-DUA PULUH DUA-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Akhir-akhir ini hobiku adalah memikirkanmu~

"Gimana, Ta, udah cocok gak gue sama Nata?"

Tirta memasang raut tak peduli saat Arsyad kembali merangkul Nata. Namun, ekspresi tersebut tak berlangsung lama kala gadis di depannya kembali melepas tangan Arsyad dengan wajah tidak suka. Seketika Tirta menyunggingkan senyum miring diikuti ketidaksukaan yang sedikit demi sedikit menghilang dari dalam hati.

Melihat respons Tirta, Arsyad berujar hingga menimbulkan tanya pada dua manusia sepantaran di dekatnya. "Gue mundur aja. Payung gak mungkin menang lawan jas hujan."

Saat Nata hampir bersuara, Tirta lantas berucap, takut jika gadis itu menanyakan hal tidak-tidak pada Arsyad dan cowok kurang kerjaan yang notabene adalah sepupunya malah mengungkap sesuatu yang masih menimbulkan bimbang pada pikiran.

"Dari mana lo? Dicariin sama nyokap gue malah ngilang gitu aja," dengkus Tirta seraya berkacak pinggang.

Yang ditanya tak langsung menjawab, melainkan membisiki Nata yang sedari tadi hanya diam. Tak lupa ia sedikit mengeraskan suara agar Tirta dapat mendengar perkataannya. "Ada yang lagi bimbang." Arsyad beralih menatap Tirta. Cowok itu sedang mengepalkan tangan karena jengkel.

"Gue dari beli makanan ringan pesanan adik lo," lanjutnya sembari mengangkat kantongan besar berisi berbagai jenis camilan, tak lupa menaik turunkan alis, bermaksud menyentil emosi cowok ber-jeans selutut di depannya.

"Bimbang?" gumam Nata, tetapi masih terdengar jelas oleh kedua cowok di sekitarnya.

Tirta meraup wajah frustrasi. Ingin sekali tangannya memberi bogem mentah, tetapi terhalang oleh kehadiran Nata. Entah mengapa ia emosi melihat Arsyad duduk berdampingan bersama seorang gadis yang ia sebut sahabat. Duduk bersebelahan dengan Nata adalah aktivitas yang hampir ia lakukan selama sebulan. Ada rasa tidak rela jika melihat cowok lain sekalipun sepupunya berdekatan dengan gadis itu.

"Gak usah dengerin si Sat. Dia suka ngelantur kalau ngomong," elak Tirta seraya menjatuhkan tubuh di sebelah kanan Nata.

Kini posisi gadis itu berada di tengah. Ia bingung antara menghindar atau tetap duduk di antara dua cowok berbeda penampilan itu. Nata hanya tahu bahwa jantungnya memompa darah lebih cepat kali ini, sudah pasti karena Tirta merangkulnya dan menatap Arsyad dengan tatapan tajam.

"Hati-hati, Nat. Bisa jadi dia suka sama lo, tapi gengsi buat ucapin," pungkas Arsyad, lalu bangkit dari posisinya. Ia memandang Nata dan Tirta secara bergantian. Sepersekian detik, senyum manis terpahat di wajah cowok itu meski terkesan terpaksa.

Ini adalah bukti ketulusan hati untuk seorang gadis yang tak akan pernah mencintainya. Ia melakukan ini semua untuk menyadarkan Tirta bahwa perasaan yang 'tlah terkubur lama bisa saja bangkit tanpa disadari. Arsyad pikir satu bulan merupakan waktu yang memungkinkan manusia untuk jatuh cinta karena terbiasa bersama. Maka dari itu, ia membuktikan perkiraannya malam ini, dan hasilnya Tirta berhasil masuk ke dalam perangkap. Cowok itu mulai memunculkan ketidaksukaan karena ia mendekati Nata.

Selain itu ia melakukan ini karena ingin melihat Nata bahagia bersama seseorang yang telah dicintainya selama bertahun-tahun. Ia tidak ingin melihat gadis itu tersiksa menahan rasa lebih lama. Arsyad tahu betul rasanya mencintai tanpa dicintai kembali, sungguh sangat tidak menyenangkan.

Tak ingin berlama-lama, Arsyad berderap lebar meninggalkan dua insan di sana. Tugasnya telah selesai, sekarang biarkan Tirta menyadari perasaan itu seiring berjalannya waktu, dan Arsyad akan mencari jalan lain untuk melupakan sosok Nata.

"Lo kenapa, sih!" Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan tidak suka. Nata tidak mau benteng pertahanan dirinya malah hancur begitu saja karena sebuah kemungkinan yang kini memaksa otak untuk berpikir keras, tetapi ia berulang kali menampik.

Tirta menggaruk tengkuk, tiba-tiba saja suasana menjadi canggung. Ia tidak tahu kenapa setiap kali berada di dekat gadis bermata sedikit sipit itu atmosfer seketika berubah kaku. Padahal ia selalu berusaha menghangatkan setiap pertemuan antara mereka.

"Nat, boleh gue tanya?" izinnya seperti berbisik di telinga Nata.

Gadis itu merasakan bulu tangannya meremang. Ia refleks menggeser tubuh, menciptakan jarak sekitar tiga jengkal dari Tirta. Entah pertanyaan apa lagi, tetapi ia berharap cowok itu tidak menanyakan prihal perasaannya.

"Nanya aja." Nata menjawab cuek seperti biasa.

Tirta meraih ransel Nata di belakangnya, lantas memeluk benda itu seperti bantal. Tak lupa  kepalanya juga di tumpukan pada ransel. Jujur, ia sendiri kaget mengapa melakukan ini. Ingin melepas benda tersebut, tetapi si empu malah terlihat biasa-biasa saja. Jadi, ia tetap meneruskan aksinya.

"Lo mau ke mana?" Harusnya bukan pertanyaan itu yang terlontar.

Nata mengernyit, lantas menoleh ke arah Tirta. "Kenapa lo nanya kayak gitu?" Seperti menyadari sesuatu, ia kontan menutup mata sembari melengos karena kesal pada diri sendiri. Jelas saja Tirta bertanya karena benda di pangkuan cowok itu. Meskipun isinya hanya beberapa buku dan pakaian dalam, tetapi tetap saja kehadiran tas di antara mereka menimbulkan tanya.

"Ke rumah nenek. Jangan cariin gue." Entah sudah keberapa kali Nata mengumpat di dalam hati. Mulutnya terlalu berinisiatif melontarkan kode agar Tirta mencarinya.

Gak bener! Kontrol mulut, Nat! Peringatnya berulang kali.

Cowok aries itu tergelak. "Percaya diri banget, ya, lo kalau gue bakal cari." Tirta menelengkan kepala, mentap Nata lurus ke dalam netra gadis itu. Tak butuh waktu lama, darahnya berdesir hebat, keadaan jantung berdetak tak karuan. Ia spontan membuang muka dan mencari objek lain untuk dilihat.

"Gak perlu tanya posisi lo di mana, gue bakal cari. Anggap aja ini permainan. Lo pergi, dan di saat gue nemuin lo di suatu tempat gue bakalan ungkapin perasaan gue ke lo," ujar Tirta dengan napas naik turun. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri prihal ia yang merasa gugup. Mungkin saja akibat dari ujarannya.

Hening. Nata tidak tahu harus mengatakan apa. Ia terlalu terkejut dengan semua ini. Gadis itu meremas ujung jaket yang dikenakan sekuat tenaga agar tidak menangis. Mungkin memang balasan itu bisa berupa kata 'ya' dan 'tidak, tetapi bukan balasan perasaan Tirta yang ia inginkan. Entah kenapa firasatnya berkata lain.

Tirta meraih pundak Nata dan mencengkramnya erat. Dengan suara lirih ia berucap, "Kita ini aneh, Nat. Gue suka lo dari dulu dan lo juga sama. Bedanya, gue punya pacar sampai perlahan bisa ngubur perasaan itu buat lo, dan lo sampai sekarang masih gak pindah hati." Jeda beberapa menit, kemudian kembali beruara, "Kita ini aneh, Nat. Kembali bertemu sebagai sahabat dan berujung gue yang kebingungan karena mikirin perasaan."

Tidak ada kalimat yang bisa Nata utarakan saat ini selain berjuang mempertahankan benteng pertahanan diri agar tidak roboh saat itu juga. Apa yang Tirta katakan sangat menampar hatinya, tetapi juga menimbulkan euforia.

Nata yang awalnya pesimis tentang hidup, kini berkali-kali meminta kepada Tuhan agar bisa berada di dunia lebih lama. Namun, akan kah Yang MahaKuasa memberikan kesempatan itu sekali lagi?

"Jangan liat gue pergi, Ta." Nata memalingkan wajah, memutuskan acara saling tatap di antara mereka. "Pulang sekarang!" serunya sembari menahan isakan agar tidak lolos dari bibirnya.

***

"Ayah ... Nata bosan di sini terus, bau obat," adunya pada pria paruh baya yang sedang sibuk membaca koran di sebelah kasur sang anak.

Sudah terhitung lima hari Nata berada di rumah sakit, menjalani serangkaian pengobatan seperti fisioterapi untuk melatih otot yang sewaktu-waktu bisa menyebabkan kelumpuhan. Selama di rumah sakit, Nata lebih sering terjatuh serta tangan semakin sulit untuk digerakkan, kadang kala mata gadis itu tiba-tiba rabun.

Setiap saat dokter mendatangi Nata untuk mengecek perubahan setelah melakukan terapi, dan dokter yang mengatasi akan memanggil Adam untuk berbicara dua mata. Nata tidak tahu mengenai kondisinya semakin membaik atau memburuk karena sang ayah tak pernah membicarakan mengenai kesehatannya.

Adam menurunkan koran, lalu beralih menatap anaknya. "Pengen keluar?"

Nata sontak mengangguk antusias, tanpa pikir panjang ia turun dari ranjang dan berjalan dengan riang mendahului ayahnya. Akan tetapi, belum sempat membuka pintu, ia langsung tersungkur di atas lantai. Adam refleks berlari ke arah Nata dan memeriksa keadaannya.

"Kita pakai kursi roda, ya," bujuk Adam dengan suara bergetar. Ia tidak tahu harus mengatakan kebenaran atau tidak mengenai tanggapan dokter tentang presentasi keberhasilan terapi ternyata tidak bisa membantu banyak.

📘

The Twenty Second  Day ODOC wH
.
.
Pengidap ataksia banyak kok yang bisa bertahan hidup lebih lama, semoga Nata kayak gitu juga yak 😉
Btw 8 chapter menuju end

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro