-TUJUH BELAS-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tirta memandang hampa ke arah rumah Nata. Setelah puas berdiam diri selama beberapa detik bersama hujan deras, cowok itu melangkah gontai memasuki halaman rumahnya. Bukannya langsung masuk dan berganti pakaian, Tirta malah mendudukkan diri di teras rumah, menatap derai hujan yang menjadi bising malam hari.

"Padahal gue pengen ngomong sesuatu sama dia," bisik Tirta pada terpaan angin. Cowok itu mengacak rambutnya frustrasi. Selain sikap Nata yang tiba-tiba berubah, permintaan Disya untuk kembali membuatnya lelah hati.

Antara kembali atau menata hati yang telah rapuh karena pengkhianatan. Andai saja Disya memutuskan hubungan mereka bukan karena memilih cowok lain, mungkin tadi siang Tirta sudah kembali bersama Disya. Namun, mulut hanya bisa berkata tidak.

"Aku mohon sama kamu, Ta. Kembali sama aku,"

"Putus sama kamu emang menyakitkan, Sya. Tapi, lebih sakit lagi kalau aku balik sama kamu. Kamu sendiri tahu kalau aku gak bisa nerima pengkhianatan sekecil apa pun,"

"Aku lakuin itu buat narik perhatian kamu, Ta. Kamu selalu sibuk sama dunia kampus kamu, sesekali doang kamu peduliin aku."

"Maaf, aku memang salah. Tapi, aku gak bisa balik kayak dulu lagi, Sya. Kita ke posisi awal sebagai adik dan kakak. Terima kasih selama tiga tahun ini, karena kamu juga aku berhasil alihin duniaku dari dia."

Tirta mendengkus sembari meluruskan kaki. Ia tidak memedulikan dinginnya angin yang menerpa tubuh berbalut pakaian basah. Alasan Disya berhasil membuatnya merenung. Pembelaan gadis itu memang benar. Beberapa bulan terakhir, Tirta memiliki tanggung jawab baru di kampus, ia bahkan sangat jarang mengabari Disya.

Namun, apakah dengan alasan seperti itu Disya harus mengambil langkah selingkuh? Tirta tersenyum kecut. Baginya, orang yang memilih pergi dan meminta kembali, tak ada tempat serupa seperti sedia kala. Tirta membuang napas pelan sembari bangkit. Tangannya meraih gagang pintu, tetapi tidak langsung menarik benda tersebut.

Seulas senyum tipis mengembang di wajah kala menatap rumah Nata. Jika saja tidak ada kejadian tadi, mungkin gadis itu akan terkejut mengenai satu fakta tentangnya bahwa ia pernah menaruh perasaan untuk Nata saat pertama kali bertemu di mos sekolah. Di lain kesempatan Tirta pasti akan menceritakan hal itu.

***
Nata berlari-lari kecil ke parkiran. Hari ini perjuangan di semester empat selesai sudah, sisa menunggu hasilnya saja. Gadis berkemeja hitam polos dipadu celana jins biru muda itu melirik arloji. Ketika mengetahui sudah pukul dua lewat lima belas menit, Nata semakin mempercepat larinya. Ia belum melaksanakan salat zuhur dan ibunya pasti sudah menunggu di rumah sakit. Ia juga perlu melakukan tes kesehatan hari ini, seperti saran dokter di klinik waktu itu.

Terik matahari semakin memunculkan bulir-bulir keringat di dahi Nata. Gadis itu gemas ketika melihat motornya dikelilingi banyak kendaraan roda dua. Nata bertindak gesit, tidak ada waktu untuk mengeluh. Baru melangkah tiga kali, seseorang menepuk bahunya.

"Gue tolongin," ucap Arsyad dan menyuruh Nata menunggu di luar barisan motor.

Nata tidak menampik bantuan Arsyad meskipun ia mau. Akan tetapi, percuma saja menolak karena cowok itu pasti bersikeras membantu. Rasa bersalah kembali hinggap di relung hatinya, mengingat bagaimana ia meminta Arsyad menjalin hubungan sebagai pelampiasan melupakan seseorang, tak lain adalah Tirta–sepupu Arsyad. Nata menatap lurus wajah cowok itu hingga matanya kembali memanas. Buru-buru ia melengos dan mendongak, takut air mata menerobos keluar.

"Nat, bengong aja. Mau balik, kan?" tegur Arsyad.

"Iya, makasih," jawab Nata apa adanya. Setelah itu, Arsyad mengangguk sembari menepuk pundak Nata sekilas, kemudian berlalu memasuki area gedung perkuliahan tanpa sepatah kata lagi.

Gadis itu menatap nanar punggung Arsyad hingga lenyap di belokan koridor utama kampus. Tak berselang lama, ponselnya berdering. Nata mengernyit kala melihat nama Arsyad terpatri di sana. Ia lantas menjawab panggilan tersebut.

"Gue tau lo merasa bersalah sama gue, tapi santai aja dong, Nat. Gue lagi buru-buru bentar lagi ujian, jadi gue tinggal,"

Kekehan dari seberang membuat Nata ikut menyunggingkan senyum tipis. "Maaf, Sat." Nata dapat mendengar jelas helaan napas Arsyad.

"Udah gue bilang santai aja, gue nelepon lo karena gak bisa ngomong lama-lama secara langsung. Takut kebablasan, mending teleponan sambil jalan mumpung ruangan gue lumayan jauh."

Bohong. Arsyad meremas ponselnya. Justru ia sengaja melarikan diri dari hadapan Nata sebab tidak ingin melihat wajah bersalah gadis itu. Sementara Nata tersenyum kecut mendengar alasan Arsyad.

"Makasih." Nata menunduk seraya menggosok hidungnya.

Arsyad tertawa sumbang. "Ingat, Nat. Gue selalu ada untuk lo. Kata bang Fiersa, jangan pernah kau merasa sendiri, tengoklah aku yang tak pernah pergi."

Arsyad berucap sambil bersenandung ala lagu Fiersa Besari, membuat Nata semakin melebarkan senyumnya.

"Udah, yah. Gue mau ujian sekarang."

Sambungan diputus sepihak. Nata memonyongkan bibir, padahal ia belum mengucapkan semangat untuk cowok itu. Entah kenapa ia merasa lapang sekarang meskipun masih terkurung sesak karena keegoisan serta keputusannya menjauhi Tirta. Yah, kali ini ia bersungguh-sungguh menjauhi cowok itu. Nata akan menjalani hari-harinya dengan tenang tanpa dirisaukan oleh perasaan sedih karena hanya bisa menjadi pengagum rahasia.

"Tapi, bukan berarti gue berhenti nulis tentang lo di jurnal gue, Ta. Gue bakalan habisin lembar kosong yang ada, setelah itu gak akan ada lagi ungkapan tambahan buat lo. Jurnal biru itu adalah juru bicara hati gue buat lo yang mungkin gak akan pernah lo tau."

***
Ternyata pemeriksaan kesehatan berlangsung cukup lama. Nata keluar dari ruang dokter setelah mendapat informasi kalau hasilnya akan keluar beberapa hari yang akan datang. Sekarang waktunya ke kamar rawat sang ibu.

Nata memasuki kamar rawat dan sudah tidak mendapati pasien lain di ruang itu. Hanya ada ibu, kakak dan seorang cowok. Itu bukan ayahnya, Nata memicingkan mata, mencoba mengenali punggung familier tersebut.

"Nata, kamu udah datang, Nak." Hana menyambut kedatangan anaknya dengan raut bahagia. Bersyukur karena ia masih diberi kesempatan untuk hidup hari ini. Wanita paruh baya itu ingin menghabiskan waktunya bersama keluarga.

"Sayang, ini Nak Tirta datang jenguk Ibu."

Tirta menoleh dan mendapati wajah Nata berubah menegang. Tirta tersenyum ke arah gadis itu dan hanya dibalas senyuman singkat. Ia masih tidak tahu apa yang membuat Nata seperti ini, pagi hari kemarin ia masih berbincang seperti biasa bersama Nata.

"Lo ... tau dari mana Ibu gue sakit?" Nata mengumpat di dalam hati. Jengkel karena tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

Cowok itu menampakkan senyum miring dengan lipatan tangan diletakkan di depan dada. "Tetangga, kok, gak tahu."

Lia dan Hana kompak tertawa, sangat kontras dengan Nata yang malah membuang muka. Suara tawa terhenti saat ponsel Lia berdering.

"Kayaknya Lia harus pergi sekarang, Bu. Dosen udah kasih informasi konsultasi tesis sekarang. Lia pamit, ya, Bu." Lia menyalim tangan Hana, lantas keluar dari ruang bercat putih itu.

Keadaan kembali hening. Nata memilih diam di samping ranjang Hana, menelungkupkan kepala di atas kasur. Hana mengusap kepala anaknya seraya tersenyum hangat.

"Jadi, kamu teman sekelas Nata pas sekolah dulu?" Hana beralih ke arah Tirta yang terlihat tenang di kursinya.

"Iya, Tante. Tiga tahun Tirta sekelas sama Nata," ungkapnya.

Nata membuang napas lelah. Darahnya berdesir hebat diiringi ritme jantung tak normal setiap kali melihat Tirta dan mendengar suara cowok itu. Kenapa Tirta selalu muncul di saat niatnya untuk melupakan benar-benar telah bulat? Bukan sekali atau dua kali, melainkan berkali-kali ia mencoba melupakan Tirta, cowok itu selalu saja muncul di sekitarnya. Nata bangkit dari duduknya, berjalan memasuki kamar kecil.

Tidak ada niat meladeni panggilan alam, ia hanya ingin meredam sesak serta menyembunyikan air mata yang sewaktu-waktu merembes keluar. Dari dalam kamar kecil, samar ia mendengar permintaan ibunya kepada Tirta.

"Jagain Nata, ya," pinta Hana diiringi lelehan cairan bening dari matanya.

Tirta menegang, tiba-tiba jantungnya berdetak tak karuan. "Ma-maksud, Tante?"

Hana tersenyum tipis dan menyuruh Tirta mendekatkan telinganya, hendak membisikkan sesuatu. Selang beberapa menit, Tirta termenung dalam keadaan jantung yang semakin menggila. Melihat itu, Hana tertawa kecil seraya menepuk pelan pundak Tirta berulang kali.

Nata berdecak, ia tidak berhasil mendengar perbincangan dua makhluk di luar sana. Karena penasaran, Nata memilih keluar. Saat ingin membuka pintu, tangan kanannya tiba-tiba kaku dan tak bisa digerakkan.

"Ck, gue tambah penasaran sama gejala-gejala ini," ringisnya.

📘

The seventeenth day ODOC wH
.
.
Ternyata oh ternyata 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro