-DUA PULUH ENAM-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Walaupun kita gak pernah jadi kita, izinin gue narik lo kelingkaran lo dan gue pernah ada, Nat," pinta cowok berambut quiff tersebut.

Tiba-tiba langit berubah mendung, angin pun berembus cukup kencang hingga daun-daun pohon lindung saling bergesekan dan menciptakan bunyi yang cukup menenangkan. Namun, memilukan bagi seorang gadis yang kini berusaha menikmati riuh jantung dan desiran darah dari dalam tubuh. Mulut tak berucap persetujuan, tetapi hati menjerit mengatakan iya.

Bagi Nata penerimaan akan mendatangkan patah hati berkepanjangan, mendung sudah menjawab itu. Suasana saja tak mendukung meskipun sorak sorai detak jantung cewek itu menyalurkan keinginan kuat untuk bersama, menyelami dunia satu sama lain, mempertemukan hati yang pernah dan ingin saling melupakan. Ia mengerti hidupnya hanya Tuhan yang tahu, tetapi tak salah jika manusia bisa berfirasat. Maka dari itu, permintaan hati kali ini harus dikesampingkan.

Tanpa menatap cowok di depannya, Nata berucap bahkan nyaris berbisik, "Terlalu dipaksakan." Satu air mata kembali menetes diiringi desahan napas putus asa dari sang lawan bicara.

"Gue mohon sama lo ...." Entah sejak kapan Tirta mendekap erat tangan gadis di depannya, yang ia tahu perasaan takut kehilangan semakin bertambah seiring detik merangkak maju.

Ketulusan sungguh terlihat dari manik cokelat tua itu. Jika Nata ditanya mengenai pertahanan diri apakah luluh atau tidak, maka ia akan menjawab semenjak Tirta mengucapkan kalimat lo dan gue pernah ada pertahanan itu sudah hancur tak bersisa.

Literan air dari mata semakin bertambah, ia berharap semua berlalu dengan cepat. Sekali lagi ia ingin meminta untuk hidup lebih lama, pasien yang sangat mencintai seseorang begitu lama, memendam rasa dan asa kini meminta pada Tuhan agar bisa hidup lebih lama.

Setelah ia melihat kemungkinan untuk sembuh meski tak total, ia berjanji akan melewati hari yang panjang dengan Tirta. Namun, untuk kepastian hidup dalam kondisi seperti ini semakin hari semakin memburuk, Nata tak bisa mengungkapkan ingin. Ia hanya akan meredam kemauan dan menikmati penderitaan yang ada jika memang benar inilah detik-detik terakhir hidupnya.

"Gue udah bilang, Ta, untuk gak berharap. Gue udah cukup berjuang sama perasaa in ---,"

Belum selesai Nata berucap, Tirta sigap memotong ucapan gadis itu. "Gue bahkan belum berjuang untuk perasaan gue ke lo. Gue mohon kasih gue kesempatan itu. Gue bakalan terima semua konsekuensinya. Gue tau pilihan selalu beriringan dengan resiko dan gak apa jika resiko itu menyakitkan buat gue," jelasnya dengan napas memburu.

"Lo egois! Lo gak mikirin pilihan lo bakalan menyakitkan juga buat gue." Nata semakin terisak kala cowok yang bersimpuh di depannya tidak memberikan celah untuk menolak.

Tirta terdiam, meresapi makna kalimat yang terlontar. Ia tertampar cukup keras. Pasien berbulu mata lentik dengan kulit putih bersih ini bersikeras menolak. Ia baru saja memijak anak tangga pertama, pilihan untuk mundur begitu mudah. Akan tetapi, cowok aries itu tidak pernah berbalik arah jika sudah menginjakkan kaki untuk melangkah maju sekalipun hanya satu langkah.

"Pikirin lagi, Nat. Gue yakin kita bisa,"

"Apa lo buta? Liat kondisi gue, Ta. Semua fungsi tubuh gue perlahan gak berfungsi," lirihnya.

"Apa itu penting buat gue?"

"Hanya orang bodoh yang pengen terima cewek penyakitan kayak gue. Udahlah, buang harapan itu, Ta. Ini buku gue, ambil terus lo simpan. Gue gak bisa lagi bertahan sama perasaan gue selama empat tahun ini." Nata melirik buku dipangkuannya, berharap Tirta meraih benda berwarna biru itu.

Ia tidak punya alasan yang jelas mengapa ia menyerahkan buku tersebut, yang ia tahu hatinya berkeinginan kuat untuk menyerahkan benda favoritnya. Bagaimanapun juga sudah tak ada lagi yang perlu disembunyikan, Tirta sudah tahu betul perkara perasaan sepihak itu. Sekarang ia pasrah dengan keadaan, membiarkan tubuh dan raga melayang bagai ditiup angin entah ke mana. Setidaknya, ia tidak berhenti di satu titik yang sama.

Melihat tidak ada pergerakan dari si lawan bicara, Nata menyodorkan sendiri jurnal birunya dan menggoyang-goyangkan benda tersebut di hadapan wajah Tirta. Netra cokelat gelap cowok itu hanya menatap penuh luka raut sedih dan muram gadis di depannya. Tanpa sadar tangan berbalut pakaian lengan panjang itu meraup benda persegi milik Nata dan menggenggamnya erat.

"Bakalan gue simpan seperti permintaan lo."

Nata hampir mengucapkan sesuatu, tetapi suara suster menginterupsi percakapan dua makhluk yang sama-sama memiliki warna mata serupa, hanya terang dan gelap yang menjadi pembeda.

"Hai, Nata. Waktunya terapi, ya," tegur sang suster, kira-kira berumur dua puluh enam tahun.

Dari arah belakang suster, seorang laki-laki paruh baya muncul dengan wajah dihiasi senyum manis, tetapi tak ada yang tahu bahwa sebenarnya senyum itu adalah sebuah senyum pedih menahan sesak pada organ pernapasan.

"Ayah udah datang!" seru Nata bak anak kecil. Di belakang gadis itu suster sudah bersiap-siap menjalankan kursi roda si pasien.

Adam semakin melebarkan senyum, tak lupa mengusap pelan surai sebahu sang anak. "Gimana perasaan kamu hari ini?"

Seketika air muka cewek berkursi roda berubah menjadi muram, mendung seakan ikut berpindah pada wajah. "Tolong, Ayah, suruh orang ini pergi. Nata gak bisa liat dia terus-terusan," pinta Nata tanpa menoleh sedikit pun pada Tirta.

Sementara cowok itu terkesiap mendengar permintaan Nata. Irisnya langsung di arahkan pada Adam yang ternyata sudah menatap cowok yang dimaksud oleh sang anak.

"Nak Tirta? Maksud kamu Nak Tirta? Bagus kalau dia jengukin kamu. Kalian, kan, katanya teman semasa SMA dulu."

"Gak, Yah! Aku gak bisa liat dia."

"Emangnya apa yang salah sama Kak Tirta?" Lama tak bersuara setelah tadi memberi ruang pada dua insan yang saling meyakinkan diri untuk berhenti dan berjuang kini ikut menimpali. Untuk pertama kali pula Awan menggunakan sebutan Kak pada Tirta.

Angin semakin berembus kencang, hanya gesekan daun yang mengisi tiap gendang telinga manusia di bawah pohon lindung. Satu persatu pasien, keluarga pasien, dan suster memasuki gedung rumah sakit. Badai akan segera datang. Nata tak juga bersuara, dengan sisa tenaga tangan kanannya mencengkeram kuat ujung baju yang dikenakan.

Mata gadis itu lagi-lagi memanas tanpa diminta. Ia ingin berlalu dari sana sekarang juga dan menangis di tempat lain tanpa ada satu manusia pun dapat menganggu.

Enggan menjawab, Nata menyuruh suster untuk meninggalkan taman ini sesegara mungkin. "Udah, Sus, dokter pasti udah nungguin buat terapi."
Suster mengangguk terbata, sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, suster tersenyum sopan pada tiga pria di sana, lalu berlalu bersama pasien di atas kursi roda.

Ada mata yang menatap hampa kepergian gadis itu, ada sesal yang bermain-main dengan jiwanya. Tirta meratapi buku di genggaman tangan, melihat sampul jurnal yang telah usang dimakan waktu. Empat tahun benda itu menemani kesedihan dan kebahagiaan Nata, lantas seperti apa reaksi hati pada saat membaca goresan pena milik teman sekelasnya pada zaman SMA.

"Kalau kamu memang peduli sama anak saya, ada baiknya kamu tidak perlu ke sini. Saya lihat Nata sedang tidak menginginkan kehadiranmu, jangan sampai kondisi Nata semakin memburuk karena melihatmu di sini."

Setelah berucap demikian, Adam berlalu dari sana, menyusul ke ruang rawat sang anak, di mana proses terapi tangan di lakukan. Kini hanya ada Tirta dan Awan di bawah naungan pohon lindung. Gerimis mulai menyentuh bumi, tetapi salah satu dari mereka belum ada yang beranjak untuk segera berteduh.

"Kenapa lo ngedukung gue buat ketemu sama Nata?" Tirta merobek keheningan yang sempat tercipta.

Tanpa melihat cowok gigih di sebelahnya, Awan berucap pelan, "Karena gue tahu kak Nata gak bakalan bisa lupain lo."

Hening kembali menyeruak hingga hujan semakin deras. Titik air mulai menelusup dari balik daun di atas mereka. Remaja bermata legam itu memiliki alasan kuat untuk tetap bertahan di sana, tetapi Tirta? Tubuh cowok itu seakan ditinggalkan oleh rohnya. Hanya diam mematung tanpa suara.

"Perjuangin kakak gue sampai lo nyerah. Gue bakal bantu lo semaksimal mungkin. Dia udah cukup bego bertahan selama empat tahun tanpa lo lirik, gue gak mau usaha dia sia-sia." Awan menepuk sekali pundak Tirta sebelum meninggalkan taman, membiarkan lawan bicaranya berpikir keras untuk mengambil langkah selanjutnya.

📘
.
The twenty sixth day ODOC wH
.
Udah chptr 26
Gimana perasaan kalian selama baca cerita ini?
Cerita dong😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro