-DUA PULUH-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Ketika maaf menjadi kata paling romantis menjelang perpisahan tanpa pertemuan yang tak pasti~

Langit kelabu di atas sana lama kelamaan semakin menghitam, sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Para pengantar jenazah pun perlahan meninggalkan tempat puluhan gundukan tanah itu berada. Hingga hanya tersisa empat orang berpakaian warna serupa–hitam masih betah berlama-lama di sana.

Suara tangisan pilu masih setia membersamai kepedihan yang menguar, tetapi sama sekali tak mengusik ketenangan seorang gadis yang masih memeluk nisan bertuliskan nama Armia Hana lengkap dengan tanggal lahir serta wafat. Nata tak berminat melepaskan nisan sang ibu. Ia belum puas mendekap jasad kaku wanita terhebat di keluarganya.

"Ibu ...,"lirihnya. Air mata bahkan tak mampu menjabarkan kesedihan hati. Maka dari itu, ia tidak pernah menangis semenjak sang ibu dibalut erat oleh kain kafan. Ia hanya bisa membisu menatap tanah basah di hadapannya.

Berbeda dengan Lia, perempuan yang biasanya menggunakan pemerah bibir saat keluar rumah, sekarang malah terlihat sangat pucat, tak pernah berhenti mengucurkan air mata. Sementara Adam beserta anggota termuda di keluarga mereka–Awan tak jauh berbeda, sama-sama menangis dalam diam, menikmati kesalahan dan kekhilafan yang meremukkan hati.

Adam masih bisa merasakan pelukan erat sang istri sebelum mengembuskan napas terakhir. Hangat nan menenangkan, tetapi berhasil menelusukkan pedih pada lubuk hati. Hanya kata maaf dibalut penyesalan mendalam menjadi kata romantis terakhir untuk sebuah perpisahan. Mengingat semua perilaku kejamnya, ia seketika merasa gagal menjadi penyokong keluarga yang baik.

Karena terlalu khawatir tentang penghasilan, anggota keluarga terabaikan. Terkadang kita menyibukkan diri untuk orang terkasih, tetapi tanpa komunikasi yang baik semua berujung penyesalan sarat akan pelajaran.

"Sekarang Ibu gak usah capek-capek mikirin kita semua. Tugas Ibu udah selesai, jangan risau lagi. Ada aku sama adik-adik yang bisa jagain, perhatiin Ayah. Ibu istirahat dengan tenang, ya ...." Setelah sekian lama tak bersuara, Lia berucap pelan seraya mengusap gundukan tanah di depannya. Ia mencoba tegar.

"Ibu pernah bilang sama aku, jika sewaktu-waktu Ibu pergi jangan dendam sama Ayah," lirih Nata.

Mendengar itu, Adam menatap anaknya dengan mata memerah, air mata masih mengucur deras. Lelaki itu lantas beristighfar, meminta maaf kepada pencipta. Ia sangat menyesali perbuatannya selama ini, tak terhitung dosa yang telah ia lakukan kepada Hana, sementara wanita itu masih memikirkan kemungkinan buah hati mereka membenci karena ulahnya.

Laki-laki itu mengeraskan rahang, kepalan tangan semakin menguat. Ia gagal melalui ujian hidup yang seharusnya dilalui bersama istri dengan penuh kesabaran. Ia lupa bahwa ada Tuhan pencipta bumi, sang pemberi rezeki yang tak mungkin tertukar. Sesak di dada terus menghimpit memaksa terus meratap.

"Ayah ...  Ayah minta maaf sama kalian. Ayah tidak akan marah kalau kalian benci Ayah," ujarnya sambil meremas tanah. Ia rela dan pasrah jika sekarang anak-anak tidak mau memaafkan dirinya. Akan tetapi, dugaan tersebut berhasil terpatahkan kala Lia, Nata, dan Awan malah memeluknya erat. Menyalurkan dukungan satu sama lain.

"Ibu tidak pernah ngajarin anaknya buat benci sama keluarga sendiri, Yah. Kita semua sayang sama Ayah sekalipun Ayah sering marah-marah kami bisa mengerti," tandas Lia.

Adam ingin berteriak, menyuarakkan kepedihan yang terus menjalar. Namun, pelukan hangat dari ketiga pelita keluarganya memberikan kekuatan untuk terus berjuang meski tanpa kekasih hati. Ini adalah kesempatan dari yang Maha Kuasa, ia tidak akan menyia-nyiakan lagi sebuah kebersamaan.

***
-Untuk Syanesa Arnata-

Anak Ibu yang paling cuek apa kabar? Jangan nangis mulu, ya. Ibu tidak benar-benar pergi selama kamu tidak pernah melupakan Ibu. Dalam surat ini ada beberapa pesan yang harus kamu tahu:

1. Jadilah kuat meski alam semesta berkonspirasi menjatuhkan dirimu. Ibu tahu kamu ini cepat patah semangat, tapi kabar baiknya kamu adalah tipe anak yang tak pernah terpuruk terlalu lama. Ibu ingin kamu menjadi inspirasi buat mereka yang tidak percaya akan kekuatan diri sendiri.

2. Jangan menetap bersama perih terlalu lama. Maaf, Ibu lancang baca jurnal kamu. Ibu tahu kamu suka sama seseorang bernama Tirta sejak lama, dan kabar baik mungkin juga buruk karena Ibu sudah bilang langsung ke orangnya saat di rumah sakit. Ibu cuma bisa berpesan, soal perasaan dalam diam kamu hanya memerlukan dua opsi. Pertama, mengungkapkan. Kedua, membuangnya. Setelah memilih, kamu harus bisa berjalan bersama pilihanmu, jangan jalan di tempat.

3. Jadilah pemandu sorak untuk keluarga. Jangan pernah meninggalkan rumah karena tak ada bahagia tanpa keluarga.

Ingat pesan Ibu dan jangan larut dalam kesedihan karena sebuah perpisahan. Kita perlu membungkus masa lalu dan menyimpannya rapat, bukan berarti kamu melupakan. Hanya saja hidup harus terus berlanjut.

–Kecup jauh dari Ibu.

Nata kembali meneteskan air mata. Entah berapa kali ia membaca surat dari ibunya. Sudah seminggu kepergian beliau, tetapi Nata belum bisa menata hati agar benar merelakan kepergian Hana.
Ia selalu bertanya-tanya bagaimana bisa mereka yang ditinggalkan setegar itu? Bagaimana mungkin mereka menjalani hidup tanpa kehadiran salah satu anggota keluarga? Gadis itu masih mencari jawaban, hingga ia mengingat ucapan Tirta kemarin sore.

"Tegar itu pilihan. Kalau udah milih berarti kita harus terima konsekuensi pilihan kita. Menjalani hari tanpa kehadiran seseorang yang selalu mengisi hari-hari emang gak segampang itu. Tapi, orang yang ninggalin pasti pernah berpesan untuk menghargai kesempatan, kita dipaksa berjalan dan menutup rapat kesedihan."

Gadis itu tak pernah berhenti mengingat kalimat tersebut. Nata menyandarkan punggung dan mendongak menatap bintang. Kertas lusuh dengan bercak air mata sebagai hiasan di genggaman tangan selalu menemani hari-harinya. Ia terenyuh tiap kali membaca pesan sang ibu, tetapi juga gemas karena ternyata Tirta sudah mengetahui perasaannya.

"Ibu jahat banget sama anak sendiri. Nata capek-capek sembunyi, Ibu malah santai aja ngungkapin isi hati, Nata," keluhnya.

Selama seminggu ini Tirta kerap kali menyambangi rumahnya. Entah bermain bersama Awan atau sekadar menghiburnya. Akan tetapi, ia sama sekali tak menggubris keberadaan cowok itu. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ia sudah memilih untuk membuang perasaan itu dan tak ingin berbalik lagi.

"Tapi, perlu lo tau kalau cinta bisa mati suri."

Kalimat Tirta beberapa hari lalu kembali terngiang di otak. Cinta mati suri? batinya seraya terkekeh. Ia tidak percaya walaupan perlahan-lahan rasa senang menelusuk dalam hati.

"Dia sukanya dulu, sekarang udah gak. Ya udah, baiknya gue emang mundur teratur," ucapnya sedikit tidak yakin.

Nata melirik jam di ponsel. Pukul 20.15. Ia masih  ingin merasakan sapuan angin malam dan berharap tak ada orang yang menganggu. Perlahan ia memejam, menyelami alam bawah sadar hingga tertidur di depan rumah. Tangannya masih memegang surat berharga tersebut sambil tersenyum.

"Tungguin Nata, Bu," gumamnya tanpa sadar.

Tirta berjalan sambil memainkan ponsel dalam keadaan horizontal. Terdengar bunyi sabetan pedang diiringi ocehan kecil karena kesal. Ia lagi-lagi kalah dari Awan, maka ia berinisiatif mendatangi orang yang dimaksud agar bisa leluasa memakinya. Saat cowok itu mendongak, ia langsung disuguhi oleh pemandangan seorang gadis tertidur tak jauh dari tempatnya berdiri.

Ia berdecak. "Nih, anak emang kebiasaan banget tidur di luar, kayak gelandangan aja," omel Tirta seperti berbisik. Ia duduk di sebelah Nata dan melupakan tujuan awalnya ke sini.

Ia memandang Nata dalam diam cukup lama. Seketika perkataan Hana saat di rumah sakit kembali mengambang.

"Tante pernah baca jurnalnya, Nata. Kayaknya dia suka sama kamu. Kalau bener namamu Tirta Derana, berarti itu kamu."

Tanpa sadar mulutnya melengkung ke atas. "Sejak kapan lo suka sama gue?" kekehnya di akhir kalimat.

"Gimana kalau tiba-tiba gue jadi suka lagi sama lo?" gumamnya. Tirta berdecak, berpindah hati tidak mungkin secepat itu.

Tirta menyandarkan punggung, di saat bersamaan ia menangkap tulisan dari kertas yang berada di genggaman tangan Nata. Ia semakin memperpendek jarak matanya dengan kertas tersebut. Ia kembali mengembangkan senyum kala melihat namanya tercantum di sana. Tirta kembali mengamati wajah Nata.

"Manis," lirihnya tanpa sadar. Ketika menyadari apa yang ia sebut barusan, Tirta buru-buru memukul mulut. Tiba-tiba jantungnya berdetak cepat. Tirta refleks memegang tepat ke arah pemompa darah tersebut. Matanya membulat sempurna.

Gue kenapa? Ia membatin seraya menampar pelan pipinya.

📘

The twelfth day ODOC wH
.
.
10 chapter lagi 😂

Btw ada Nata dan Tirta 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro