-DUA PULUH LIMA-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sinar mentari semakin meningkatkan suhu panas setelah semalam hujan turun sangat deras. Banyak orang mengeluh karena kemacetan yang mengular siang hari ini. Wajar saja, sekarang adalah jam istirahat kantor di mana banyak pegawai dan pekerja lainnya berlalu lalang mencari tempat untuk melepas beban dari pekerjaan yang mengekang, menguras tenaga. Anak sekolah pun sudah bertebaran menyesakkan jalan. Hingga tak jarang pengendara kendaraan ugal-ugalan di jalan tanpa mengkhawatirkan keselamatan pengguna alat transportasi lainnya.

Itulah yang dilakukan seorang cowok berkaus lengan panjang biru malam saat ini, mengendarai motor dengan kecepatan penuh. Meliuk-liuk di tengah padatnya pengendara lain. Sebabnya hanya satu, yaitu ingin bertemu dengan seorang gadis yang tak bisa membuatnya tidur nyenyak di malam hari. Kejadian semalam berhasil membuat Tirta takut akan kehilangan, ia tidak ingin menciptakan penyesalan mendalam karena sebuah perpisahan.

Motor melaju pelan saat memasuki parkiran rumah sakit. Perasaan tidak tenang tiba-tiba menganggunya. Apa yang Awan katakan kemarin sungguh membuat cowok itu terpukul. Nata ingin melupakannya di saat ia dalam perjalanan membalas perasaan gadis itu, dan sekarang ia harus disambar kenyataan bahwa Nata sedang berjuang melawan penyakitnya.

"Izinin gue ada di dekat lo, Nat. Gue mohon," gumamnya harap-harap cemas. Kaki jenjang cowok itu melangkah cepat memasuki gedung rumah sakit, mencari keberadaan Nata di taman belakang, seperti petunjuk Awan.

Pemandangan hijau serta lalu lalang pasien lengkap dengan ekspresi penggambaran perasaan mereka terpampang di hadapan Tirta. Cowok itu menajamkan penglihatan, menyusuri luasnya taman. Netra itu terhenti di bawah pohon lindung. Di sana ia melihat seorang gadis tengah memegang buku berwarna biru seraya bernyanyi diiringi permainan gitar sang adik.

Perlahan Tirta mendekati mereka berdua, langkah pendek-pendek sengaja ia lakukan karena degupan jantungnya semakin tak terkontrol. Pupil mata cowok itu pun semakin melebar, tidak pernah mengedip barang sedetik, takut jika cewek berbaju pasien di depan sana menghilang dari pandangan. Susah payah ia meneguk saliva saat posisinya semakin dekat.

Samar cowok berwajah tegas dengan alis sedikit tebal mendengar suara merdu Nata menyanyikan sebuah lagu. Ia memilih melangkah sekali lagi agar bisa menyelami suara indah gadis berkursi roda di depannya. Ia tahu betul lagu yang Nata nyanyikan mewakili perasaan gadis itu. Tanpa sadar lengkungan manis terpahat di wajahnya.

'Tlah lama kupendam perasaan itu

Menunggu hatimu menyambut diriku

Tak mengapa bagiku mencintaimu pun adalahlah bahagia untukku

Bahagia untukku...

Kuingin kau tahu

Diriku di sini menanti dirimu

Meski kutunggu hingga ujung waktuku

Dan berharap rasa ini 'kan abadi untuk selamanya

Dan izinkan aku memeluk dirimu sekali ini saja

Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya

Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja

"Gue di sini, Nat. Gak perlu nunggu gue lagi," lirihnya.

Nata belum juga menyadari kehadiran seseorang di hadapannya, ia terlalu sibuk menyelami tiap bait lagu milik band Ungu. Saat bernyanyi pun bayang-bayang Tirta terus bermunculan, menimbulkan rindu yang menyesakkan dada. Mata yang awalnya memejam kini terbuka sempurna, kesal karena cowok berwajah tegas itu terus bergelayut dalam benak.

Ia meremas buku di pangkuannya, saat mengangkat wajah dan menatap ke depan ia sontak terdiam, menutup rapat mulut yang tadinya bernyanyi penuh penghayatan. Menyadari tak ada untian kata, Awan berhenti memainkan gitar lantas mendongak, melihat Nata yang kini membatu dan memusatkan perhatian pada satu titik. Ia pun mengikuti arah pandang gadis itu.

Awan membulatkan mata, bukan karena kehadiran Tirta, melainkan buku favorit kakaknya tiba-tiba melayang ke arah cowok bercelana jin panjang hitam di depan sana. Baru saja Nata melempar buku itu, lalu menangis histeris.

"Ini cuma khayalan, kan? Tirta gak mungkin ada di sini! Gue benci sama dia!" Nata berteriak kencang, masih mengira sosok Tirta adalah halusinasi belaka sebab sedari tadi ia melihat bayang-bayang cowok itu dalam benaknya.

"Dia nyata, bukan khayalan lo," ucap Awan.

Belum sempat menyanggah pendapat sang adik, Nata merasakan hal aneh pada tangannya. "T-tangan kanan gue, kok, tiba-tiba lemah, Wan," gumam gadis itu sembari meratapi satu-satunya tangan yang masih bisa berfungsi dengan baik. Kedua kaki juga tangan kirinya sudah tidak bisa digerakkan total.

Remaja berusia delapan belas tahun itu sontak memegang tangan kanan kakaknya, memberi kekuatan agar Nata tak lekas putus asa. Sementara Tirta semakin memendekkan jarak antara seorang pasien bersurai sebahu di depan sana setelah memungut jurnal biru yang sempat mengenai ujung kaki.

"Nanti sembuh. Percaya sama gue," ucap Awan, berusaha menenangkan sang kakak meski pada kenyataannya suara cowok itu menyiratkan kekhawatiran berbalut ketakutan.

"Kita tunggu ayah balik dari kerja, bentar lagi dia ke sini," imbuhnya tanpa menghiraukan kehadiran orang lain di antara mereka.

Tirta bersimpuh di depan Nata, menatap lekat wajah suram gadis itu. Melihat gelagat keseriusan dari dua manusia sepantaran di dekatnya, Awan menyingkir, mengambil jarak beberapa meter bersama gitar di genggaman, membiarkan seorang manusia yang sedang mempertahankan ego bertemu dengan manusia yang sedang memperjuangkan tunas perasaan.

"Gue di sini, Nat." Cowok itu menyerahkan juru bicara hati Nata tepat di pangkuan.

Beberapa kali Nata mengerjap, memastikan kehadiran Tirta memang nyata adanya, bukan sekadar ilusi. Sampai seulas senyum manis menyadarkannya bahwa Tirta memang di sini, di depannya. Tanpa bisa dicegah air mata langsung membentuk sungai kecil di pipi.

Ia tidak ingin menangis, tetapi hati meminta untuk melepaskan penat menanggung rindu. Susah payah ia mengangkat tangan kanan untuk menghapus air mata yang terus berderai tanpa henti. Hingga tangan Tirta bergerak pelan menyeka air matanya. Nata tak bisa berkata banyak, seluruh saraf terasa lumpuh.

"Kenapa lo bisa di sini," gumam Nata sangat pelan. "Siapa yang bilang gue di sini!" bentaknya dan tangis pun semakin pecah.

"Nat, tenangin diri lo dulu." Tirta sigap menggenggam erat kedua tangan gadis di depannya, berharap Nata bisa luluh dan menerima kehadirannya.

Ia menatap manik mata berwarna cokelat terang yang tersuguh, menyelami tatapan benci yang ternyata bermakna kerinduan mendalam. Ingin sekali rasanya Tirta mendekap tubuh pemilik nama Syanesa Arnata, tetapi ia tidak ingin membuat gadis itu semakin terisak. Ia sadar betul kehadirannya membuat hati gadis itu hancur dan semakin kesulitan untuk melupakan dirinya.

Akan tetapi, Tirta tidak akan membiarkan rencana tersebut terus berlanjut. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri agar tetap berada di sisi Nata. Tidak peduli jika nanti gadis itu menolak atau bahkan tak ingin bertemu lagi, ia akan memaksa keadaan untuk tetap bersama sekalipun orang yang ia perjuangkan memilih bertolak belakang.

"Pergi dari sini, Ta." Kali ini suara Nata terdengar lemah dan putus asa. Ia sungguh membenci kemunculan cowok itu di sini, tetapi hati sangat terbuka lebar untuk menyambut. Ia sudah berjanji untuk melupakan, kondisi seperti ini pun menjadi salah satu alasan mengapa ia memilih meredupkan asa untuk bersama.

Nata takut jika perasaannya semakin membesar. Nata takut Tirta menyesal karena memilih melihat ke arahnya. Nata takut umurnya tak 'kan lama lagi. Sungguh ia takut untuk pergi. Sekali saja ia ingin meminta Tuhan mengizinkannya untuk menikmati kebersamaan bersama orang di depannya ini lebih lama, tetapi ketakutan membuatnya urung untuk meminta dan mengharap.

"Gue gak bakalan pergi, gue bakalan di sini jagain lo. Kita ukir hari sama-sama, kita jalani semua bareng-bareng, gu ---,"

"Menghitung mundur waktu kebersamaan ... lupain semuanya, biar gue berjuang matiin perasaan ini buat lo juga. Kita gak pernah bisa jadi kita." Nata memutus ucapan Tirta seraya tersenyum sinis. Ia melakukan itu semua semata untuk memukul mundur kemauan cowok itu.

"Walaupun kita gak pernah jadi kita, izinin gue narik lo kelingkaran lo dan gue pernah ada, Nat," pinta cowok berambut quiff tersebut.

📘
.
The twenty fifth day ODOC wH
.
.
Menuju akhir....
Btw kalian kalau punya saran dan kritikan tentang cerita ini komen aja, yah. Soalnya aku pengen revisi cerita ini lebih baik lagi. Krisar kalian sangat dibutuhkan.

Thx anyway😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro