuk melihat siapa orang overprotektif itu.

"Selamat malam, Joseph. Ini nomor ponselku. Aku Safira yang tadi pagi datang ke apartemenmu. Aku membelikanmu nasi goreng terenak yang pernah aku makan. Aku baru tiba di parkiran, aku akan segera ke sana."

Pesan pertama sudah cukup jelas. Joseph tidak memahami apa yang membuat Safita mengirim tiga belas pesan lainnya. Sudah terlanjur membaca yang pertama, tidak etis jika tidak membaca semuanya satu-persatu.

"Joseph, kau ada di apartemen? Aku sudah menekan belmu berulang-ulang, tetapi tidak ada jawaban. Apa belmu rusak?"

"Apa kau marah padaku karena tertidur di jam kerja?"

"Aku minta maaf jika memang itu penyebabnya. Aku sangat kelelahan dan kau mengizinkanku untuk beristirahat sejenak. Tanpa sadar aku malah tertidur pulas."

"Aku memang tidak kompeten. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

"Joseph ... apa kau benar-benar marah padaku?"

"Apa kita tidak bisa membicarakannya sebentar?"

"Jika tidak mau membicarakannya, setidaknya terimalah nasi goreng ini. Aku sudah terlanjur membelinya. Sayang kalau dibuang."

"Joseph ... apa salahku begitu besar bagimu?"

"Aku mohon maafkan aku ...."

"Maaf kalau suara tangisanku mengganggumu. Aku ... tidak kuat lagi menahannya. Aku minta maaf untuk itu."

"Aku baru saja menghubungi Clarine. Dia bilang, masuk saja ke dalam apartemenmu dan letakkan nasi gorengnya di atas meja makan. Clarine bilang kau sedang tertidur."

"Aku meletakkan nasi gorengnya di atas meja makan. Makanlah setelah bangun nanti. Semoga kau menyukainya."

"Aku minta maaf atas pesanku di atas. Maaf jika kau terganggu. Aku bisa membuka pintu apartemenmu karena punya kunci cadangannya. Aku diberikan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu padamu. Selamat malam, Joseph. Mimpi indah."

Drama yang cukup menghibur. Karakter Safira adalah karakter yang paling dibenci oleh Joseph. Terlalu cepat merasa bersalah atas suatu hal yang sepele. Dia tidak mempermasalahkan seberapa banyak pesan yang dikirim. Karena dia menyadari tujuan Safira baik. Tidak untuk mengganggunya.

Sebagai balasan atas rasa perhatian yang diberikan, Joseph segera menghubungi Safira saat itu juga. Tidak peduli waktu sudah dini hari. Namun anehnya, langsung dijawab Safira pada deringan pertama.

"Selamat malam, Pak Andrian. Ada tugas apa yang perlu aku selesaikan?"

"Ini aku, Joseph."

"Joseph? Ah, maaf, aku tidak melihat namanya terlebih dahulu dan langsung menjawabnya begitu saja."

Entah harus bangga atau tidak dengan dedikasi Safira terhadap pekerjaannya. Di waktu tidur bisa dengan cepat menjawab telepon. Niat awal ingin membalas tindakan Safira dengan candaan, Joseph justru terjebak dalam rasa tidak enak.

"Maaf mengganggu waktu tidurmu. Aku pikir teleponku tidak akan dijawab."

"Tidak apa, Joseph. Aku sudah terbiasa menjawab panggilan dadakan di waktu-waktu seperti ini. Kita bekerja di tempat yang tidak mengenal waktu, sudah sewajarnya kita selalu siap kapan pun."

"Aku sangat tertolong oleh nasi goreng pemberianmu. Rasanya enak seperti yang kau bilang. Terima kasih. Kembalilah tidur. Selamat malam dan sampai bertemu lagi besok."

Tanpa memberikan kesempatan Safira untuk merespon, Joseph mematikan panggilannya. Nasi goreng telah habis. Saatnya untuk melakukan satu hal penting sebelum membayar waktu luang yang terpakai tertidur pulas. Ada fakta menyebalkan yang baru diketahuinya. Safira mempunyai kunci cadangan tidak seberapa, karena itu tindakan tepat untuk berjaga-jaga. Namun, Clarine yang mengetahuinya sedang tertidur adalah tindakan yang melanggar privasi.

Kembali ke kamar membawa ponsel. Memakai kembali celana panjang yang tergeletak di lantai. Asap hitam menyelimuti kelingking tangan kiri Joseph dan hilang beberapa saat setelahnya. Cincin yang semula tidak ada, kini sudah melingkar di jari. Telunjuk dan jari tengah tangan kanan melakukan syarat ritual seperti biasa.

"Oust."

Gelap gulita. Tekanan yang luar biasa dirasakan lagi oleh Joseph. Berbeda dengan sebelumnya, sekarang dia bisa bergerak bebas. Berlari cepat menghampiri asal dari tekanan magis yang menyerang. Tangan kanan langsung mencekik sekuat tenaga. Suara rintihan terdengar. Lampu seketika menyala menerangi seluruh ruangan.

"Luar biasa, Joseph. Ternyata, kau juga punya Djinn yang bisa membuatmu berpindah dengan cepat tanpa terdeteksi. Tetapi, jangan bangga dahulu. Apa kau pikir aku mengizinkan orang lain secara sembarangan datang ke sini?"

Masuk akal. Kekuatan Oust memang berguna untuk berpindah tempat yang pernah dikunjungi. Namun, jika tempat itu dilindungi kekuatan magis yang kuat, kekuatannya tidak akan berfungsi. Secara tidak langsung Clarine sengaja melepas perlindungan magisnya agar Joseph bisa datang malam ini.

"Jika sudah mengerti, bisa kau lepaskan Yebel?"

Mata kiri hitam dan mata kanan putih. Rambut putih panjang sebahu. Sayap hitam berukuran besar di punggung. Tanduk kiri melengkung ke kanan dan tanduk kanan patah di bagian tengah. Gaun yang dikenakan seperti penyihir di cerita dongeng. Bernuansa kelam dan jahat. Rupa Yebel secara keseluruhan hampir mirip dengan manusia, namun tidak sesempurna Be Sick.

Cekikan dilepas. Ancang-ancang ingin memukul dilakukan Yebel, namun urung terjadi karena bisa menahan emosi. Berjalan pergi menghampiri tirai dan masuk ke dalamnya. Menghilang tidak berbekas.

"Jadi, apa tujuanmu datang ke sini? Kau bahkan menggunakan cincin yang diberikan oleh Pak Andrian. Tidak mau terjebak dalam situasi yang sama dua kali?"

"Lepaskan Oculus yang kau tanam di mataku. Aku bukan anak kecil yang harus kau awasi dua puluh empat jam."

Clarine tertawa kecil. Menghampiri Joseph dan menutup kedua matanya dengan bagian muka telapak tangan.

"Oculus."

Aura berwarna merah mengalir keluar. Masuk ke dalam lapisan kulit tangan. Saat tidak ada lagi yang keluar, tangan Clarine turun kembali.

"Sudah aku lepaskan. Apa hanya itu tujuanmu datang ke sini?"

"Iya. Terima kasih sudah mau mengerti."

"Sama-sama."

"Oust."

Belum sempat bertanya apa pun sudah ditinggal pergi. Clarine ingin mengetahui alasan kenapa tidak bisa melihat ke mana Joseph pergi setelah keluar dari sekolah. Ada sesuatu yang menghalangi.

"Siapa pun yang Joseph temui tadi sore adalah sesuatu yang berbahaya. Aku harap dia tidak bertemu dengan Be Sick."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro