-DUA PULUH TUJUH-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Awan terus merundukkan kepala, menatap hampa ke arah tegel berwarna putih sebagai pijakan kaki untuk berjalan. Berulang kali ia menepis pemikiran buruk mengenai penyakit sang kakak, tetapi pendapat dokter yang ia dengar secara sembunyi-sembunyi saat mengikuti Adam ke ruang konsultasi sungguh membuat remaja itu terguncang hebat.

Pantas saja sang ayah tak pernah membocorkan hasil terapi kakaknya, ini disebabkan kondisi pasien semakin memburuk. Ia yakin Adam menyembunyikan semuanya sebab tak ingin Nata patah semangat. Derap kaki terasa semakin berat saat melihat kehadiran kakak pertamanya hampir memasuki kamar rawat, tetapi karena melihat kehadiran dirinya, Lia tidak jadi meneruskan pijakan sampai ke dalam ruangan pasien.

Setelah seharian bergelut dengan tesis, Lia memutuskan segera menemani sang adik. Namun, ia cukup terkejut kala menemukan air muka muram bercampur khawatir dari si bungsu. Merasa ada yang tak beres, ia langsung menarik anak itu agar bisa sampai dengan cepat di hadapannya.

"Kenapa?" Suaranya menggema di lorong kamar rawat karena keadaan sekitar memang sunyi. Merasa telah berbicara terlalu keras, Lia buru-buru merapatkan diri pada adik bungsungnya.

Bukannya menjawab, cowok itu malah menjatuhkan diri ke lantai, tepat di depan pintu masuk kamar. Reaksi yang tak pernah Lia bayangkan sigap membuat gadis itu menegang di tempat.

Jika Awan sudah seperti ini, berita buruk pasti sudah didapatkan. Ia berjongkok, lalu mengguncang pelan bahu sang adik. Lagi-lagi cowok yang tak pernah terlihat cengeng kecuali pada saat ibunda mereka wafat kini menunjukkan perbedaan siginifikan. Awan menangis tanpa suara, bahkan tak ada ekspresi kesedihan dari wajah. Benar-benar datar. Bagaikan batu yang tengah menangis.

"Wan, kenapa? Apa yang kamu tahu?" lirihnya sembari terus mengguncang pelan bahu adik laki-lakinya.

"Kak Nata ... terapinya gak membuahkan hasil," ujar anak itu, kesedihan jelas terpancar. Berita itu sungguh membuat dunianya hancur.

Lia kontan terduduk. Kedua tangan menjadi penutup mulut agar isakan pilu tak terdengar sampai ke dalam kamar, meskipun ia sempat mengintip sedikit dari celah pintu dan terlihat si pasien tengah tertidur. Ia takut jika Nata mendengar semua, mungkin alasannya sama dengan Adam meski mereka tak pernah bercerita satu sama lain mengenai kondisi lanjutan dari salah satu sanak keluarga kecil mereka.

"Kamu yakin?" Sebuah tanya kembali mengudara, sekadar memastikan.

"Gue denger semua ucapan dokter sama ayah. Mereka masih ada di ruangan itu."

Tangis semakin pecah, tetapi mereka berdua berusaha sekuat mungkin meredam suara, sekali lagi karena takut Nata mengetahui hal ini. Namun, usaha tersebut tak berhasil sebab gadis yang sangat dikhawatirkan mengetahui kenyataan itu tetap saja mendengarnya. Yah, Nata mendengar dengan jelas.

Mata cokelat terangnya kini menerawang langit-langit kamar, menebak-nebak sejauh mana ia bisa bertahan. Seketika permintaan hidup lebih lama hanya karena kesungguhan Tirta kini menguap begitu saja. Nata berusaha menggerakkan tangan kanannya, ternyata hasilnya nihil, sebuah ketidakmampuan.

Setelah terapi kemarin sore, ia pikir kedua alat penggenggam miliknya akan segera membaik. Akan tetapi, keadaan semakin memburuk. Harusnya sedari awal ia sadar kalau semua telah terlambat. Jika pun harus hidup, mungkin waktunya tak lama lagi.

Sekuat tenaga gadis itu menahan tangis, sebab tak ada lagi tangan yang mampu menghapus air matanya. Ia takut jika ayah dan kedua saudaranya masuk ke dalam kamar, lantas menanyakan mengapa ia menangis. Sungguh ia tidak menginginkan kejadian demikian.

"Kalian gak usah khawatir. Nata akan berusaha hidup lebih lama atas izin pencipta," gumamnya disertai buliran air dari mata menetes ke atas bantal.

Pada akhirnya ia tetap menangis. Terlalu sulit berusaha tegar dalam kondisi seperti ini. Gadis malang yang baru saja kehilangan sosok ibu dan sekarang ia mengidap penyakit tanpa penyembuhan yang pasti.

Walaupun demikian, ia masih sempat merasakan hati berbunga-bunga sekaligus hati terkoyak parah. Itu semua karena kehadiran Tirta memaksa masuk ke dalam dunianya, dunia di mana Nata mencoba untuk melupa.

"Maaf, Ta. Keyakinan gue buat mundur semakin kuat karena kondisi gue. Andai aja gue gak di posisi ini ... mungkin gue bakal pertimbangin bareng sama lo," lirihnya seraya memiringkan badan, menatap keluar jendela hingga kedua netra gadis itu menangkap langit biru tanpa awan di atas sana.

Seketika pikirannya melayang pada dua sahabat yang sudah agak lama tak ia jumpai, terakhir berjumpa saat sang ibu meninggal. Sudah seminggu lebih ia menetap di sini. Ivy dan Nela tidak mengetahui apa-apa. Kini ia menyesal, hampa semakin meremukkan jiwa. Di saat tangan tak mampu bergerak lagi, ia baru memiliki hasrat untuk mengabari mereka.

Ia semakin terlena memandang hamparan lapangan biru tanpa ujung milik Yang MahaKuasa, seakan layar tancap mengenai kehidupannya terputar di depan mata. Seulas senyum manis pun tanpa sadar mengukir wajah pucatnya. Sekarang ia melihat wajah Ivy dan Nela sedang bersenda gurau, tetapi entah mengapa suara mereka seolah nyata, tanpa sadar rindu semakin bertambah.

"Si Nata jahat. Nih, anak gak pernah ngabarin kalau dia sakit."

" Iya, padahal kita bisa ngehibur dia, kan?"

Nata sontak membalikkan badan kala menyadari suara itu bukan hanya sekadar ilusi. Saat itu juga mata sembabnya menangkap kehadiran dua sahabatnya. Menangis, hanya menangis bentuk ucapan selamat datang untuk kedua gadis itu.

Tak jauh dari posisi Nata, Ivy dan Nela juga menitikkan air mata. Ada rindu yang tak dapat terucap sehingga cairan bening adalah simbol kerinduan akan persahabatan di antara mereka. Butuh waktu beberapa menit bagi ketiganya saling pandang dalam tangis, sampai akhirnya dua cewek berpakaian kasual tersebut berderap mendekati Nata dan langsung memeluk gadis itu.

Lia yang baru saja masuk ke dalam kamar seketika berdecak melihat tingkah laku tiga serangkai di depan matanya. Meski cewek berambut panjang bergelombang itu tahu kalau mereka saling merindu.

Ini semua karena Nata, ia tidak ingin bertemu siapa-siapa dan berdalih ingin menenangkan diri. Akan tetapi, setiap kali gadis itu menyendiri Tirta selalu mendekat. Mau tak mau adiknya hanya bisa mengabaikan kehadiran cowok itu.

Sekarang, Tirta kembali hadir. Katanya cowok berkemeja kotak-kotak hitam itu ingin menetralkan degupan jantung yang terus meronta-ronta. Tak lupa ada Awan di sana, memperhatikan tingkah konyol tetangga mereka. Meskipun sang ayah sempat menolak, tetapi atas bujukan si bungsu akhirnya pria paruh baya itu luluh.

"Nata bisa pingsan kalau kalian gak berhenti meluk dia," ucap Lia mengingatkan.

"Sejak kapan mereka datang?" tanya Adam sembari duduk di sofa, tak lupa meraih surat kabar kemarin yang belum sempat ia baca.

"Kayaknya bareng Tirta, deh," gumam cewek bercelana jin hitam tersebut sambil menjatuhkan diri di sebelah sang ayah. Mata kelamnya tak luput dari pemandangan di depan sana. Ivy dan Nela belum puas dengan acara peluk-pelukan meski adiknya hanya mampu berbaring tanpa bisa menggerakkan kedua tangan.

Tak berselang lama, Awan muncul bersama Tirta. Awan meneruskan langkah ke arah brankar pasien, Tirta mengekori langkah cowok berbaju hijau botol di depannya setelah mengangguk sopan, meminta persetujuan sekali lagi dari ayah Nata untuk mengunjungi gadis itu.

"Nat, udah kali nangisnya. Diliatin sama Kak Tirta, tuh," sambar Awan setelah menumpukan kedua lengan pada sanggahan kasur.

Ivy dan Nela sontak menyingkir, memberi ruang untuk Nata agar bisa melihat Tirta. Bukannya melihat, gadis itu malah melengos, menolak bersitatap.

"Gue mohon sama lo lihat gue di sini," ucap Tirta penuh ketulusan.

Ivy berdecak, "Lagian lo, sih, kelamaan nongolnya. Nata udah cinta lo nya berpaling dulu ke yang lain."

Mendengar celetukan gadis bersurai panjang hitam di sebelahnya, Nela sigap menggubris, "Mulut lo, Vy, jangan keterlaluan gitu."

"Ya, kan, emang bener ka ---,"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Nata langsung memotong, "Gue udah bilang gak bisa liat lo terus-terusan, Ta. Gue mohon juga sama lo, turutin permintaan gue."

📘
.
The twenty seventh day ODOC wH
.
Semakin dekat dengan perpisahan cerita ini~~😆😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro