17. Senjata Rahasia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berkedip kesekian kali. Warna mata perlahan kembali normal. Baru sebentar menggunakannya sudah menguras tenaga Joseph. Sebuah kemampuan yang tidak bisa dipakai terus menerus. Sebaiknya digunakan untuk sesuatu yang benar-benar penting.

Endor sudah diatasi. Ada dua hal yang perlu Joseph lakukan saat ini. Memeriksa keadaan Safira menjadi hal yang wajib dilakukan terlebih dahulu. Duduk bersimpuh dengan napas yang terengah-engah, kondisi Safira ternyata lebih parah dari yang dia duga sebelumnya.

“Kau baik-baik saja?”

Joseph duduk bersila. Menurunkan sedikit posisi kepalanya agar bisa mengintip wajah Safira yang tertunduk. Cukup terkejut. Keringat mengucur deras dari pori-pori wajah dan menetes membanjiri lantai.

“Apa kau bisa bergerak?”

Direspon dengan gelengan kepala tanpa kata-kata. Dari sana Joseph menyadari. Selain tidak bisa bergerak, Safira juga tidak punya tenaga untuk bicara. Terbayang betapa beratnya efek samping penggunaan Mano membebani tubuhnya.

“Aku akan membawamu ke tempat Divisi Kesehatan. Setelah itu, aku akan kembali lagi mengurus sisanya.”

Lagi, Safira menggeleng. Tangan kanannya terangkat dengan pelan dan menunjuk ke arah meja tempat Galih bersembunyi. Dia ingin Joseph membawa Galih terlebih dahulu, baru menjemputnya setelah itu.

Tangan kiri menggenggam erat lengan yang tengah menunjuk. Joseph sudah merasa cukup dibohongi oleh Safira. Tidak mau lagi menuruti keegoisannya hari ini.

“Turuti saja apa kataku. Jangan memerintahku untuk melakukan hal yang lain.”

Kembali tertunduk. Safira terpaksa menurut. Tidak ada tenaga yang tersisa untuk menyanggah perkataan Joseph. Diam dan ikuti saja perkataannya. Joseph mendekat. Langsung mengangkat tubuhnya seperti seorang Tuan Putri dalam cerita dongeng. Terkejut dan sangat malu.

“Bisa mewakilkanku menyilangkan jari tengah dan telunjuk? Kita tidak bisa berpindah tempat jika tidak membuat simbol itu.”

Masih dalam keadaan malu-malu, Safira mengangkat tangan kanannya dan membentuk simbol yang Joseph maksudkan.

“Salah. Jari tengah di atas.”

Mengganti posisi jari. Menatap dan sedikit mengangguk untuk mengonfirmasi. Joseph membalasnya dengan anggukkan kepala. Safira tersenyum tipis.

“Oust.”

Mereka berdua berpindah tempat ke sebuah ruangan luas yang berisi jajaran tempat tidur seperti yang ada di rumah sakit. Joseph berjalan cepat menghampiri tempat tidur terdekat dan menidurkan Safira dengan perlahan. Ketiga orang yang menggunakan seragam petugas kesehatan segera menghampiri.

“Dia terluka cukup parah karena menerima serangan Djinn. Banyak darah yang hilang karena digunakan sebagai pertukaran dengan Djinn-nya.”

“Mulai dari sini biar kami yang menanganinya.”

Joseph menjauh. Memberi ruang untuk ketiga petugas kesehatan. Sebenarnya, dia tidak menyangka akan mengunjungi tempat ini lagi. Setelah pertama kali ditunjukkan oleh Safira seminggu yang lalu, dia bertekad untuk tidak pernah datang ke sini lagi. Rumah sakit tersembunyi yang ada di bawah rumah sakit jiwa tempat Clarine tinggal. Khusus diperuntukan untuk para pekerja OPMA.

Anggukkan kepala dengan senyuman yang Safira berikan, membuat Joseph merasa lebih tenang untuk meninggalkannya. Dia memahami rasa sakit masih memenuhi seluruh tubuh perempuan itu. Apa yang dilakukan olehnya hanya untuk membuat orang lain tidak khawatir.

“Setelah selesai mengurus semuanya, aku akan kembali lagi.”

“Aku menunggumu.”

“Oust.”

Tiba lagi di ruangan berbau busuk. Mengambil pedang milik Safira yang tergeletak di lantai. Melompati meja dan menendang kursi. Joseph berdecak karena sosok Galih sudah tidak berada di sana.

“Oust.”

Joseph berpindah ke tangga di lantai satu. Menuruni tangga menuju ke basement. Menurut prediksinya, Galih ingin kabur dengan menggunakan mobil. Harus dicegah sebelum kehilangan jejak. Pintu basement dibuka lebar, berjalan cepat memperhatikan sekitarnya dengan saksama.

Suara mesin mobil yang baru menyala menyeruak memenuhi udara. Leher Joseph secara otomatis bergerak ke arah asal suara. Tepat berada jauh di belakangnya. Mobil melaju cepat dan semakin cepat. Jendela depan terbuka. Kepala Galih melongok keluar.

“Mati kau, Joseph! Kau mungkin kuat melawan makhluk astral, tetapi tidak mungkin bisa menghindari ini.”

Tidak habis pikir. Joseph tidak mengerti kenapa orang sebodoh Galih bisa memimpin divisi sebuah perusahaan. Dengan jarak sejauh itu, dia bisa dengan mudah menyingkir dari jalan untuk menghindari laju mobil. Namun, untuk merespon kebodohan seseorang rasanya tidak seru jika menjawabnya dengan kecerdasan. Lebih seru kalau membalasnya dengan kegilaan.

Sengaja memosisikan diri di tengah-tengah jalan. Ketika jarak mobil sudah dekat, Joseph melompat dan memegang bagian atap mobil yang melaju melewatinya.

“Oust.”

“Wuah! Ihh! Ahh! Tolong!”

Galih panik setengah mati. Berpegangan sekuat tenaga pada setir. Seluruh badannya terasa seperti ditarik sangat keras ke bawah. Adrenalin menghentak keras jantung. Mengirim sinyal bahaya ke seluruh tubuh.

“Bagaimana? Mau ikut denganku atau tidak?”

“Apa kau sudah gila, Joseph!? Kembalikan aku ke tempat semula!”

Bersama dengan mobilnya dan juga Joseph, Galih terjun bebas dari ketinggian puluhan ribu kaki. Tekanan luar biasa menghunjam seluruh tubuh. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasakan ketakutan sebesar itu.

Ini adalah salah satu senjata rahasia Joseph. Menggunakan sayap Ventus untuk terbang menuju ke tengah laut dan pergi setinggi mungkin. Menandai lokasinya di dalam ingatan, sehingga bisa menjadi salah satu tempat tujuan teknik Oust. Cara mengintimidasi paling efektif, rahasia, dan berbahaya.

Masuk melalui pintu depan di sisi lain. Joseph duduk dengan santai seakan tidak terjadi apa-apa. Berbanding terbalik dengan laki-laki yang duduk di sebelahnya.

“Kau hanya punya dua pilihan, Galih. Ikut denganku dan selamat, atau tetap di sini dan tewas mengenaskan. Mana yang kau pilih?”

“Ikut denganmu! Aku pilih ikut denganmu! Aku tidak mau mati dengan cara seperti ini. Masih ada banyak hal yang ingin aku lakukan.”

Posisi mobil perlahan mulai menukik ke bawah. Kotak yang bersemayam di kursi tengah menghempas turun dengan kecepatan tinggi. Untung saja tangan kanan Joseph bereaksi menangkapnya. Kehilangan barang bukti yang sangat penting bisa jadi blunder paling fatal yang pernah dilakukannya.

Kaca depan pecah tidak kuat melawan tekanan. Serpihan kaca menghantam kedua penumpang. Joseph baik-baik saja, sementara Galih mengalami luka baret di sekujur kedua tangannya karena melindungi wajah. Bagian depan mobil mulai terkelupas melepaskan diri.

“Ayo, Joseph! Tunggu apa lagi!? Keluarkan aku dari situasi ini!”

Tangan kanan harus membawa kotak, sementara tangan kiri harus membuat simbol silang. Tidak ada pilihan lain bagi Joseph selain menginjakkan kakinya di atas paha Galih.

“Oust.”

“Wah!”

Laki-laki yang berteriak karena terkejut dengan kedatangan mereka, bangkit dari kursi dan mundur mendekati pojok ruangan. Tangan kanannya mengepal, bersiap untuk melindungi diri. Namun setelah melihat wajah Joseph, dia mengembuskan napas lega dan duduk kembali.

“Kau mengejutkanku, Joseph. Kenapa berteleportasi ke tempat ini? Aku sedang fokus membaca laporan.”

“Maaf, Pak Andrian. Aku spontan memutuskan berteleportasi ke sini.”

Galih tersungkur di lantai. Tak kuat lagi menahan kesadaran. Pengalaman terjun bebas seperti itu dipastikan menjadi trauma mendalam baginya.

Meletakkan kotak di atas meja. Harus cepat pergi sebelum Andrian kembali dari rasa terkejutnya. Pusing bisa mendera kepala Joseph jika mendengar nasihat dan amarah yang sebentar lagi menusuk telinganya.

“Orang yang tersungkur di lantai adalah Galih, target pertamaku hari ini. Di dalam kotak terdapat bukti kejahatannya. Saranku, jangan kau buka. Biarkan pekerja perempuan dari Divisi Penyedik saja yang membukanya. Hanya itu saja yang ingin aku sampaikan, maaf sekali lagi sudah mengejutkanmu, Pak Andrian.”

“Kenapa aku tidak boleh membukanya?”

“Aku pamit. Oust.”

“Hei, Tung! Ah, anak itu selalu saja seenaknya. Sudah berulang kali dia membawa target dari tugasnya ke sini.”

Diberi informasi setengah jadi. Sudah pasti rasa penasaran mencuat di kepala. Andrian tidak bisa menahan bisikan dari hawa nafsunya sendiri. Tangan kanannya bergerak membuka kotak dengan perlahan. Baunya menyengat, tetapi rasa penasaran belum hilang. Begitu rupa benda di dalamnya sedikit terlihat, tangannya secara otomatis menutup kembali kotak.

“Iya, aku paham sekarang kenapa aku tidak boleh membukanya. Anggap apa yang aku lihat tadi tidak pernah terjadi.”

Andrian memindahkan kotaknya ke bawah. Kembali melanjutkan aktivitas sebelum dikejutkan Joseph. Menyibukkan diri agar ingatan sepuluh detik lalu terhapus total dari kepalanya.

Kembali ke ruang perawatan. Mengambil kursi yang tidak terpakai di meja jaga petugas kesehatan. Joseph duduk di samping tempat tidur di mana Safira tengah terbaring lemas menerima transfusi darah.

“Bagaimana kondisimu?”

“Bagaimana dengan Galih? Kau sudah mengurusnya?”

“Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.”

Tersenyum tipis. Safira sudah menduga akan mendapat jawaban seperti itu. Pernah melakukan hal yang sama sebelumnya. Saat Joseph menanyakan kondisinya setelah selesai menjalankan tugas, kemudian dia malah menanyakan hal yang sama tanpa menjawab lebih dahulu. Bedanya, saat itu Joseph lebih ketus. Sekarang terdengar lebih lembut dan ramah.

“Kondisiku sudah membaik. Setelah transfusi darah selesai, aku akan kembali pulih seperti semula.”

Joseph langsung memahami maksud dari perkataan Safira. Bukan dari penjelasan singkat yang diucapkannya, melainkan dari bekas luka goresan yang terlukis di beberapa bagian kulit. Normalnya, manusia biasa butuh waktu untuk pulih dari luka goresan. Luka kering, terkelupas, dan lapisan kulit baru tercipta. Belum ada satu jam, kulit Safira hampir pulih seperti tidak terluka sama sekali.

Mano mendapatkan suplai darah, kemudian menyembuhkan luka di tubuhnya. Pertukaran setara. Sama seperti kau dan aku.

Tidak sama. Kutukan yang Moz makan terkadang memberi dampak lebih besar dibandingkan bantuan yang diberikannya. Bagi Joseph, tidak ada hitung-hitungan akurat antara dirinya dengan Moz. Semua berjalan begitu saja.

Kau sadar aku bisa melihat isi kepalamu, bukan?

“Iya, aku memang sengaja memikirkannya agar kau sadar.”

“Hmm? Apa maksudmu, Joseph?”

Melambaikan tangan dan menujuk kepala sendiri. Joseph memberi isyarat kepada Safira kalau dirinya tengah bicara dengan Moz. Untung saja Safira cepat mengerti, jadi tidak tersinggung dengan ucapannya.

“Aku sudah menyerahkan Galih kepada Pak Andrian. Bersama dengan ko-,”

“Apa!?”

Kepala Joseph sedikit menjauh. Sedikit terkejut dengan respon berlebihan yang diterimanya. Padahal, dia merasa tidak mengatakan apa pun yang mengejutkan.

Safira sendiri sadar kalau teriakannya terlalu kencang. Tangan kirinya bergerak cepat menutup mulut. Menatap ke sekeliling untuk memastikan apa ada yang terganggu atau tidak. Petugas kesehatan terlihat tidak peduli. Dia merasa bersyukur terselamatkan dari rasa malu.

“Kenapa responmu berlebihan?”

Melepaskan tangan dari mulut. Menggenggam lengan Joseph dan mencengkeramnya dengan kuat. Safira ingin menyalurkan kekesalahannya melalui tindakan itu.

“Jangan bawa Galih ke Pak Andrian. Dia sudah memperingatkanku soal tindakanmu yang menyerahkan target seenaknya. Bawa Galih ke Divisi Penyidik sesuai dengan prosedur yang tertulis di kontrakmu. Kau tidak ingat? Selama dua minggu, total delapan kali kau menyerahkan target ke Pak Andrian di luar sepengetahuanku. Aku sudah lelah mendengar makian yang sama setiap hari.”

Safira memegang kening dengan tangan kiri. Menggelengkan kepala dan memejamkan mata. Mengingat kembali setiap makian yang dilontarkan Pak Andrian benar-benar membuatnya sakit kepala. Apa lagi Joseph sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama soal hal itu.

“Total sembilan kali aku menyerahkan target langsung ke Pak Andrian, terdapat sembilan alasan yang berbeda di balik tindakanku itu.”

Menurunkan kembali tangannya. Menatap Joseph dengan heran. Jika memang alasan di balik tindakan Joseph adalah hal yang penting, Safira sudah pasti merasa tidak enak sudah memperingatkannya.

“Pertama, kedua, keempat, kelima, dan kedelapan aku harus memberi makan Moz. Kalau tidak segera memakan kutukan, tubuhnya bisa menyatu seutuhya denganku dan itu sangat berbahaya. Aura magisku yang besarnya di luar nalar, bersatu dengan Moz yang memiliki kekuatan magis ribuan makhluk astral. Aku rasa tidak ada satu pun orang di OPMA yang mampu mengalahkan kami.”

Menelan saliva. Safira melupakan hal sepenting itu. Selama ini mereka memang berbagi tubuh, tetapi ada mantra penghalang yang terpasang untuk membuat tubuh mereka terpisah secara magis. Belum mendengarkan semua, tetapi sudah merasa tidak enak.

“Ketiga, keenam, dan ketujuh aku kelelahan. Kau pasti mengingat makhluk astral macam apa yang kita hadapi saat itu. Bentuknya berbeda, namun punya karakteristik yang sama. Yakni, menyerap aura magis manusia hanya dengan sentuhan. Aku terkekang gelang-gelang di tangan kiriku. Tidak bisa menggunakan aura magis sepenuhnya. Jika terus disedot, aku pun akan merasa kelelahan.”

Ekspresi datar di wajah Joseph membuat Safira tidak menyadari kelelahan yang dirasakannya. Kalau saja sejak awal mengetahuinya, dia pasti akan membela Joseph di hadapan Andrian. Tidak menerima mentah-mentah makian yang dilontarkan padanya. Sudah tidak bisa mundur. Dia harus meminta maaf.

“Maafkan aku, Joseph. Aku tidak bermak-,”

“Dan yang kesembilan, aku merasa bersalah.”

“Eh?”

Tatapan tajam melawan tatapan heran. Ungkapan maaf yang ingin dilontarkan Safira tertelan kembali ke dalam tenggorokan. Didorong oleh ucapan Joseph. Alasan kesembilan, itu berarti kejadian hari ini. Dia tidak mengerti apa yang membuat Joseph merasa bersalah kepadanya.

“Tidak seharusnya aku sepakat. Mulai besok, tolong jangan melakukan tindakan seperti ini lagi. Biar aku saja yang mengurus bagian sulitnya. Bukan bermaksud meremehkanmu, tetapi aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kau terluka lagi seperti ini. Kau mengerti?”

“Aku mengerti.”

Tertunduk. Rasa bersalah berpindah tempat. Safira tidak menduga akan terjebak dalam perasaan seperti ini.

“Nyawamu lebih berharga dari nyawaku.”

Telapak tangan yang terasa nyaman. Elusan lembut tangan Joseph di atas kepalanya seakan memudarkan segala perasaan yang memenuhi hati. Safira merasakan kehangatan yang belum pernah dirasakannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro