25. Memberi Ganjaran dengan Gaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiba lebih cepat dari yang diduga. Berjalan kaki dari tempat tinggal Safira sampai depan gedung apartemen miliknya. Bagi Joseph, berjalan kaki di tengah keramaian dan hiruk-pikuk manusia dapat membantunya berpikir lebih jernih. Namun, sudah berjalan cukup jauh, dia masih belum bisa berhenti memikirkan kejadian membingungkan yang belakangan ini memenuhi kepala.

“Aku masih ingin berjalan sebentar lagi. Aku naik menggunakan tangga saja.”

Mempesulit diri sendiri bukan jalan yang biasanya orang lain pilih. Rasa bingung di kepala memaksa Joseph untuk melakukannya. Lantai demi lantai dinaiki, tidak ada satu pun orang yang ditemui. Namun, jika lututnya bisa bicara mungkin keadaan sepi itu bisa terasa sedikit lebih ramai. Unjuk rasa menuntut teknik Oust digunakan atau melepaskan setidaknya satu gelang, karena mereka sudah kelelahan.

Sepi telah berakhir. Satu lantai di bawah apartemen Joseph terdengar suara isak tangis. Terdengar sangat sedih layaknya seorang yang terkena musibah berat. Jika orang biasa yang mendengarnya pasti sudah lari menuruni tangga sampai ke lantai satu kembali, karena merasa adanya keberadaan makhluk astral.

Satu-satunya pilihan yang Joseph punya adalah keluar dari tangga lantai tempatnya berada dan naik elevator dari sana. Kalau tetap naik, rasa tidak enak akan muncul karena mengganggu privasi seseorang. Meskipun sebenarnya tempat tersebut merupakan tempat umum.

“Aku sudah tidak sanggup.”

Ucapan itu seketika menghentikan dorongan Joseph. Tangan kanannya melepaskan diri dari gagang pintu dan langkah kakinya tanpa sadar berjalan menghampiri asal suara. Secara pribadi memang membencinya, tetapi secara sosial merasa tidak bisa diam saja. Bagaimanapun juga dia sempat ikut campur ke dalam permasalahan keluarga si pemilik suara.

Menangis tertunduk. Menyandarkan kepala pada jembatan dari kedua tangan yang menghubungkan kedua lutut. Keberadaan Joseph yang tengah berpijak pada dua anak tangga di bawahnya, sama sekali tidak disadari. Menangis sepeti telah menjadi kesibukkan perempuan itu saat ini.

“Apa yang membuatmu merasa tidak sanggup lagi, Retha?”

Margaretha sontak menegakkan kepala. Menatap ke arah laki-laki yang baru saja melayangkan pertanyaan.

“Joseph?”

Karena terlalu terkejut, Margaretha terburu-buru menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Dia menundukkan kepala karena tidak mau wajahnya sampai terlihat. Selain malu, masih ada rasa canggung di antara mereka semenjak kejadian beberapa waktu lalu. Merasa sudah tidak punya muka lagi di hadapan Joseph.

“Aku tidak apa-apa, Joseph. Tidak perlu mengkhawatirkanku.”

Tidak pergi sesuai dengan yang Margaretha inginkan. Joseph justru duduk di sampingnya, berniat untuk sekedar menemani ataupun menjadi teman bicara jika diperlukan. Dia berpikir mungkin dengan mendengar masalah orang lain, pikirannya menjadi teralihkan untuk sementara waktu.

“Aku tahu kau melakukan hal itu padaku bukan atas dasar cinta. Kau melakukannya karena ingin diperhatikan.”

“Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”

“Perempuan yang menyayangi anaknya tidak akan memalingkan cintanya sedikit pun untuk orang lain. Rasa cintanya hanya terpusat pada keluarga kecilnya. Tidak ada lagi ruang yang cukup untuk laki-laki lain.”

Margaretha tidak bisa membantah dan tidak bisa juga mengiyakan. Mengonfirmasi tebakan Joseph adalah sesuatu yang benar bisa membuatnya kembali menangis tersedu-sedu. Hal yang tentu sangat dihindarinya.

Terlalu jelas terlihat. Joseph sadar saat ini Margaretha sedang menahan kesedihan, karena tidak mau terlihat lemah di mata orang lain. Untuk itu, dia punya cara ampuh untuk membuatnya bicara. Berbekal dari serial drama yang secara acak ditontonnya di televisi saat terbangun tengah malam atau mencari cara untuk membuat matanya terlelap.

“Aku sudah memaafkanmu perihal kejadian waktu itu, jadi jangan terlalu memikirkannya. Aku sendiri juga merasa bersalah karena sudah menarikmu masuk ke dalam apartemenku hanya untuk mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu. Dari dalam lubuk hati, aku minta maaf.”

Tidak mungkin menjelaskan kalau Moz lah yang menarik Margaretha masuk. Karena secara fisik itu dirinya, Joseph hanya bisa mengakui kesalahan secara utuh.

Melirik sejenak. Ekspresi wajah datar dan tatapan serius. Margaretha bisa merasakan ketulusan dari setiap kata yang Joseph ucapkan. Membuatnya merasa sedikit lebih baik, meski belum bisa mengurangi kesedihannya.

“Aku juga minta maaf soal kelakukanku saat itu. Tidak seharusnya aku berperilaku layaknya perempuan murahan yang bersedia memberikan tubuhnya untuk laki-laki mana pun yang dia temui. Di hari itu, aku benar-benar sangat kesal dan tidak tahu harus melampiaskannya ke mana. Aku sudah olahraga untuk menguras energi, namun rasa kesalnya tidak hilang sedikit pun. Itu sebabnya, aku datang menemuimu. Sekali lagi aku minta maaf.”

Merasa sangat lega. Meski tahu sudah dimaafkan, Margaretha merasa tetap harus minta maaf kepada Joseph. Satu rasa mengganjal di hatinya kini telah hilang.

Tahap pertama berjalan baik. Perbincangan mulai berjalan ke arah yang Joseph inginkan. Perasaan yang mengganjal di hati perlu dikeluarkan satu-persatu. Tidak bisa dikeluarkan seluruhnya bersamaan. Dimulai dari hal yang berhubungan dengan mereka berdua adalah pembuka yang pas.

Joseph mendekatkan tangan kirinya ke hadapan Margaretha dan mengangkat jari kelingkingnya. Hal itu tentu saja direspon oleh Margaretha dengan kebingungan.

“Aku bersedia mendengarkan dan berjanji tidak akan membawanya keluar dari tangga darurat ini. Mulutku terkunci rapat. Anggap saja aku sedang menjalin hubungan dari awal lagi denganmu sebagai seorang tetangga yang baik.”

Tatapan saling bertemu. Senyuman tipis tergambar di wajah Margaretha seperti setangkai bunga di tengah padang rumput. Jejak-jejak air mata yang menghiasi seakan tidak lebih penting dari senyuman itu.

Meski Margaretha sedikit ragu pada awalnya, jari kelingking mereka akhirnya saling mengaitkan. Kontrak persahabatan antar tetangga baru saja tercipta. Joseph akhirnya merasa menonton serial drama ternyata ada manfaatnya.

Setelah melepaskan jari kelingking, Margaretha tertunduk dan meneteskan air mata kembali. Karena merasa sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi, air mata keluar seenaknya tanpa berunding. Mau menahannya pun sudah tidak sanggup dilakukan.

“Suamiku berselingkuh dengan teman kantornya sejak dua tahun yang lalu.”

Tepat sesuai dugaan. Perempuan yang sangat menyayangi anaknya tidak mungkin punya pikiran untuk berselingkuh, kalau hatinya tidak disakiti terlebih dahulu. Meskipun secara logika tindakan balas dendamnya juga tidak bisa dibenarkan.

“Aku mengetahuinya setelah enam bulan mereka berhubungan. Aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya saat itu. Aku seperti sudah tidak memuaskan lagi di matanya. Aku tidak disentuh sama sekali olehnya selama berbulan-bulan. Dengan alasan dia lelah dengan pekerjaannya. Awalnya aku memaklumi, namun keanehan demi keanehan aku rasakan.

“Aku melihat pesan dari perempuan lain di ponselnya. Mereka terlihat sangat mesra, tidak seperti teman kerja pada umumnya. Kemudian, aku menerima keberadaan kartu ATM lain yang tidak pernah aku lihat. Saat aku bertanya tentang pesan dan kartu itu, dia menjawab kalau mereka hanya teman kerja dan kartunya digunakan untuk keperluan kantor. 

“Aku mencoba percaya, namun tidak bisa sepenuhnya percaya dengannya. Sahabatku menyarankan membuat skenario untuk mengetes apa perkataannya benar atau tidak. Aku membawa pergi Gareth ke tempat orang tuaku selama akhir pekan. Menitipkannya pada orang tuaku, sementara aku mengikuti kegiatan suamiku. Dan hatiku benar-benar terasa sangat sakit saat melihat mereka menghabiskan waktu seharian bermesraan layaknya sepasang kekasih.”

Menangis kembali. Membuat suara isak yang berulang. Terlihat jelas Margaretha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis terlebih dahulu. Joseph membantu menenangkan dengan menepuk pelan pundaknya beberapa kali.

“Aku bingung harus bagaimana. Membicarakan perselingkuhan itu bisa membuat kami bertengkar dan pasti akan berdampak pada Gareth. Gareth juga sangat menyayangi ayahnya dan menganggap ayahnya adalah seorang pahlawan yang akan selalu melindunginya. Aku tidak bisa merenggut sosok pahlawan seperti itu darinya begitu saja. Gareth sudah pasti membenci ayahnya dan tidak akan mau bertemu dengannya lagi. Aku tidak mau menghancurkan masa depan anakku.

“Aku berusaha memperbaiki dengan caraku sendiri. Membuat penampilanku selalu menarik, olahraga teratur, menjaga wajahku agar tetap cantik, dan melakukan semua hal yang aku bisa untuk memikat suamiku. Namun, semua itu tidak ada gunanya. Aku melarikan diri dari masalah. Berhubungan dengan laki-laki lain. Membuatku merasa berharga dan lupa dengan masalah yang menimpa keluarga kecilku. Tetapi, aku tidak bohong kalau aku masih merasakan sakit saat menangkap basah dia berselingkuh.  Aku sudah lelah hidup seperti ini.”

Menangis sejadi-jadinya. Tidak bisa menahan lagi kesedihan yang sejak tadi dibendung. Rasa sakit yang begitu menyesakkan. Tangan kanan Margaretha terus memukul-mukul dada, namun rasa sakitnya tidak hilang.

Joseph tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Di satu sisi Margaretha tidak mau menghancurkan masa depan anak tercintanya, namun di sisi lain rasa sakit yang menerpa sudah tidak bisa lagi ditahan olehnya. Terlebih lagi, tidak mudah untuk terus berpura-pura tidak mengetahui perselingkuhan suaminya.

“Aku tidak punya pengalaman perihal pernikahan. Jadi, tidak bisa memberi saran padamu mengenai apa yang sebaiknya dipilih. Namun, jika memang seseorang sudah menyakitimu secara terus-menerus, untuk apa terus berada di sisinya? Daripada membuang waktumu dengan terus berpura-pura, kenapa tidak menghabiskan waktumu untuk berusaha menjalani kehidupan hanya bersama dengan Gareth? Gareth juga pasti tidak mau melihat ibunya terus-menerus disakiti seperti ini. Aku yakin perempuan kuat sepertimu mampu bertahan dari kerasnya dunia.”

Tangisan mereda. Menganggukkan kepala dengan tersenyum tipis. Margaretha sedikit tertawa melihat Joseph mengepalkan tangan bermaksud memberikan semangat untuknya. Cukup lucu melihat orang tanpa ekspresi memberikan melakukan hal itu.

“Terima kasih, Joseph.”

“Sama-sama. Sudah merasa lebih baik setelah berbagi?”

“Sudah. Rasa sesak di dadaku sudah tidak lagi terasa. Beban di kepalaku juga terasa lebih ringan sekarang.”

Komunikasi dapat menjadi obat ampuh untuk menghilangkan beban. Joseph memahami hal itu, karena dirinya sendiri saat ini terjebak dalam beban yang cukup berat. Moz yang satu-satunya bisa diajak berbagi belum menunjukkan diri.

“Aku ingin kembali ke apartemenku, Retha. Kau masih mau di sini?”

“Iya, aku masih mau di sini sebentar lagi. Kau kembali saja ke apartemenmu, aku tidak apa-apa di sini sendiri.”

“Baiklah kalau begitu. Aku permisi.”

Berjalan pergi setelah mendapatkan respon anggukkan kepala dengan tersenyum. Joseph merasa bebannya berkurang sedikit setelah mendengarkan masalah orang lain. Membuatnya teralihkan sejenak.

Memutar kunci dengan tangan kiri dan menggenggam gagang pintu dengan tangan kanan. Baru mendorong sedikit pintu apartemen, Joseph dikejutkan dengan suara pintu terbuka dari arah belakang.

“Ah, akhirnya bertemu juga dengan penghuni baru yang tinggal di seberang. Aku sudah mengetahuimu dari Retha dan Gareth, namun belum pernah bertemu langsung denganmu.”

Pintu kembali ditutup. Badan Joseph otomatis berputar seratus delapan puluh derajat. Menghadap ke arah laki-laki yang baru saja mengatakan sesuatu padanya. Datang menghampiri dan mengajaknya untuk berjabat tangan.

“Aku Gerry, suaminya Retha sekaligus ayahnya Gareth.”

“Kau yakin ingin berjabat tangan denganku?”

“Hmm? Apa maksudmu? Bukankah sudah sepantasnya untuk berjabat tangan untuk berkenelan dengan seseorang?”

“Baiklah. Kau yang minta.”

Berjabat tangan sesuai permintaan. Ekspresi wajah Gerry terlihat menahan sakit. Baru pertama kali dia merasakan jabat tangan sekuat ini.

“Kenapa? Wajahmu terlihat kesakitan. Aku hanya menjabat tanganmu. Tidak meremasnya.”

"Aku tidak tahu apa ini masih bisa disebut jabat tangan atau tidak. Bisa kau lepaskan? Apa masalahmu sampai melakukan hal ini padaku?”

Joseph tidak bisa mengancam dengan kekerasan atau kata-kata. Hal itu bisa membuat dugaan bahwa dirinya memiliki hubungan spesial dengan Margaretha. Untuk memberikan ganjaran pada laki-laki menjijikkan ini harus menggunakan cara yang tidak biasa.

“Endor.”

Kornea mata berubah menjadi putih dan hitam. Hanya perlu waktu beberapa detik untuk Joseph mengendalikan pikiran Gerry. Gestur kesakitan di beberapa bagian tubuh Gerry menghilang bersamaan dengan tatapannya yang berubah menjadi kosong.

Joseph melepaskan diri dari jabatan tangan dan mengusap bagian muka telapak tangan ke bagian pundak baju milik Gerry. Layaknya membersihkan tangannya dari kotoran.

“Kirim pesan singkat ke selingkuhanmu. Katakan kalau dia adalah perempuan paling jelek di dunia. Patung maneken punya badan yang ribuan kali lipat lebih indah dari badannya. Kau mencintainya karena merasa  kasihan melihat perempuan yang tidak laku sampai mendekati suami orang. Dan terakhir, ketika kau sudah sampai di kantor besok, bukalah semua pakaianmu dan sisakan pakaian dalam saja. Beritahu semua orang di sana kalau kau adalah laki-laki paling tampan di dunia dan sangat mencintai selingkuhanmu itu. Mengerti?”

Anggukkan kepala sudah diterima. Joseph melepaskan kemampuan Endor dan kesadaran Gerry pun kembali. Gerry mengambil ponsel dari dalam kantong celana dan berjalan masuk ke dalam apartemennya. 

“Aku permisi. Aku harus mengirim pesan.”

“Silahkan.”

Cukup puas. Akan sangat puas jika bisa melihat langsung apa yang Gerry lakukan besok. Sayangnya Joseph tidak bisa. Masuk ke dalam apartemen dan menyalakan lampu. Beban yang mulai tidak terasa seketika muncul kembali.

“Dari mana saja kau? Aku sudah lama menunggumu.”

Be Sick tengah berbaring di sofa sambil bersandar pada kedua tangannya yang menyilang di belakang kepala. Terlihat begitu santai seperti berada di rumah sendiri.

“Sedang apa kau di sini?”

“Aku hanya ingin berbincang denganmu.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro