-DELAPAN BELAS-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Kamu harus tahu, terlalu lama memendam cinta juga bisa berubah menjadi benci.~

Nata keluar dari kamar kecil dengan wajah datar. Berkali-kali gadis itu mengedipkan mata, berusaha untuk tidak melirik ke arah Tirta. Namun, ia tidak sanggup dan malah menoleh ke arah cowok itu yang ternyata menatapnya. Nata buru-buru memalingkan muka sembari merutuki kesalahannya. Entah mengapa udara seketika memanas, membuat pipi gadis itu bersemu merah.

Tirta mengembangkan senyum ketika melihat Nata susah payah menyembunyikan wajah. Tirta semakin mendekat dan mengatur kursinya di samping ranjang Hana agar bisa selurus dengan posisi Nata. Wanita paruh baya itu tersenyum lebar melihat tingkah dua remaja di samping kiri dan kanannya.

Embusan napas kesal lolos dari bibir Nata sambil menatap tajam cowok berjaket bomber itu karena atensinya tidak berpindah ke arah lain. "Mata lo pengen dicolok?" ketus Nata.

Bukannya mengalihkan pandangan, Tirta malah melontarkan pertanyaan kepada Hana. "Selain cuek, Nata juga ketus, yah, Tante?"

Hana tertawa kecil seraya menatap Nata. Ia menyuruh gadis itu untuk menyandarkan punggungnya pada sandaran ranjang. Nata sigap melaksanakan permintaan sang ibu. Setelah menyandarkan bantal terlebih dahulu, ia lalu membantu Hana mengubah posisi menjadi duduk.

"Nata ini tidak terlalu cuek, kok, tapi kalau kamu diketusin terus lebih sering dicuekin berarti kamu berkesan buat anak Tante yang satu ini."

Nata mengaga tidak percaya, ia lantas menengok Hana dan mengode agar berhenti bicara. Jika saja Hana bukan ibunya, Nata sudah menyumpal mulut itu dengan selimut. Melihat Hana lagi-lagi ingin bersuara, Nata langsung berdeham keras, terkesan dipaksakan. Tirta mengembungkan pipi, menahan tawa akibat tingkah laku gadis itu.

"Jadi, gue berkesan buat lo, Nat?" Tirta menaik turunkan alisnya, menggoda gadis itu agar tetap menampakkan rona merah di pipi. Akan tetapi, dugaannya salah, Nata dengan cepat menetralkan semburat itu.

"Lo itu jengkelin!" hardik Nata dengan tatapan tajam.

"Masa?" Tirta memicingkan mata, berusaha menemukan gelagat aneh Nata.

Merasa ada yang tidak beres dari anaknya, Hana menepuk pelan punggung tangan Nata hingga perang mata tersebut berakhir tanpa pemenang. Gadis itu merasakan sapuan lembut tangan ibunya seakan memberi tanda agar tetap tenang. Yah, Nata memang tidak tenang semenjak mendapati kehadiran Tirta di sini.

Ia tidak ingin deklarasinya berakhir gagal. Sebenarnya ia sudah menduga bahwa melupakan Tirta berarti siap bertemu kembali, lantas ia harus melakukan apa agar benar-benar menghilang dari radar cowok itu. Haruskah ia menunggu perasaan cinta berubah jadi benci? Bisakah itu terjadi dengan mengandalkan waktu?

Nata mengejek dirinya sendiri. Mengandalkan waktu? Bahkan berulang kali melupakan Tirta juga mengandalkan waktu yang tak pendek. Hasilnya ia tetap tidak bisa melupakan cowok itu.

"Kamu ada masalah sama Nak Tirta?"

Suara lembut Hana bak petir di siang bolong. Nata sudah mengeluh di dalam hati, ibunya bertindak seperti penengah untuk menyelesaikan perkara yang Nata ciptakan sendiri, bahkan Tirta tidak tahu apa-apa. Namun, ia yakin cowok itu mengetahui perubahan sikapnya.

"Gak ada, kok, Bu. Udah, yah, Ibu tidur aja," paksa Nata sambil membantu Hana membaringkan diri, wanita paruh baya itu tidak menampik pemaksaan anaknya.

"Tirta juga udah pengen balik, Tan," ujar Tirta.

"Ya udah, makasih udah jengukin Ibu gue." Harusnya Hana yang menjawab, tetapi Nata menyambar lebih dulu. Gadis itu sudah tidak bisa bertahan lebih lama dengan keadaan jantung berdetak sangat kencang.

Hana mengangguk pelan, tubuhnya juga sudah minta diistirahatkan. "Makasih, yah, Nak Tirta udah jengukin Ibu,"

"Iya, Bu. Nanti saya jengukin lagi, sekalian sama Bunda." Setelah berucap demikian, Tirta menyalim tangan Hana, lantas bangkit dari duduknya. Sementara Nata merasakan tubuhnya membeku, perkataan Tirta sukses memompa desiran darah panas sampai ke hati.

"Nata bengong aja, anterin temen kamu, tuh."

Nata terkesiap, ia sontak menatap Tirta sekilas lalu bangkit dan berjalan lebih dulu keluar dari kamar. Tirta tersenyum sekilas ke arah Hana kemudian berderap keluar ruangan. Saat membuka pintu, ia melihat Nata bersandar di tembok kamar seraya menggoyang-goyangkan tangan kanannya.

"Gue tau nyokap lo sakit dari Awan. Ngomong-ngomong, adik lo sering ngajakin gue main game bareng gara-gara pernah liat gue main di depan rumah lo."

"Gue gak nanya," balas Nata tanpa repot-repot menengok Tirta.

Tirta menghela napas panjang. "Gue pengen ngomong sama lo."

"Gak sekarang, gue capek," tolak gadis itu kemudian kembali masuk ke dalam ruangan. Jika saja ibunya tak di sini, Nata pastikan akan menangis saat itu juga.

Tirta menatap pintu di depannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Entahlah, tetapi ada setitik hampa di dalam hati. Tirta berlalu dari sana disertai pikiran berkecamuk, memikirkan perubahan sikap Nata padanya.

Di dalam kamar berbau obat, Hana berucap lirih, "Nata, Ibu mau pulang aja." Suara Hana menyentak gadis itu dari lamunan. Nata buru-buru mendekati Hana yang sedang melihat langit kelabu di atas sana.

Gadis itu memeluk ibunya, ia menangis di sana. Rasa sesak, kecewa, jengkel bercampur jadi satu. Saat ini hanya tangisan bentuk pelampiasan paling cocok. Hana mendekap anaknya kuat-kuat. Ia mengerti mengapa Nata sangat bersedih. Selain masalah perasaan, kehilangan pun menjadi momok paling menyedihkan untuk ditangisi.

Hana tidak ingin bertanya apa pun, ia membiarkan anaknya menangis, membuang sesak. Hana juga ingin menikmati kebersamaan ini karena ia sadar hidupnya sudah di ambang batas.

"Ibu gak boleh pulang, di sini aja berobat," isak Nata, tidak berkeinginan melihat tangisan ibunya. Nata bisa merasakan dengan jelas getaran tubuh kurus dalam dekapannya.

"Udah, Nak. Ibu pulang aja, percuma berobat. Ibu cuma perlu keajaiban dari Allah dan doa-doa kalian. Kasian ayahmu harus pinjam uang karena Ibu."

Nata meremas kuat tangan ibunya, menyalurkan permohonan agar tidak berkata demikian. Jika kalian ingin mengetahui permintaan mustahil nan menyakitkan, maka jawabannya adalah meminta seseorang untuk tetap tinggal di saat ajal semakin dekat.

"Ibu kenapa ngomong gitu, Ibu pasti sembuh." Nata sudah tidak tahu harus menjadi kuat seperti apa lagi agar bisa menerima kenyataan pahit yang akan menyambangi keluarganya. Ia merasa semua tenaga sudah terkuras habis.

"Ibu mau habisin sisa hidup Ibu di rumah sama kalian, besok Ibu pulang aja, yah, Nak."

Kali ini Nata mendongak, menatap wajah sang ibu yang dibanjiri air mata. Ditatap wajah pucat itu, tangannya tak tinggal diam. Nata menyeka air mata Hana dengan lembut, lantas menenggelamkan kepala di ceruk leher wanita paruh baya itu.

***
Dingin angin malam tak mengusik seorang gadis yang terduduk di bawah sinar bulan bersama juru bicara hatinya. Tangan bersenjata bolpoin itu menghantam kertas putih dengan tinta biru. Jurnal biru setebal novel dua ratus halaman lebih sudah hampir kehabisan kertas kosong.

Senyum manis bercampur kecut mengiringi setiap jejak pena. Nata melepas bolpoin dan meletakkan benda ramping itu di tengah buku. Satu nama penghias seluruh lembar kertas di akhir curhatan hatinya. Siapa lagi jika bukan Tirta Derana.

"Sekitar dua puluh lembar lagi, Ta. Setelah itu, buku ini bakalan aku simpan rapat-rapat dan gak bakalan noleh ke lo lagi. Gue udah capek main sama rasa sayang yang selalu meremukkan hati."

Nata meremas buku di pangkuannya. Bayangan wajah cowok itu tiba-tiba muncul di atas kertas. Nata tersenyum mengejek, bagaimana bisa ia memendam perasaan sangat lama tanpa pernah berpaling ke orang lain? Lucu yang menyakitkan.

"Pukul dua belas lewat tiga puluh lima menit dan lo ada di sini, duduk gak pakai jaket. Pengen masuk angin?" Tirta langsung menjatuhkan tubuh di samping Nata. Mata cowok itu melirik buku di pangkuan Nata hingga senyum mencuat kala gadis itu cepat-cepat menutupnya.

"L-lo nga-ngapain di sini." Nata mencubit pahanya, menyalurkan kejengkelan akibat berbicara terbata-bata.

Ia takut cowok di sebelahnya melihat apa yang ia tulis sebab tidak menyadari kehadiran Tirta. Ia pun tidak menyangka Tirta akan keluyuran tengah malam. Tirta menyandarkan kepala di bahu Nata. Ia merasakan tubuh gadis itu langsung menegak.

"Untuk semua orang yang pernah terlalu percaya, ingatlah selalu untuk tidak menaruh kepala pada pundak seseorang. Mereka punya kaki dan sewaktu-waktu bisa pergi, atau yang maha kuasa yang akan membuat dia menghilang." Tirta meresapi setiap kata yang terlontar. Sedih menyeruak, tetapi ia memilih menampilkan senyum terbaiknya.

"Itu ungkapan bokap gue kalau liat anaknya kecewa karena seseorang, dan gue tau sekarang lo lagi kecewa," ujarnya seraya mengangkat kepala dari pundak Nata.

Gadis itu sontak berdiri, lantas berjalan memasuki rumahnya. Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu, ia mendengar teriakan Tirta.

"Gue pengen nanya sama lo. Kenapa lo ada di halte waktu itu? Gue tau lo gak ada tugas." Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga setelah sekian lama ingin diutarakan.

Dari dalam rumah, Nata berteriak, "Pengen aja," kesalnya sambil membanting pintu. Untung malam ini hanya ada Nata dan Awan di rumah, jadi gadis itu tidak perlu khawatir mengeluarkan suara kencang.

Tirta mengangguk pelan sembari berjalan menyusuri perumahan. Ia tidak bisa tidur, hatinya terlalu banyak tanya akan sesuatu dan logikanya enggan menjawab. Pertanyaan itu tak sulit, hanya saja ia ragu jika jawaban tersebut akan menarik hatinya ke masa lalu. Pencipta bisa dengan mudah membolak-balikkan hati hambanya.

📘

The eighteenth day ODOC wH
.
.
Bokap si Tirta biasa dikecewain kayaknya, ungkapannya ngena banget soalnya 🙄😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro