13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hatiku berusaha menolakmu, mulutku berusaha berkata aku tidak menyukaimu. Tapi ... kenapa aku masih merasa cemburu?

«»«»«»

JULI menatap papan tulis yang berisi rumus-rumus fisika. Sesekali gadis itu memijat pelipisnya.

Sulit. Satu kata yang bisa menggambarkan pelajaran yang diajarkan. Di sini materi nya sangat berbeda, sepertinya Juli tidak ada apa-apanya kalau berada di sini.

Gadis itu menatap sekelilingnya. Tidak ada yang memperhatikan papan tulis dan mencatat sepertinya. Mereka asyik sendiri dengan ponsel dan ada beberapa yang mengobrol. Bu Berti pun tidak marah dengan hal itu. Mungkin karena sudah terbiasa.

Tiba-tiba Bu Berti memanggil nama Cleo. Gadis yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya pun maju ke depan dan mengerjakan soal di papan tulis dengan cepat.

Bukannya dia tidak memperhatikan ucapan guru? Lalu kenapa dia bisa menjawab? Juli saja yang sedari tadi fokus dengan rumus-rumus di depan tidak bisa menyelesaikan soal tersebut secepat itu.

"Bingung?" tanya seseorang dari sampingnya.

Juli menoleh, cewek yang ia ketahui bernama Sri itu menatapnya, "iya."

"Mereka di sini itu emang pinter-pinter banget, cuma denger sepintas doang bisa jawab soal di papan," kata Sri.

"Aku kira mereka nggak pinter, soalnya mereka males buat PR," ujar Juli.

"Jarang buat PR bukan berarti bego. PR nggak mempengaruhi pinter atau ngga nya. Itu pemikiran mereka, jadi kalau ada PR pasti mereka nyuruh orang lain buat ngerjain," ujar Sri.

"Juli maju ke depan!" Seseorang memanggil ke depan. Dari suaranya Juli tau bahwa itu Bu Berti.

Juli bangkit dari duduknya dan mengambil spidol. Aduh gimana nih? batin Juli. Gadis itu gemetaran dan berkeringat dingin.

"Kenapa papannya cuma diliatin?" tanya Bu Berti.

Juli menunduk takut, "saya nggak bisa Buk," jawab Juli.

Bisik-bisik pun terdengar seisi ruang kelas itu.

"Cuma soal seperti ini saja kamu tidak bisa menjawab?" tanya Bu Berti. "Ya sudah sana kamu duduk, dan khusus untuk kamu, buat buku paket halaman 108," ujar Bu Berti.

"Baik Bu," jawab Juli. Gadis itu berjalan untuk kembali menuju tempat duduknya. Namun, Juli tersandung kaki seseorang yang membuat dirinya terjatuh.

"Ups! Sori nggak sengaja, abis lo jalan nggak liat-liat," kata Sarah merasa tak bersalah.

Juli meringis kesakitan. Lututnya terluka. Ingin rasanya Juli melawan, tapi entah kenapa ia selalu takut untuk melakukan itu. Ia takut semakin dibenci, ia takut banyak orang yang membencinya, ia terlalu mempunyai banyak ketakutan sehingga tidak berani untuk melawan.

Gadis itu berdiri dan kembali duduk, mengabaikan Sarah yang tengah tertawa bersama temannya.

«»«»«»

JAM tangan Juli menunjukkan pukul dua lebih dua puluh menit. Artinya dia sudah satu jam menunggu angkutan umum, tapi sayang sedari tadi tidak ada satu pun yang lewat.

Juli hendak menyetop taksi. Namun saat melihat uang di sakunya, ia mengurungkan niat. Kalau ia menaiki taksi, ia akan menghabiskan uang lima puluh ribu, dan sekarang uangnya tinggal tiga puluh ribu. Itu pun dia harus memakainya untuk beberapa hari kedepan.

Ini nih efek dua hari yang lalu membayar angkot pakai uang lima puluh ribu.

Juli mendengus. Pasrah adalah jalan satu-satunya. Ia berharap ada seseorang yang baik dan hendak mengantarkannya pulang.

Ah, Juli tak mau berhayal. Lebih baik ia jalan kaki saja mencari ojek.

Tiba-tiba terdengar suara motor gede yang berhenti di sampingnya.

"Juli, kamu pulang jalan kaki?" tanya Julio setelah membuat kaca helm nya.

"Iya nih kak, nggak ada angkot," jawab Juli.

"Di daerah sini emang jarang ada angkot, kamu mau pulang sama aku?" tawar Julio.

"Boleh kak?" tanya Juli dengan mata yang berbinar.

"Boleh kok," jawab Julio sambil mengacak rambut pendek Juli.

"Yey!" Dengan senang Juli naik ke motor Julio.

"Udah?" tanya Julio.

"Udah."

Motor Julio pun melaju. Di perjalanan mereka mengobrol, entah itu tentang alamat rumah Juli, atau yang lainnya. Yang pasti obrolan mereka berdua pasti mebuat keduanya tertawa lepas.

«»«»«»

"SAMPAI di sini aja?" tanya Julio.

"Iya, kak, lagian udah deket," jawab Juli.

"Oh, ya udah. Aku pergi dulu ya," ucap Julio sambil memakai kembali helm nya.

"Iya kak, makasi. Hati-hati ya!" ujar Juli.

Motor Julio pun melaju.

Sebenarnya tadi, Juli menyuruh Julio untuk menurunkannya di depan gang kecil, itu karena ia tidak mau Julio tahu bahwa ia adalah anak orang kaya, apalagi kalau Julio sampai tau dia sudah menikah dengan Julian. Bisa-bisa Julian mengamuk sejadi-jadinya.

Akhirnya, terpaksa deh Juli berjalan menuju rumahnya yang masih sejauh 8 meter dari sana.

Dengan napas yang ngos-ngosan Juli sampai di depan rumah dengan pagar yang cukup tinggi. Ini lah efek tidak pernah berolahraga, jadi berjalan sedikit saja sudah capek.

Gadis itu masuk ke rumah dan berjalan menuju kamarnya. Ia membuka pintu secara perlahan. Juli melihat Julian tengah duduk sambil di kasur sambil membaca buku. Ia menyenderkan punggungnya dan meluruskan kakinya.

Juli kira Julian akan bertanya kenapa Juli pulang lebih lama atau pertanyaan yang lainnya yang menunjukkan kecemasan. Tapi nyatanya, menoleh saja tidak.

Dengan kesal Juli membanting pintu tersebut dan berjalan menuju pintu kamarnya. Gadis itu masuk kamar dan membanting pintunya.

Setelah itu Julian yang sedari tadi fokus pada bukunya melirik pintu kamar Juli sejenak. Kenapa Juli pulang sama Julio? batinnya.

«»«»«»

DENGAN kesal Juli meremas kertas dengan tangannya untuk sekian kalinya. Sudah lebih dari satu jam, tapi tidak satu pun dari sepuluh soal di buku yang berhasil ia kerjakan.

"Uh, susah banget!" jerit Juli frustasi. Gadis itu membenturkan kepalanya pelan ke meja.

Tak ada solusi lain selain bertanya kepada Julian.

Juli keluar dari kamarnya dan mengintip Julian. Lelaki itu masih membaca buku. Sepertinya Julian tidak pernah bosan membaca. Sejak Juli pulang sekolah sampai sekarang pukul 20.00 malam, Julian masih betah dengan buku bacaannya yang sangat tebal.

"Julian!" panggil Juli.

Julian tak mendongak sedikit pun.

Juli berjalan mendekati Julian, gadis itu menarik tangan lelaki itu, "Julian," rengek Juli.

Merasa terganggu, Julian akhirnya mendongak.

Kalau gue minta tolong langusng, kayaknya dia bakal nolak deh, batin Juli.

"Ck, kenapa?" tanya Julian kesal saat Juli hanya bengong setelah mengganggunya.

"Gue laper," kata Juli.

"Emang tadi siang belum makan?" tanya Julian.

"Belum," jawab Juli cengengesan.

"Kenapa nggak bilang?" tanya Julian.

"Ketiduran terus lupa makan," jawab Juli.

Tumben Julian cerewet.

"Ck, ayo makan!" ajak Julian. Lelaki itu menutup bukunya dan menaruhnya di meja, lalu ia berjalan keluar kamar, Juli pun ikut membuntuti di belakang.

"Julian buat mie instan ya! Gue baru beli kemarin," pinta Juli.

"Nggak!"

"Ih, gue udah lama nggak makan itu," ujar Juli.

"Nggak sehat." Julian sibuk mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak dari kulkas.

"Ini aja!" ujar Juli sambil memberikan Julian plastik berisi dua buah mie instan.

Julian mengambil plastik tersebut membuat Juli tersenyum. Namun, beberapa saat kemudian senyum itu memudar saat mie instan yang baru ia beli kemarin dengan uang jajannya dimasukkan ke tempat sampah.

Yang ingin Juli lakukan saat ini adalah membunuh lelaki yang berada di hadapannya.

"Julian, kok dibuang? Kan gue baru--"

"Duduk!" perintah Julian.

Dengan sangat malas, Juli akhirnya duduk. Wajah gadis itu cemberut.

Beberapa menit kemudian, Julian membawa dua buah piring berisi spaghetti yang ia buat sendiri.

Menatap spaghetti itu, Juli tersenyum sumringah. Segera ia mengambil satu piring dari tangan Julian.

"Pelan-pelan," kata Julian.

Juli hanya cengengesan. Gadis itu pun segera mengambil sendok dan memakan spaghetti itu. "Makasi Julian," ujar Juli.

Julian tidak menjawab. Walaupun begitu Juli tak peduli, yang penting ia sudah berterimakasih.

"Jul," panggil Juli.

"Apa?"

"Gue tadi di kasi PR," kata Juli.

"Terus?"

"Susah banget," kata Juli.

"Bego," kata Julian.

"Ih, gue nggak bego, cuma ngga ngerti," kata Juli.

"Sama aja."

"Julian!" panggil Juli lagi.

"Ajarin ya!" pinta Juli.

"Nggak." Julian bangkit dari duduknya dan mencuci piringnya.

Buru-buru Juli menghabiskan sisa makanannya dan mengekori Julian.

"Ajarin ya!" pinta Juli.

Julian tak menjawab.

"Julian, ajarin!"

Julian yang telah selesai mencuci piring pun menaruh piring itu di tempatnya dan berbalik.

Julian sangat dekat dengan Juli.

"Besok pulang sekolah gue tunggu di rumah," ucap Julian.

Juli menatap Julian senang. Refleks Juli memeluk Julian. "Makasi!"

"Bisa lepas?" tanya Julian.

Juli pun langsung melepas pelukannya, "eh, maaf gue terlalu seneng tadi," kata Juli canggung.

Julian pergi begitu saja, meninggalkan Juli yang masih merutuki kebodohan dirinya.

Mereka tidak tahu bahwa ada salah satu dari mereka yang mulai merasakan sesuatu yang aneh saat berdekatan.

«»«»«»

Yuhu update lagi, jangan lupa vomment apalagi comment. Karena dengan dukungan kalian aku jadi semangat nulis cerita ini.

31 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro