-DUA PULUH EMPAT-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang cowok bermata legam lengkap dengan alis tebal terlihat merenung di bawah sinar bulan, duduk di depan rumah bertemankan sunyi. Namun, riuh pemikiran seakan membuat keadaan tetap ramai. Semua terjadi setelah menelaah berbagai artikel tentang ataksi, remaja berbadan tegap itu sampai pada satu kesimpulan. Pengidap ataksi mau tidak mau harus hidup berdampingan bersama kelumpuhan otot yang menyerang secara tiba-tiba, hanya terapi sebagai alternatif terakhir untuk membantu pengidap penyakit tersebut agar bisa beraktivitas seperti biasa.

Akan tetapi, ada juga yang tak bisa bertahan karena ataksia bisa menyebar sampai ke jantung dan membuat kerja alat pemompa darah tersebut tiba-tiba terhenti. Awan memijat pelipis, ingatan akan kakaknya yang sering mengadu kesakitan di bagian jantung membuatnya takut.

"Semoga aja gak gitu," bisiknya.

"Nata mana?"

Cowok yang masih menimba ilmu di sekolah menengah atas itu hampir saja terjungkal dari kursi besi akibat kemunculan sosok laki-laki berbeda dua tahun darinya.

"Sialan! Gak ada sopan-sopannya, nih, orang." Awan menggeram jengkel di akhir kalimat.

Tirta berkacak pinggang setelah mendengar protes dari adik Nata. Dengan perasaan gemas, ia meninju pelan bahu anak itu. "Lo yang gak ada sopan-sopannya sama orang yang lebih tua."

Awan memilih berdecak sebagai jawaban tanpa repot-repot menengok ke arah cowok berambut quiff di sampingnya. Tanpa sadar ia membuang napas kasar sambil mengusap wajah penuh lelah. Langkah yang ia pilih tentu akan membuat kemarahan Nata menguar. Sungguh menguras tenaga. Bukan tanpa sebab ia memilih kenekatannya, ia merasa tingkah Nata menjauhi Tirta tidak lah benar.

Nata mencintai Tirta dan cowok itu juga mulai merasakan hal yang sama, lantas untuk apa sang kakak menciptakan kutub berlawanan arah? Melihat Nata hanya menuangkan seluruh isi hati ke dalam tumpukan kertas sungguh membuat Awan gemas bukan main.

"Malah ngayal. Cepetan Nata di mana? Lo udah janji bilang sama gue." Tirta mulai tidak sabaran karena sedari tadi cowok berpenampilan agak semrawut ini terus mengulur waktu.

"Dia ...." Awan meringis dalam hati. Ia takut jika nanti Nata marah padanya. Ponsel gadis itu saja sengaja tidak di aktifkan agar tak ada yang tahu prihal penyakitnya.

Tirta menatap tajam cowok di hadapannya sembari berpikir ke mana tempat paling memungkinkan bagi Nata untuk pergi. Menurut Ivy dan Nela, rumah nenek Nata berada di Sumatera, jadi tidak mungkin gadis itu ke sana tanpa keluarga. Buktinya, Tirta selalu melihat kehadiran keluarga gadis itu pulang balik ke rumah, meski hanya sebentar. Namun, tanpa kehadiran seseorang yang ia cari.

Ia semakin tidak sabar untuk segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin ia pernah berjanji akan mencari gadis itu tanpa bantuan siapa pun, tetapi ia sudah menyerah. Ivy dan Nela, sahabat cewek itu juga sama sekali tidak mengetahui keberadaan Nata. Semua semakin sulit sebab ponsel Nata tak bisa dihubungi semenjak gadis berambut sebahu tersebut memutuskan untuk pergi.

"Wan, Nata kemana, sih? Kenapa HP-nya gak bisa dihubungi?" cecar cowok beriris cokelat gelap itu, semakin tidak sabaran karena Awan tak kunjung menyambung kalimatnya.

Helaan napas panjang terdengar. Setelah pergolakan batin merampas sisa tenaga, Awan akhirnya berujar cukup pelan, nyaris berbisik, "Di rumah sakit."

"Hah!" Cowok bercelana jin selutut itu sontak membulatkan mata. Belum mendengar lebih jelas mengapa Nata berada di sana sudah membuat jiwa dan raga menengang bukan main. Kekhwatiran menguasai kendali diri.

"Jelasin Nata kenapa!" bentak Tirta. Emosi mulai memuncak karena Awan masih bungkam.

Entah sejak kapan angin mulai berembus kencang, daun-daun bergerak ke kiri dan ke kanan sehingga menimbulkan bunyi merdu di tengah badai dalam hati seseorang. Langit di atas sana semakin menggelap, tak ada hamparan titik terang seperti biasa, bulan pun menghilang setelah tadi sempat menampakkan semburat terang. Tampaknya akan turun hujan.

"RS. Medistra. Orang yang lo cari ada di sana, tap ---." Belum selesai berbicara, cowok itu langsung meninggalkan Awan sendirian beserta tanda tanya. "Dia kebelet?" gumamnya.

Tak berselang lama, sebuah motor memelesat begitu cepat sampai ke ujung mulut gang dan hilang di kelokan jalan raya. Butuh waktu sekian menit bagi Awan untuk mencerna bahwa pengendara motor tadi adalah Tirta. Saat tersadar ia refleks masuk ke halaman rumah dan menunggangi motor, mengejar cowok tanpa jaket tersebut.

Derai hujan deras tiba-tiba membasahi ibu kota Jakarta. Menemani hiruk-pikuk jalan raya padat pengendara di malam hari. Beruntung bagi pengendara mobil, tetapi bagi Tirta adalah sebuah kesialan. Ia harus menembus hunjaman air dari langit tanpa menggunakan jaket, hanya sebuah kaus berwarna hitam dan celana jin puntung sebagai perisai tubuh.

Namun, ia tidak akan kalah dengan derasnya hujan. Ia ingin memastikan keberadaan seseorang, membiarkan perasaan khawatir, risau lenyap begitu saja saat bertemu dengan orang itu. Paling tidak Nata tak pergi jauh sudah membuatnya lega. Tanpa sadar ia memacu laju motor, tak memedulikan licinnya jalan serta pengendara yang berani menerobos hujan sepertinya.

"Kasih gue kesempatan buat kenalan lagi sama perasaan gue ke lo," gumamnya.

***

Setelah melepas helm dan menyampirkan benda tersebut di kaca spion, Awan bergegas menghampiri Tirta yang tampak kesetanan, berlari begitu cepat dalam keadaan basah kuyup, tak jauh berbeda dengannya.

"Bego dipelihara!" umpatnya sambil terus berlari mengejar cowok bersandal jepit hitam di depan sana.

Sebelum Tirta memasuki gedung rumah sakit, seseorang langsung menariknya mundur hingga tidak jadi mencapai pintu kaca. Ia mengerang jengkel dan menghempas tangan cowok bermata legam itu.

"Kenapa, sih!" bentaknya.

"Gue belum selesai bicara dan lo main pergi gitu aja. Denger gue dulu!" titah Awan sedikit berteriak takut Tirta tidak bisa mendengarnya dengan jelas akibat derasnya air hujan yang menghantam langit Jakarta.

"Apa lagi yang perlu gue denger? Gue mau tanya langsung sama orangnya!"

Melihat cowok keras kepala itu hendak melangkah, Awan sigap mencengkram pergelangan tangan cowok itu kuat-kuat. Ia yakin sekarang kakaknya sedang melakukan terapi. Ia tidak ingin kegiatan tersebut malah terhambat karena cowok ini, dan juga tak ingin melihat Nata terkejut seperti tadi siang. Mendengar nama Tirta saja membuat cewek bermata cokelat terang itu kesakitan, apalagi kalau melihat kehadiran orang yang ia sukai hadir di depan mata.

"Dia gak ngizinin gue bilang siapa-siapa, terlebih lo. Makanya dia matiin ponsel. Gak ada orang yang tahu dia di sini selain keluarga gue." Jeda sejenak, membiarkan pemuda berpenampilan semrawut di depannya mencerna ucapan tersebut.

"Dari bukunya kak Nata, gue tau kalau dia lagi berusaha lupain lo, dan dia juga nulis di buku itu kalau ini kesempatan emas karena selama di sini dia gak bakalan bisa ketemu sama lo." Awan menyandarkan punggung pada tembok putih. Tatapan kosong mengarah pada jejeran motor dan mobil di bawah guyuran hujan di depan sana.

Ia ingin melanjutkan ucapannya, tetapi lidahnya kelu. Perasaan bersalah karena memberitahu rahasia kakaknya menyergap begitu saja. Entahlah, Awan tidak tahu apakah ini langkah baik atau buruk, ia hanya menuruti kata hati dalam bertindak.

"Gue ngerasa lo harus ketemu sama dia, tapi gak sekarang. Dia lagi proses pengobatan."

Tirta seketika mematung, kerja jantungnya melemah, lantas ikut menyandarkan diri pada tembok. Ia merasakan nyeri di hati, bagai dicubit berulang kali. Dengan suara lemah ia berucap, "Nata sakit apa?" Rencananya Tirta 'kan menanyakan itu pada Nata, tetapi ia sudah tidak bisa menahan diri.

Remasan kuat pada bahu membuat cowok bersandal jepit itu menoleh ke arah Awan yang sedang berusaha menahan tangis. Dari penglihatannya, anak itu dirundung rasa takut mendalam dan ketakutan itu menjalar padanya.

"Ataksia," ucap Awan dengan nada putus asa.

"Gue pengen liat dia sekarang," putus Tirta, lantas berlari memasuki gedung rumah sakit.

"Tunggu! Kita lihat kak Nata dari jauh, jangan nampakin diri lo sekarang, biarin dia terapi dulu," cegah pemuda berzodiak capricorn tersebut.

Entah bagaimana caranya agar emosi tidak mengambil alih kesadaran diri sepenuhnya, yang Tirta tahu memejam beberapa menit bisa membantu mengontrol gejolak yang tercipta.

Setelah cukup tenang, ia akhirnya membuka mata dan menoleh ke arah cowok berjaket bomber dengan yakin. Mereka pun berjalan memasuki gedung berbau obat tersebut, menuju ke tempat di mana pasien selalu melakukan terapi berjalan.

"Kak Nata lagi berusaha biar bisa jalan lagi. Kemarin tiba-tiba dia jatuh terus kakinya gak bisa digerakin sampai sekarang," terangnya sembari menunjuk seorang gadis yang tengah berjuang berjalan dengan bantuan tangan kanan bertumpu pada pegangan besi.

"G-gue dari dulu udah curiga ada yang gak beres sama kesehatan Nata," lirihnya. Netra cokelat gelap cowok itu tak sanggup melihat pemandangan di depan sana. Hatinya terlalu sakit menerima kenyataan ini. Kedua kaki tak lagi sanggup menahan beban tubuhnya hingga ia memerosotkan diri di lantai koridor rumah sakit.

"Izinin gue bisa terus di samping lo, Nat," pinta Tirta dengan suara serak karena menahan tangis.

📘

The twenty fourth Day ODOC wH

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro