-SEMBILAN BELAS-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Para tetangga masih memadati salah satu pekarangan rumah yang tak begitu besar di kawasan perumahan mereka. Tak banyak yang datang, tetapi mampu mengukir senyum wanita paruh baya yang terduduk di teras lengkap bersama keluarga. Udara sore berembus tenang, sinar mentari pun perlahan berpindah tempat, pertanda tugas sang surya di ibu pertiwi hampir selesai.

Nata duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hana. Di samping kanan wanita berwajah pucat itu ada Adam–sang suami, dan di sebelah kiri ada Lia. Awan baru saja mendudukkan diri di sebelah gadis itu dengan sepiring salad buah disodorkan untuk Hana.

Wanita paruh baya tersebut tersenyum, menolak permintaan si bungsu. Ia tidak butuh makan, baginya melihat para tetangga melahap makanan yang tersedia ala prasmanan di pekarangan rumah sudah membuatnya kenyang. Ini yang ia inginkan, setelah menghabiskan waktu seharian bersama keluarga, Hana memutuskan membuat pesta kecil-kecilan. Sudah cukup lama ia tidak menyapa para tetangga.

"Cepat sembuh ya, Bu," ucap salah satu tetangga sembari menyodorkan parsel buah dan diterima oleh Lia.

Hana mengerutkan kening, ia baru melihat wanita yang kira-kira sepantaran dengannya itu di sekitar sini. Menengok kehadiran seorang cowok di belakang wanita asing tersebut, Hana kontan menyunggingkan senyum ramah dan tak lupa berucap terima kasih. Nata tak menggubris sekitaran rumah, gadis itu sibuk melamun sambil memainkan rumput. Ia bahkan tidak merasakan kedua orang tuanya sudah beranjak ke para tetangga diikuti oleh Lia.

"Wan, mabar, yuk."

"Males," tolak Awan.

Nata berhenti memainkan rumput. Tanpa mendongak menatap orang yang sudah mengambil tempat di depannya, Nata langsung bangkit, tak lupa meraih gitar adiknya yang disandarkan pada pilar teras. Nata memegang erat alat musik tersebut, membawanya keluar pekarangan dan duduk di atas kursi.

Awan tersenyum miring, matanya tak lepas memandang kakaknya. Gadis itu memetik senar gitar hingga menghasilkan melodi indah.

"Ada masalah apa lo sama dia? Seperti lagi marahan, kayak orang pacaran aja," ledek Awan hingga membuat Tirta tergelak.

Gak sopan banget sama orang yang lebih tua, gerutunya dalam hati.

Cowok bermata tajam itu memicing, atensinya juga mengarah pada Nata, meski sesekali terhalangi oleh tetangga karena berlalu lalang di depannya. Ia menggigit bibir, berusaha menyangkut pautkan sesuatu atas perubahan sikap Nata meskipun ia sudah tahu jawabannya. Akan tetapi, ia tidak ingin terlalu percaya jika belum memastikan kebenaran itu sendiri.

Satu orang lagi, ia hanya perlu satu orang lagi untuk memercayai sebuah kenyataan yang tak terduga. Namun, ia akan menanyakan hal itu nanti. Entah angin dari mana tiba-tiba sebuah tanya mengambang dalam benak dan cukup membuat hatinya tersayat.

"Emang ada orang yang move on cepet banget," gumam Tirta, tetapi terdengar oleh Awan.

"Ada, gue pelakunya. Gue cuma butuh seminggu buat pindah hati ke cewek cuek dan lucu di saat bersamaan karena tingkahnya," papar remaja berusia delapan belas tahun itu.

Tirta spontan menyentuh jidat adik Nata, memastikan apakah anak itu sehat atau tidak. Akan tetapi, ia tak menemukan tanda-tanda Awan sedang sakit. Tirta menggeleng seraya berdecak. Ia tak 'kan percaya begitu saja sebelum berada di posisi tersebut.

"Gak percaya? Awalnya gue juga kayak gitu. Tapi, gue percaya sama penulis takdir makhluk hidup." Awan menepuk pundak Tirta sekilas, lalu meninggalkan cowok itu. "Kalau udah ditinggalkan, pasrahin aja. Apalagi kalau mantan lo udah bahagia sama yang lain," lanjut Awan tanpa menghentikan langkahnya.

Tirta sontak berteriak sebelum anak itu semakin menjauh. "Tau dari mana lo soal gue?"

Awan berhenti melangkah dan menoleh ke arah Tirta. "Lo selalu kalah main game sama gue. Padahal lo gak pernah kayak gitu. Pasti jawabannya cuma satu, putus cinta," tebak Awan tepat sasaran, kemudian kembali melangkah, menghampiri ayah dan ibunya yang tengah berbincang bersama tetangga di dekat meja berisi macam-macam makanan.

Tirta mendengkus kasar. Bahkan remaja seukuran Awan pun tahu isi hatinya. Apakah ia terlihat sangat galau? Jika benar demikian, Tirta akan berusaha jauh lebih bahagia kali ini, mengalahkan Disya bersama selingkuhannya. Tirta meninju lantai, ia sungguh kesal kenapa harus Disya yang seperti itu? Mengapa bukan orang lain.

Cepat atau lambat ia pasti melupakan sang mantan, jika perlu ia berharap perkataan Awan terjadi padanya. Tirta memukul pelan jidatnya. Konyol. Setelah gadis itu meminta balikan dan berakhir penolakan, Disya malah bersama cowok itu lagi. Tak dapat dipercaya orang yang sangat dicintainya bertindak demikian. Mungkin memang rasa untuk Disya harus usai sampai di sini.

***
Malam ini Nata menyusuri lorong perumahan, hendak membeli makanan ringan seraya menatap langit penuh bintang di atas sana. Senyum cerah menghiasi wajah oval berbulu mata lentik tersebut. Keluarganya jauh lebih tenang sekarang karena sang ayah tak pernah marah-marah lagi, bahkan Adam jauh lebih perhatian kepada istrinya.

Mengingat Hana, Nata langsung merosotkan pundak sambil membuang napas panjang. Entah seberapa lama lagi ibunya akan bertahan tanpa dampingan dokter bersama kanker otak yang diderita. Ia tidak tahu seperti apa ia tanpa kehadiran sang ibu, selama ini Hana lah pemandu sorak untuk tetap semangat di kala yang lain mencoba menjatuhkannya.

Nata berhenti melangkah, netra cokelat itu mulai buram karena air mata. Di tengah kesedihan yang merajalela, ia tidak tahu harus berpegang pada siapa. Tidak mungkin berbagi rasa sakit bersama keluarga, mereka juga susah hati. Sahabat? Ivy dan Nela sedang memiliki kesibukan. Arsyad? Ia tidak ingin membebani cowok itu dengan endapan laranya.

Nata terkesiap saat tiba-tiba seseorang merangkulnya. Ia melirik orang itu sekilas, lantas melepaskan diri dari cowok itu. Ia pun berderap cepat, tak lupa memukul pelan sesuatu yang berdebar hebat dari dalam. Ia berkomat-kamit, mengeluarkan keluh kesah pada semilir angin. Ia berharap Tirta tidak mengikutinya, tetapi sayang, cowok itu sudah memegang pergelangan tangannya.

"Nat, sekali aja dengerin gue." Tirta memohon lagi. Tirta tidak bisa tidur lelap malam ini jika belum mengungkapkan sesuatu. Ia hanya membutuhkan telinga Nata untuk mendengar, ia tidak peduli jika nanti gadis itu tak percaya atas apa yang telah ia ungkapkan.

Nata melepas jeratan tangan Tirta. Ia sudah bosan mendengar permintaan serupa, secara langsung maupun melalui via daring. Namun, dorongan dari dalam menyuruhnya untuk diam, maka ia tetap pada posisinya kali ini. Beginilah jika kita tak dapat memenuhi permintaan hati, memendam menjadi satu-satunya solusi.

Tirta memegang jantungnya, lalu membuang napas. "Gue bilang ini karena hati gue yang nyuruh,"

"Cepetan bisa gak?" Nata mendelik.

Cowok itu memejam sekilas, kemudian mengangguk mantap. "Gue pernah suka sama lo selama setahun dan itu berawal dari mos sekolah. Selama itu pula gue selalu merhatiin lo di kelas, tapi gue gak berani bilang karena lo gak pernah peduli sama sekitar. Lo terlalu cuek untuk gue yang gak bernyali."

Bagaikan ditimbun bongkahan es, Nata membeku tak dapat berkutik. Gadis itu mengepalkan kedua tangan di samping tubuh. Putaran waktu seakan terhenti setelah pernyataan tersebut menguar di udara. Bahkan tak ada rasa sedih dan senang di hati. Ia masih terkejut dengan pengakuan yang sama sekali tidak dapat mengubah apa-apa di antara mereka.

"Gu-"

"Cukup, Ta! Gue gak pengen denger apa-apa lagi. Itu semua gak ada gunanya." Nata berucap pelan diiringi nada serak akibat menahan tangis.

"Lo gak tau gimana susahnya gue lupain lo. Waktu pacaran sama Disya pun kadang gue masih mikirin lo. Tahu kenapa? Gue butuh waktu lama bisa lupa dan akhirnya cinta sama pacar gue sendiri. Mati-matian gue lupain lo, Nat."

Lo juga gak tahu gimana susahnya gue menajuh dari lo, jerit Nata dalam hati.

"Terus apa gunanya lo ungkapin itu semua ke gue?"

Tirta membisu, tidak tahu harus menjawab apa. Namun, ada satu keyakinan mengapa ia mengungkapkan hal itu, selain karena ia tahu perasaan Nata padanya. "Gue pernah bunuh perasaan itu. Tapi, perlu lo tau kalau cinta bisa mati suri."

"Gue gak peduli," bisik Nata, kemudian kembali melangkah. Dalam keadaan sunyi, ponsel Nata berdering. Ia langsung meraih benda itu dari saku celana. Alisnya mengerut kala melihat nama Lia berpendar di sana.

Nata buru-buru mengangkat panggilan tersebut. "Kenapa, Kak?" Hening beberapa detik, hingga ponsel gadis itu terjatuh membentur batako.

Tirta spontan berlari ke arah Nata dan memungut ponsel gadis itu. "Kenapa, Nat?"

Nata tak menjawab, ia langsung berlari meninggalkan Tirta bersama pertanyaan dibiarkan menggantung di udara. Gadis itu belari kencang kembali ke rumah. Di dalam hati, ia terus merapalkan kata ibu berulang kali. Ia merasakan hatinya diterjang seribu belati. Baru saja ia bercerita banyak hal kepada ibunya, tetapi sekarang? Nata tak sanggup mengingat kalimat itu.

Nata terjerembab, rumahnya masih beberapa langkah lagi. Ia mencoba bangkit, tetapi kaki menolak. Akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Ia memukul kakikanya berulang kali sembari berseru untuk lari, tetapi tak ada pergerakan berarti.

"Ibu!" jeritnya pilu.

Tak berselang lama Tirta datang dan berjongkok di depannya hingga terpampang punggung cowok itu. "Naik!" suruh Tirta.

Nata bergeming, tak peduli. Ia terus saja memukul kakinya dengan keras, toh ia tidak merasakan apa-apa. Tungkai itu kebas. Gemas karena Nata tak menghiraukannya, Tirta terpaksa menggendong tubuh gadis itu di punggungnya, membiarkan Nata meronta minta dilepaskan, sampai akhirnya gadis itu hanya diam bersama tangis.

📘

The nineteenth day ODOC wH

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro