-EMPAT-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Cause I'm not fine at all~

Semua pasang mata membulat takjub melihat rumah bak istana di hadapan mereka. Bangunan bernuansa emas itu berdiri tegak diterpa sinar mentari siang seoalah-olah menyambut kedatangan para tamu. Nata berjalan di samping Nela, sahabatnya, sambil memijat-mijat tangan kanannya yang masih sulit digerakkan. Beruntung tangan kirinya bisa kembali normal dengan cepat, jadi kepanikannya dapat berkurang.

Situasi riuh langsung tercipta saat mereka semua menginjakkan kaki ke dalam bangunan megah itu, menuju halaman belakang tempat diadakannya party ala kadarnya. Sang pemilik rumah hanya bisa mengelus dadas melihat tingkah absurd temannya yang tak pernah berubah. Tetap rusuh, tetapi justru hal seperti ini yang mereka rindukan, bagai ditarik kembali memasuki ruang kenangan putih abu-abu. Senyum tipis terbit di wajah Nata sembari duduk di salah satu kursi besi bercat putih gading setelah tiba di tempat tujuan.

Dari tempatnya sekarang, ia dapat melihat Tirta dengan jelas sedang bercengkrama bersama teman-teman yang lain. Gadis ber-headban cokelat itu memiringkan kepala, atensinya tetap berfokus pada seorang cowok, bagai disihir ia mengembangkan senyum. Ia tidak ingin momen ini cepat berlalu agar rindunya bisa terbayar tuntas untuk pemilik hati yang tak pernah mengetahui arti sikap berbedanya selama ini.

"Kalau boleh meminta, gue pengen terus tukar kabar sama lo, Ta," ucap Nata dengan raut sendu.

Seketika pikirannya melayang pada memori beberapa saat lalu, di mana percakapan antara dirinya dan Tirta berlangsung.

"Kalau lo gak dapat tantangan berarti lo gak mau chat gue?"

"Bener."

"Gak ada salahnya jalin silaturahmi."

Nata tergelak mengingat ucapan terakhir Tirta. "Jalin perasaan sama gue juga bisa, kok, Ta," ungkapnya sambil terkikik geli. Namun, aksinya tidak berlangsung lama ketika ia mengingat sesuatu.

"Idih, gue gak mau jadi PHO. Gue baru inget kalau Tirta punya Disya." Helaan napas kecewa langsung meluncur dari bibir. Seharusnya ia tidak melupakan kenyataan pahit itu.

Ponsel di genggaman Nata bergetar menandakan pesan masuk. Gadis itu mengangkat tangan kirinya ke hadapan wajah hingga menampilkan layar ponsel yang berpendar. Netranya seketika membulat saat membaca si pengirim pesan. Ia mencari keberadaan orang itu di sekitarnya, tetapi tidak berhasil. Lagi, ponselnya bergeter dan menampilkan pesan dari pengirim yang sama.

Tirta: Balkon.

Sontak ia mendongak, detik itu juga ia melihat kehadiran Tirta seorang diri di lantai dua rumah ini. Dari atas, laki-laki itu memberi kode pada Nata untuk menghampirinya, tetapi yang dikode hanya diam mematung. Tirta mendengkus seraya mengetik pesan. Detik berikutnya ponsel Nata kembali bergetar.

Tirta: Gue pengen ngomong sama lo, tapi gak lewat chat.

Sebelum menghampiri Tirta, Nata memandang sekeliling. Teman-temannya terlihat sibuk satu sama lain. Ia membuang napas pelan, jantungnya kembali berdetak tidak karuan. Tangannya perlahan berubah suhu menjadi dingin. Kalau sudah seperti ini, tidak ada cara lain selain berubah menjadi sosok kaku dan cuek di depan cowok itu agar kegugupannya dapat tersamarkan.

Gadis berkaus cokelat dan bercelana jins seperempat itu bangkit dari tempat duduk, lantas berjalan menghampiri Tirta di balkon. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat ingin memijakkan kaki ke anak tangga pertama. Nela menghadangnya dan menarik tangan Nata untuk bergabung bersama teman-teman yang lain.

"Tunggu, La. Gue ada urusan bentar, pengen cari jaringan di balkon, soalnya jaringan gue ilang kalau di sini." Ia merapal doa di dalam hati, berharap Nela percaya padanya.

"Masa sih?" tanya Nela sedikit ragu.

Nata mengangguk cepat. "Beneran. Nanti gue gabung." Setelah itu, ia pamit sebentar pada Nela dan berjanji akan kembali secepatnya.

Nata terus menapaki tiap anak tangga sampai ia tiba di tempat tujuan. Tanpa sadar ia memindahkan ponselnya dari tangan kiri ke kanan saat kaki menginjak lantai balkon. Merasa aneh, akhirnya ia menurunkan pandangannya, menatap tangan kanan yang memegang ponsel. Senyum tipis kontan mengembang, ternyata semuanya sudah kembali normal. Perlahan ia mencari keberadaan Tirta karena tidak mendapati keberadaan cowok itu di tempat sebelumnya.

Tidak melihat tanda-tanda keberadaan cowok itu, ia mendengus sebal karena merasa dibodohi. Akhirnya, Nata memilih untuk kembali ke halaman belakang. Namun, sebelum berhasil melangkah turun ke bawah, seseorang menariknya dari belakang hingga ia hampir terjatuh. Beruntung orang itu sigap memegang bahu kanannya.

Tirta tertawa kecil saat melihat ekspresi terkejut cewek berambut ekor kuda tersebut. Sebenarnya ia sudah melihat kehadiran Nata kala gadis itu menginjakkan kaki di balkon. Akan tetapi, jiwa jahilnya muncul dan berniat mengagetkan gadis itu. Nata mendorong dahi Tirta sembari melepaskan genggaman tangan Tirta di bahunya.

"Sejak kapan lo jahil kayak gini?" semprotnya.

"Gue emang kadang jahil, lo aja yang gak tahu." Tirta menatap Nata dengan tatapan datar.

Gadis itu memejam sebentar, berusaha memahami sikap Tirta. Sejujurnya, ia tidak bisa memahami tiap prilaku yang cowok itu miliki. Terlalu susah ditebak. Kadang ramah, dingin, judes, konyol, dan masih banyak lagi, tetapi ia lebih sering menghadapi Tirta yang judes dan dingin.

"Lo pengen ngomong apa?" tanya Nata to the point.

Laki-laki berzodiak Aries itu merubah ekspresi menjadi serius, membuat Nata mengernyitkan dahi. "Gue pengen lo mata-matain Disya di kampus," suruh Tirta, sengaja memelankan suaranya.

Berulang kali Nata mengerjap-ngerjapkan mata untuk mencerna apa maksud cowok di depannya ini. "Alasannya?" Hanya kata itu yang mampu ia lontarkan.

Jantung semakin berdegup tidak karuan. Ia ingin berteriak, menolak permintaan Tirta, tetapi kenapa lidahnya kerap kelu jika dihadapakan langsung dengan cowok ini? Bagaimana bisa ia menjadi mata-mata seorang gadis yang dicintai oleh seorang teman yang sudah lama ia taksir? Sementara ia sendiri mengharapkan cowok itu bersama dirinya.

"Lo tahu Disya, kan?"

Nata mendengkus. Mana mungkin ia tidak mengenal adik kelasnya yang satu itu. Seantero sekolah pun tahu siapa Disya. Gadis cantik multitalent SMA Nusa Bangsa.

Ia mengangguk sebagai jawaban. Tirta tersenyum penuh arti sambil memegang kedua bahu Nata. "Bantu gue buat mata-matain dia. Lo tau, kan, kalau Disya pacar gue? Akhir-akhir ini ada yang beda sama dia," curhat Tirta, meski ia sendiri tidak yakin menceritakan hal itu pada gadis di depannya ini.

"Kenapa harus gue?" tanya Nata menampilkan wajah cuek.

"Karena lo sekampus sama dia. Makanya gue bersyukur banget bisa ketemu lo di reuni ini." Tirta membuang napas pelan. "Sebenarnya gue pengen ngomong ini tadi pas perjalanan ke sini, tapi gue lupa. Mau bahas lewat pesan juga gue gak tahu cara jelasinnya." Tirta menatap Nata penuh harap. Ia sangat membutuhkan bantuan gadis itu.

"Gue mohon sama lo, bantuin gue,"

Mungkin ini yang dinamakan bodoh. Namun, ia tidak dapat menolak permohonan cowok itu. Untuk pertama kalinya seorang Tirta Derana memohon padanya. "Yaudah, gue bantuin."

***

Seandainya kita bisa memilih untuk meletakkan hati pada seseorang, gue gak akan mau pilih dia.

Nata menyapu pelan tulisannya yang terpahat di kertas. Air matanya luruh setelah menuliskan kalimat yang berasal dari dalam hati. Kalau tahu begini ia tidak akan mau membenci seseorang. Rasa sukanya berawal dari kebencian, tetapi kenapa harus Tirta yang ia benci?

Ia menutup jurnal birunya, tidak mau berlama-lama meratapi perasaannya. Hari ini rindu memang terbayar berkat reuni itu, tetapi pahitnya kenyataan cinta sepihak berhasil menampar di saat bahagia perlahan menyusup pada rongga hati.

Nata menghapus air mata saat sang ibu memanggilnya makan malam bersama. Setelah memastikan raut wajahnya baik-baik saja, ia bangkit dari kursi dan berderap keluar dari dalam kamar. Namun, baru melangkah dua kali, ia sudah terjatuh di atas ubin. Sensasi dinginnya lantai langsung menyambar pada kulit betisnya.

"Kenapa harus sekarang, sih!" kesal Nata sembari memukul betisnya dengan keras.

📘

The fourth day ODOC wH

Aku masih semangat😫😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro