-DUA PULUH TIGA-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Rambat sang waktu berganti, endapkan laraku di sini. Coba tuk lupakan, bayangan dirimu yang selalu saja memaksa tuk merindumu~

Dua manusia berbeda generasi terlihat bercanda satu sama lain di taman belakang rumah sakit, tepatnya di bawah pohon peneduh. Lalu lalang pasien beserta suster di tambah celetukan sang ayah menjadi hiburan tersendiri bagi Nata.

Aktivitas mereka terganggu kala kedatangan seseorang yang begitu cekatan meminggirkan kursi roda di mana Nata terduduk hingga gadis itu menampakkan wajah terkejut bukan main. Kini posisinya berada di belakang punggung Adam dan Awan—duduk menghadap gedung rumah sakit. Mereka tergelak karena tingkah usil Awan barusan.

Sementara Nata cemberut seraya menarik keras rambut adik satu-satunya sehingga jerit minta ampun terdengar memekakkan telinga. Gadis itu belum puas menyiksa Awan, tetapi perlahan tangan yang menarik kuat rambut pendek adiknya perlahan melemah, dalam hitungan detik terkulai begitu saja di samping kursi roda.

Awan berhenti berteriak, ia lalu menengok Nata yang kini menatap sendu tangan kiri yang sempat digunakan untuk melakukan penyiksaan pada rambutnya.

"Lo ... kenapa berhenti?" Awan bertanya dengan nada tidak sopan seperti biasa, tetapi terdengar seperti berbisik.

Pria paruh baya berkemeja kotak-kotak di sebelah Awan pun sontak menoleh. Tangannya sigap menggenggam tangan anak gadis keduanya. Ia menatap Nata cemas, tetapi langsung mengubah ekspresi tersebut menjadi setenang mungkin. Ia tidak ingin Nata hilang harapan untuk terus berjuang melawan takdir. Ia yakin anaknya pasti sembuh.

"Semakin ke sini kondisi anak bapak semakin mengkhawatirkan. Sudah sangat terlambat. Ataksia Nata sudah tidak bisa dilawan dengan fisioterapi. Akan tetapi, kita akan terus berusaha melakukan yang terbaik untuk kelangsungan hidup anak bapak."

Adam menepis perkataan dokter, bagaimanapun ia percaya akan keajaiban. Ia yakin Nata pasti bisa melalui semua ini. Ia mengenggam kedua tangan Nata dan mendekap erat alat pengeggam tersebut, membawanya ke depan dada. Hatinya bagai ditohok lembing karena melihat cucuran air mata anak gadisnya.

Seraya tersedu-sedu, Nata menatap pilu tangan di dekapan ayahnya. "Tangan kiri Nata gak bisa digerakin lagi," lirih gadis itu sambil tersenyum paksa. Perasaan sedih semakin menambah literan air matanya.

"Nanti pasti gerak lagi. Percaya sama Ayah," ucap Adam menenangkan meski perasaan takut dan khawatir terus merundung.

"Dih, jadi cengeng. Pasti sembuh, percaya sama gue," sambar cowok berperawakan tinggi kurus di samping Nata. Jujur, ia penasaran mengenai penyakit sang kakak dan selama beberapa hari ini ia bersama kakak pertamanya–Lia, membaca artikel tentang ataksia dan cukup membuat mereka terkejut.

Akan tetapi, mereka tidak begitu yakin sebelum mendengar penjelasan dari dokter. Namun, pria berumur empat puluh lima tahun itu yang selalu mereka panggil dengan sebutan Ayah sama sekali tak pernah membicarakan hasil fisioterapi Nata kepada mereka.

***

25 Januari 2020

Berbicara sendiri namanya monolog, berjuang sendiri namanya bego!

Ta, lo gak mungkin lupa sama kalimat lo di atas, kan? Gue gak lupa. Mau tau kenapa?

Karena kalimat itu nampar gue pakai banget. Mungkin lo lagi nyinggung diri sendiri waktu itu. Kalau boleh gue tau, kenapa lo buat status kayak gitu?

Hahaha gue lagi halu, nih. Mungkin itu buat gue, soalnya Disya belum hadir di hidup lo waktu buat status itu. Andai lo jujur dari awal mungkin kita gak bakalan kayak gini. Kita? Aneh banget :'). Tapi, awal gue suka sama lo karena lo yang terlalu sombong dan pernah nolak gue jadi teman kelompok, alhasil gue benci sama lo. Tapi, kok lama-lama gue suka! Ck, nyiksa.

Asal lo tau, Ta. Sekuat apa pun gue pergi, berusaha buat lupain semuanya ujung-ujungnya gue dekat lagi sama lo. Gue pernah curiga kalau di masa depan mungkin kita jodoh :D, gue ngawur banget. Btw, ada yang beda gak ada lo. Gue kangen duduk di depan rumah, denger celotehan lo yang gak guna. Tapi, maaf, gue gak bisa balik untuk sementara waktu. Gue masih mau berjuang lupain lo sekali pun sulit karena bayang-bayang lo selalu aja muncul, ditambah lo yang selalu ganggu gue di dunia virtual. Maaf karena nyuekin lo.

Nata memutar bola mata kesal seraya menjatuhkan pulpen pada pertengahan buku. Konsentrasinya terganggu setiap kali notifikasi pesan berbunyi secera terus menerus. Ia mendelik ke arah Lia bersama ponsel di genggaman cewek berbaju terusan selutut itu.

"Kecilin volume HP lo! Ngeganggu banget," judesnya.

Mendengar kekesalan Nata, Lia yang memilih duduk di samping ranjang kontan mendongak, menatap pasien yang tak lain adalah adiknya.

"Kok, gue? HP-nya Awan bukan gue," balas Lia tak kalah judes.

Gadis berambut sebahu itu refleks memindahkan pandang pada Awan yang terduduk di sofa, tak jauh dari jendela kamar. Sebelum Nata mengeluarkan lava panas, Awan berderap menghampiri kakaknya. Lengkungan menukik pada alis Nata semakin jelas saat melihat tingkah si bungsu.

Sebelum membuka suara, Awan memicing ke arah Nata, kemudian kembali fokus pada layar ponsel. Nata memandang jengkel objek yang sedang berdiri di samping kasurnya.

"Gue nyuruh lo kecilin volume HP, ngapain ke sini!" semburnya semakin sebal.

"Setelah dia nyari lo ke sana ke mari tapi gak berhasil, akhirnya dia chat gue. Pantesan aja beberapa hari ini dia keliatan suntuk banget, ponsel lo juga dimatiin," jelas Awan tanpa mengalihkan atensi dari ponsel.

Nata terkesiap diikuti irama jantung yang semakin cepat hingga menimbulkan nyeri di sana. Ia spontan memegang dada, berusaha meredam sakit dari dalam. Lia membulatkan mata dan sigap menidurkan adiknya setelah terlebih dahulu memindahkan buku kesayangan Nata ke atas nakas.

Sementara Awan meneguk saliva susah payah, ia merasa bersalah karena perkataannya barusan. Remaja berusia delapan belas tahun itu mendekati Nata yang terbaring dengan wajah mengernyit menahan sakit.

"So-sori," lirihnya.

"Duh, dokter mana, sih," geram Lia sembari terus menekan tombol darurat yang tersedia pada ranjang pasien.

Tak berselang lama, pria paruh baya berjas putih muncul bersama dua orang suster dengan langkah tergesa. Dokter tersebut langsung memeriksa kondisi Nata begitu tiba di sana. Awan menggenggam ponselnya kuat-kuat, rasa takut kehilangan beberapa minggu lalu akibat kehilangan ibu kini kembali menyergap, begitu pun dengan Lia. Perempuan anggun itu tak henti-hentinya menghubungi sang ayah yang sedang bekerja.

***
Awan: Sebelum gue kasih tau lo, gue mau tau sesuatu. Apa lo merasa kehilangan tanpa kakak gue?

Tirta mengacak rambutnya frustrasi, ponsel di genggaman kini berakhir di atas kasur. Pertanyaan yang Tirta sendiri tidak tahu jawabannya. Ia belum yakin apakah perasaan hampa ini disebut dengan kehilangan? Harus seperti apa lagi ia meyakinkan hatinya, ia tidak percaya kalau semua terjadi begitu cepat. Mana mungkin perasaan suka bisa bangkit dalam waktu singkat, menggeser perasaan kuat yang pernah ada untuk Disya.

Cukup lama cowok berwajah tegas itu mendiamkan ponselnya. Satu jawaban sudah ia dapatkan berkat perkataan Arsyad saat ke rumahnya beberapa hari lalu.

"Sering kali kita terjebak sama hati sendiri karena bimbang dengan perasaan suka atau tidak suka. Lo terlalu sibuk meyakinkan diri tanpa sadar kalau perlakuan lo sebenarnya udah mengarah suka sama Nata. Kejar sebelum dia benar-benar lupain perasaannya untuk lo. Perlu lo tau kalau memendam perasaan terlalu lama bisa berubah jadi benci."

Tirta langsung menyambar ponselnya dan mengetik pesan balasan untuk Awan. Ia tidak peduli jika sewaktu-waktu langkahnya akan membawa pada penyesalan. Ia sangat yakin Nata akan percaya akan perasaannya. Jika tidak, ia akan berusaha agar gadis itu percaya.

Tirta: Sangat kehilangan. Jadi, sekarang Nata di mana?

📘

The Twenty Third Day ODOC wH
.
.

Seminggu lagi event ini akan berakhir, kisah Nata dan Tirta bentar lagi tamat😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro