22. Kunjungan Senior

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tertidur lelap. Bersandar pada pundak. Kakak laki-laki dan adik perempuannya tengah berada dalam sebuah bis malam. Perjalanan menuju kota yang berbeda untuk memulai kehidupan yang baru.

“Kau tidak bisa lari begitu saja.”

Mata membelalak. Leher bergerak cepat menoleh ke sebelah kanan. Seorang laki-laki berpakaian formal serba hitam tengah duduk mengangkat kaki kanan ke atas paha dan menyilangkan kedua tangan di dada.  Tatapan datar yang menusuk. Tangan kanan gemetar sejenak akibat hawa keberadaan yang begitu kuat.

“Ayahmu membuat laporan atas hilangnya dirimu dan adik perempuanmu itu. Dia juga mengerahkan orang-orang suruhan untuk mencari kalian.”

“Untuk apa dia mencariku? Setelah apa yang sudah dia lakukan selama ini.”

“Mungkin saja dia tidak mau kehilangan objek kesayangannya. Punya anak yang kebal serangan fisik dan racun adalah sesuatu yang langka.”

Tangan kanan mengepal. Ingin memukul, namun tidak bisa. Bergerak sedikit saja akan membangunkan adiknya yang sedang bersandar.

“Siapa kau sebenarnya?”

Memalingkan wajah darinya. Ekspresinya tidak berubah masih tetap sama. Menguncir rambut hitam panjang dengan sebuah kuncir yang melingkar di tangan kiri. Bagian kiri leher yang semula tertutup oleh rambut, kini terlihat dengan jelas. Bekas jahitan sepanjang sepuluh sentimeter melintang secara diagonal.

“Aku hanyalah seseorang yang membosankan. Hanya kebetulan mengetahui sosok yang bersemayam di dalam tubuhmu. Djinn yang bernama Moz.”

Amarah berubah menjadi terkejut bercampur bingung. Baru pertama kali ada orang yang mengetahui tentang Moz. Selama ini, dukun-dukun yang disewa ayahnya tidak ada yang mengetahui hal itu.

“Djinn itu pasti bisa mendengar ucapanku, tetapi memilih untuk bersembunyi. Bilang padanya untuk menampakkan diri. Aku di sini hanya untuk berdiskusi.”

Tertunduk. Menepuk dadanya dengan pelan beberapa kali. Tidak ada respon. Baru kali ini juga makhluk astral yang ada di dalamnya bersembunyi sampai tidak mau berbicara sama sekali. Membuatnya tersadar bahwa orang yang duduk di sebelahnya sangatlah berbahaya. Mengikuti arah pembicaraan dengan perlahan adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan.

“Siapa namamu? Kenapa kau bisa mengetahui makhluk astral di dalam tubuhku? Dia sudah menutup aura magisku serapat mungkin agar tidak ada orang yang bisa melihatnya. Kau juga pasti bukan orang biasa. Orang biasa tidak mungkin bisa tiba-tiba duduk di sana begitu saja.”

“Aku tidak bisa memberitahu namaku. Belum saatnya. Yang jelas, aku bukan orang jahat dan berniat untuk membantumu.”

Menyatakan diri bukan orang jahat adalah sesuatu yang ambigu. Bisa bermakna sebagai pejahat yang sesungguhnya atau orang yang akan meminta balasan atas bantuannya tersebut. Namun, penjahat yang sesungguhnya pasti sudah membunuh orang yang tidak bisa bergerak dan memberikan perlawanan, bukan mengajak berdiskusi.

“Bantuan apa yang kau tawarkan?”

“Aku bisa membungkam semua yang terjadi saat ini. Kau dan adikmu bisa memiliki kehidupan yang baru dengan tentram. Namun, sebagai gantinya ….”

Dugaan benar. Tidak ada bantuan yang diterima secara cuma-cuma, apa lagi yang memberikannya adalah orang asing.

“Aku ingin kau membunuh ayahmu.”

“Heh?”

Rasa dendam memang ada dan tidak akan pernah hilang, namun punya pemikiran untuk membunuh ayah sendiri tidak pernah ada di dalam benak. Terlebih, membunuh manusia bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Bertentangan dengan hati nurani dan akal sehat.

“Seperti yang kau tahu, ayahmu adalah penjabat yang kedudukannya tinggi. Bisa membungkam media dan menyembunyikan keberadaan kedua anaknya bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan orang sembarangan. Dan yang terpenting, kejahatan ayahmu itu sangat banyak dan mengerikan. Dia sudah seperti iblis yang tidak punya perasaan sama sekali. Hukum tidak bisa menyentuhnya, jadi satu-satunya cara untuk melenyapkannya adalah membunuhnya.”

Ide yang gila. Membunuh penjabat penting sama dengan bunuh diri. Tidak ada hal lain yang menanti selain hukuman mati. Sesuatu yang jelas tidak bisa dilakukan, karena masih ada adik perempuan yang harus dihidupi.

“Apa kau sudah gila? Aku tidak mungkin bisa menerimanya. Bagaimana dengan nasib adikku jika aku melakukan hal semacam itu?”

Tersenyum tipis. Ekspresi wajah laki-laki berambut panjang itu terlihat puas. Seakan semua hal yang terjadi saat ini sesuai dengan prediksinya.

“Kalau begitu, bagaimana jika aku ubah tawaranku?”

Memberikan tatapan dengan senyuman tipis. Seakan terdapat makna tersembunyi di balik ekspresi wajah itu.

“Aku akan membungkam semua hal yang terjadi saat ini. Sebagai gantinya, kau harus menjalani kehidupan dengan normal layaknya manusia biasa. Menjauhi urusan dengan makhluk astral apa pun itu alasannya. Selama janji itu ditepati, aku tidak akan mengusik kehidupan kalian. Bagaimana? Tawaran yang bagus, bukan?”

Sangat menguntungkan. Persyaratan yang sangat mudah untuk dipenuhi. Sejak awal ketertarikan terhadap makhluk astral memang tidak ada. Namun, sebuah penawaran menggiurkan yang mencurigakan. Tidak bisa langsung diterima, jika belum jelas seratus persen.

“Apa hanya itu yang kau inginkan dariku?”

“Jujur saja, ayahmu adalah masalah sederhana. Karena manusia punya batasan umur. Yang jadi masalah adalah Djinn yang bersemayam di dalam tubuhmu. Aku tidak yakin bisa mengatasinya sendirian.”

Menatap ke depan dan memegangi dada. Tidak menyangka sama sekali kalau Djinn yang selama ini menemani punya kekuatan yang di luar kemampuan manusia.

“Jadi, tujuan utamaku adalah menjalin hubungan baik denganmu. Membantumu untuk membunuh ayah biadab seperti itu adalah cara yang aku pikir bisa menjadi awal pertemanan kita. Ternyata, ada cara sederhana yang lebih efektif.”

Mengajak untuk berjabat tangan. Tidak ada ekspresi apa pun di wajah laki-laki berjas itu. Tawaran semacam ini tidak akan datang dua kali. Terlalu waspada juga bukan merupakan tindakan yang baik. Terlebih, kesepakatan dibuat oleh orang yang mengetahui keberadaan Moz. Harusnya setiap kata-katanya bisa dipercaya.

Kedua tangan kanan saling menjabat. Mengayun sejenak sebelum akhirnya pihak pembuat kesepakatan mendekatkan wajah tanpa melepaskan genggaman.

“Jika kau berubah pikiran dan berniat untuk membunuh ayahmu. Hubungi aku. Aku bisa membereskan kekacauan yang kau buat dengan mudah.”

Genggaman tangan terlepas. Sebuah kartu nama sudah bersemayam di muka telapak tangan pihak penerima kesepakatan. Tertera nama dan nomor ponsel.

“OPMA? Apa itu tempatmu bekerja?”

Menoleh kembali, namun orang yang diajak bicara sudah tidak ada.

***

Joseph bangun tidur seperti biasa. Dihantui oleh mimpi-mimpi yang silih berganti. Melakukan sedikit olahraga untuk menyegarkan tubuh. Sarapan dengan kopi dan sebatang cokelat. Menjalani ritual penyegaran diri yang berikutnya. Mandi dan menggunakan pakaian sesuai selera. Mengambil semua hal yang perlu dibawa, keluar dari apartemen, dan siap menjalani hari.

Masih belum ada respon. Sejak semalam sampai detik ini Moz tidak muncul. Ucapan Clarine semalam seakan telah membuatnya bungkam. Joseph juga tidak bisa menekannya untuk memberikan penjelasan, karena itu hanya akan membuat Moz semakin tidak mau keluar. Pengetahuan Moz mengenai nama-nama dan kemampuan Djinn sangat berguna, jadi mempertahankan hubungan baik mereka berdua jelas sesuatu yang wajib dilakukan. Demi keberlangsungan tugas.

Sampai di lobi dengan menggunakan lift. Hari ini Joseph ingin berjalan kaki sampai ke stasiun. Berjalan kaki membantunya untuk berpikir dan menenangkan diri. Jika terus menggunakan Oust, lama-kelamaan kakinya bisa kena rematik karena jarang digunakan berjalan.

“Joseph?”

Langkah kaki terhenti. Tatapan segera tertuju pada arah suara. Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun berdiri di hadapan meja resepsionis. Rambut hitam pendek dan berpakaian seperti para asisten di OPMA. Joseph tidak mengenali siapa laki-laki yang menyapanya itu.

“Ah, benar, kau Joseph.”

Laki-laki itu berjalan menghampiri. Berhenti di hadapan Joseph dan mengulurkan tangan kanannya ke depan. Senyuman yang lebar dan terlihat energik. Hal yang jarang ditemui pada laki-laki seusianya. Menurut prediksi Joseph, laki-laki itu berumur empat puluh lima tahun.

“Aku Mahendra Bima. Panggil saja aku Pak Bim atau Mas Bim juga boleh. Aku juga sama sepertimu. Satpam penjaga perdamaian antara dua dunia.”

Menjabat tangan sesuai norma yang berlaku. Setelah bekerja dua minggu lebih akhirnya Joseph bertemu dengan salah satu seniornya selain Clarine. Kesan pertama yang cukup baik, karena tidak perlu melakukan pertahanan diri. Tidak seperti saat bertemu dengan Clarine di kamar serba hitamnya.

“Salam kenal, Mas Bim. Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu.”

“Ah, tidak perlu sampai seperti itu.”

Jabatan tangan terlepas. Joseph meluruskan kedua tangannya ke bawah dan Bima memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana.

“Sedang apa di sini, Mas Bim? Ada pekerjaan?”

“Aku sengaja datang ke sini untuk menyapamu. Sebagai yang paling senior di antara yang lain, sudah sepatutnya aku menyapamu lebih dahulu. Maaf, baru bisa menemuimu sekarang. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan.”

“Bukan masalah. Pekerjaanmu jelas lebih penting dari sekedar menyapaku di sini. Justru aku lah selaku yang paling muda yang sepatutnya menemuimu.”

Tawa kecil dibalas dengan keheningan tanpa senyuman. Bima sudah tahu kalau juniornya itu tidak pernah mengeluarkan ekspresi karena masa lalu yang dialaminya. Semua catatan tentangnya sudah dia baca sejak hari pertama.

“Kau pasti ingin pergi menjalankan tugas, bukan? Bagaimana jika berjalan bersama sambil berbincang?”

Joseph menganggukkan kepala. Sesuatu yang tidak bisa ditolak. Lagi pula, ajakan itu tidak mengganggu waktu bekerjanya sama sekali.

Berjalan menelusuri trotoar. Sinar matahari pagi terasa hangat. Gumpalan awan yang besar berpisah dengan jarak-jarak yang cukup dekat. Kemungkinan sore hari akan turun hujan.

“Apa saja yang terjadi selama dua minggu ini, Joseph? Sudah bertemu dengan makhluk astral yang sulit dikalahkan?”

“Dua mingguku mungkin berjalan sama persis seperti dua minggu milikmu. Hari-hari dipenuhi dengan cairan hitam dan potongan tubuh makhluk astral. Namun, sejauh ini aku belum bertemu dengan lawan yang sulit. Tetapi, kalau Yebel milik Clarine masuk hitungan, jawabannya akan berbeda.”

“Hahahaha! Kau merasakannya juga ternyata. Aku tahu persis rasanya seperti apa. Untung saja mulut dan tangan kananku masih bisa bergerak. Aku mengangkat jari manisku dan mengucapkan ‘Gunma’, sehingga bisa terlepas.”

Serangan yang sama, namun kondisinya berbeda. Joseph tidak bisa bergerak sama sekali, sementara Bima bisa melepaskan diri. Itu berarti Joseph sama sekali tidak boleh meremehkan laki-laki yang berjalan di sebelahnya. Bisa jadi setara dengannya saat melepaskan lima sampai enam gelang. Karena Moz masih bungkam, tidak ada yang menjelaskan padanya apa itu Gunma.

“Kenapa Clarine menyerangmu, Mas Bim?”

“Aku hanya melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan saat ini. Menyapa pemula yang baru bergabung, berbincang dengannya, dan memberikan saran jika memang ditanyakan. Sayang, Clarine membalasnya dengan cara yang tidak ramah. Sejak saat itu, aku hanya bertemu dengannya jika memang ada hal yang benar-benar penting atau Andrian yang menyuruhku. Kabarnya, Clarine juga melakukan hal semacam itu kepada yang lain. Tidak heran melihatnya tidak punya teman.”

Rasa kagum seketika tertuju pada Agus. Di saat semua sudah anti-Clarine, Agus masih setia menemani. Joseph juga akhirnya menyadari kenapa Clarine memilih untuk datang padanya untuk bercerita, bukan anggota lain yang sudah lebih dahulu dikenalnya. Karena pada dasarnya, Clarine memang tidak punya teman.

Pembicaraan terus berlangsung dengan topik jenis-jenis makhluk astral yang selama dua minggu ditemui Joseph. Sebagian besar dari mereka juga pernah dihadapi oleh Bima, sehingga perbincangan itu berjalan cukup seru karena keduanya saling berbagi metode cara melawan yang digunakan. Sampai perbincangan akhirnya tiba di titik yang penting.

“Aku dengar kau menerima pekerjaan ini untuk mencari tujuan dan makna dari kehidupanmu. Apa itu benar?”

“Iya, kau benar.”

“Apa kau sudah menemukannya?”

“Aku mulai bisa melihatnya, meski masih samar-samar. Lebih baik daripada tidak bisa melihatnya sama sekali.”

Ekspresi datar yang sangat merepotkan. Bima sulit memahami bagaimana perasaan Joseph yang sebenarnya. Mulutnya memancarkan kebahagiaan, sementara wajahnya menunjukkan kesuraman. Meskipun begitu, dia tetap ikut senang jika memang juniornya itu sudah mulai bisa menggapai tujuannya.

“Bagaimana denganmu, Mas Bim? Apa alasanmu menerima pekerjaan ini?”

“Alasannya sederhana. Aku menjalankannya demi uang. Dengan uang aku bisa melakukan banyak hal di dunia ini. Tidak perlu kelaparan ataupun kesulitan menyembuhkan diri saat sakit. Uang segalanya bagiku.”

Terlihat murung dan kesal di saat yang sama. Joseph tidak tahu apa yang membuat Bima terlihat serakah seperti itu, tetapi yang jelas penyebabnya bukanlah sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah. Kalau saja Moz ada, dia bisa meminjam kemampuannya untuk melihat data diri Bima secara lengkap.

Stasiun sudah di depan mata. Perbincangan terpaksa harus diakhiri, meski sebenarnya ada hal lain yang ingin Joseph tanyakan.

Bima memosisikan diri berhadapan dengan Joseph. Keduanya saling berjabat tangan untuk menutup pertemuan singkat di antara mereka.

“Senang bertemu denganmu, Joseph. Kapan-kapan kita berbincang lagi.”

“Aku pun merasakan hal yang sama. Terima kasih sudah mengunjungiku, Mas Bim. Lain kali, biar aku saja yang mendatangimu.”

“Baiklah. Aku menunggu kedatanganmu.”

Jabat tangan terlepas. Senyuman bertemu dengan anggukkan kepala tanpa ekspresi. Terlihat keduanya sama-sama menaruh rasa hormat satu sama lain.

“Joseph!”

Suara Safira terdengar dari sisi kiri. Berlari kecil menghampirinya. Leher Joseph otomatis menoleh. Tangannya juga bergerak sendiri menunjuk Bima yang berdiri di hadapannya.

“Aku baru saja bertemu dengan Mas Bim.”

Ketika menoleh kembali ke depan, sosok Bima sudah tidak ada. Menghilang begitu saja. Joseph menurunkan kembali tangannya. Akhirnya memahami kenapa hawa keberadaan Bima sama sekali tidak terasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro