-LIMA-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Pantasnya kamu mencintai yang juga cintai dirimu~

"Kenapa harus sekarang, sih!" kesal Nata sembari memukul betisnya dengan keras. Ia menoleh ke arah pintu dan langsung mendapati sang ibu yang sedang berkacak pinggang melihat tingkahnya.

Hana berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepala, "Ngapain kamu, Nat? Latihan jadi duyung?" komentar wanita paruh baya itu. Nata memonyongkan bibir, kesal karena ibunya tengah melayangkan lelucon di atas penderitaan.

"Latihan jadi duyung apanya, Bu. Ini kaki Nata gak bisa digerakin," gemasnya.

Hana mengernyit heran, ia lalu mendekati anaknya dan berjongkok di samping Nata. "Kekilir?"

Nata menggeleng sebagai jawaban. Gurat keheranan semakin jelas terlihat di wajah Hana. Ia memegang kedua kaki sang anak dan memijatnya pelan. Sadar anaknya duduk di atas ubin, Hana langsung memapah Nata berpindah ke atas tempat tidur. Tak berselang lama, suara anak bungsunya terdengar, memanggil agar segera ikut bergabung ke meja makan. Sepertinya mereka sudah tidak bisa menahan lapar lagi.

"Ya udah, kamu gak usah keluar kamar. Nanti Ibu bawain makanannya ke sini,"putus Hana, kemudian melangkah keluar dari kamar putri keduanya.

Nata menatap kakinya yang sama sekali tak dapat digerakkan. Ia berusaha sekuat tenaga menggerakkan jari-jari kaki, tetapi hasilnya nihil. Ia beralih memukul-mukul betis, sepersekian detik ia kembali terdiam. Otaknya bertanya-tanya, bahkan ia tidak bisa merasakan pukulan itu pada tungkainya.

***

Tirta menyeringai sembari meletakkan ponsel di atas meja, setelah puas bermain game online bersama beberapa teman yang ikut berkumpul di salah satu kedai kopi di pinggir jalan. Cowok yang lahir di bulan Maret itu mengusap wajah yang kelelahan. Ia meraih ponselnya dan memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana jins. Ia melirik teman-teman seperjuangan di masa SMA yang masih betah bergelut dengan ponsel masing-masing. Biasanya, semakin larut malam mereka akan semakin gencar bermain game online.

"Lo ingat gak, waktu sekolah dulu kita sering main game kayak gini pas lagi belajar," ucap salah satu dari mereka.

"Ingat ,dong. Si Tirta, Fadhil, Raka yang paling gak tahan kalau gak main," sambar cowok berkemeja kotak-kotak hitam di sebelah Tirta.

"Lo juga sama kayak gue," ungkap Tirta sembari menoyor kepala Andras.

Lagi-lagi jejak masa lalu kembali bermunculan. Seakan-akan masa SMA adalah masa yang tak ada habisnya untuk dikenang. Seketika semua yang bermain game menghentikan aktivitasnya, ingin bergabung di ruang nostalgia. Keriuhan kelas, meninggalkan kelas di saat jam pelajaran, bolos upacara demi bermain game online, contekan pada saat ulangan, menjadi topik pembicaraan malam ini.

"Gue paling ingat sama cewek-ceweknya, mereka paling gak bisa belajar kalau kita pada ribut, gombalin guru." Raka tergelak di akhir kalimat. Semua pun tertawa mengingat salah satu keisengan yang kini telah menjadi sejarah.

"Tapi ada satu cewek, lho, yang gak keganggu sama keributan kita-kita," sambar Fadhil. Mereka terdiam selama beberapa detik, lalu kompak berucap, "Nata!" Seruan mereka di akhiri tawa kencang.

Tirta menghentikan tawanya, seketika ia mengingat sikap gadis itu yang sedikit berbeda jika berhadapan dengannya. Cuek dan kaku, tetapi bersama yang lain gadis itu bisa dikatakan ramah. Ia menggeleng pelan, tidak bisa menebak perbedaan sifat Nata padanya. Cowok itu membuang napas berat, gara-gara sikap Nata yang cuek dan kaku, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa di depan gadis itu. Terkadang ia ramah, judes, dingin, dan masih banyak lagi.

Kenapa gue jadi mikirin Nata, keluhnya dalam hati.

Ia menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik, kepalanya menengadah ke langit malam pekat hingga netranya dapat melihat banyak bintang di atas sana. Senyumnya mengembang hingga menampakkan gigi ginsulnya. Saat melihat bintang, pikiran selalu melayang pada sosok pahlawan di keluarganya. Ayah. Tiba-tiba mata cowok itu memanas ketika kata ayah melintas bersama kenangan-kenangan yang masih setia melekat dalam benak.

Sepertinya, malam ini ia perlu berkunjung di tempat bersejarah dalam hidupnya. Tempat di mana banyak kenangan tercipta bersama sang ayah. Tirta bangkit dari kursi, lantas merogoh saku hoodie kesukaannya untuk mengambil kunci motor. Setelah berpamitan pada teman-teman, ia melangkah mendekati kendaraan roda dua berwarna putih miliknya dan langsung berlalu dari sana setelah berhasil bergelut dengan motor-motor yang tidak terparkir dengan rapi di sekitar motornya.

"Tirta kangen Ayah," lirihnya. Ia semakin mempercepat laju kendaraan, tidak sabar ingin sampai ke tempat tujuan.

Tak berselang lama, ia memarkir motor di depan halte bus. Ia melangkah pelan dan berhenti tepat di hadapan kursi tunggu. Tirta menatap kursi itu, tiba-tiba air matanya jatuh membasahi pipi, membiarkan cairan bening tersebut menetes di atas permukaan kursi berbahan besi yang sudah berkarat di makan usia.

"Dua tahun Tirta gak pernah dengerin suara ayah lagi. Ayah apa kabar?" monolog Tirta sembari menjatuhkan tubuhnya di depan kursi itu. Ia mengelus pelan benda berkarat di depannya, air mata semakin tidak bisa dihentikan.

Segala kenangan di tempat itu bermunculan satu demi satu dalam khayal, bagai kaset usang yang berputar menampilkan kisah lama. Kenangan saat di mana ayahnya mengantar ke sekolah tepat di depan halte bus ini, di mana ayahnya selalu menemaninya menangis di sini untuk mencurahkan isi hati. Dulu, teman-teman semasa sekolah dasar kerap kali menjadikannya sebagai objek bullying dan Tirta akan menceritakan semuanya pada sang ayah di tempat ini.

"Tirta gak ada teman cowok lagi di rumah. Harus jagain mama, kakak sama adek juga. Tirta seolah-olah jadi beban buat mama, Yah," curhat Tirta pada angin malam yang semakin berembus kencang.

***

Nata: Gue liat Disya.

Nata: Sama cowok lain.

Nata memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit di kepala. Hari Senin selalu menjadi hari tersibuk seorang Syanesa Arnata. Menghadiri rapat organisasi, membantu sang ibu di toserba saat jam kuliah pagi berakhir, dan sekarang ia kembali berada di kampus karena jam mata kuliah siang hampir di mulai.

Ia memandang room chat-nya bersama Tirta. Cowok itu belum membaca pesannya. Ia mengembungkan kedua pipi, matanya enggan berpaling dari benda pipih di tangan kanannya. Semilir angin siang hari membuat rambut sebahu gadis itu bergerak ke kanan. Nata mendongak, menatap gedung kuliah Hubungan Internasional di depan sana.

Gedung berwarna putih itu tidak akan sepi di hari Senin dan Selasa. Kebanyakan mahasiswa HI berkuliah di hari itu. Nata terlonjak saat seseorang duduk di sampingnya. Sepersikan detik ia mendengus lelah. Lagi-lagi mahasiswa Manajemen itu kembali menghampiri.

"Hai," sapa cowok berkemeja merah di samping Nata.

"Gedung kuliah manajemen bukan di sini, Sat," keluh cewek itu tanpa melihat ke arah cowok yang selalu ia panggil dengan sebutan 'Sat'.

Arsyad tertawa sambil menyentil dahi Nata. "Jangan panggil gue 'Sat', dong. Nanti jadinya bangsat,"

"Ya lo emang udah bangsat, sih." cengir Nata.

"Mulutnya nakal," ucap Arsyad sembari membekap mulut gadis itu.

Nata memukul tangan Arsyad dengan kuat. "Terus lo mau dipanggil apa? Anak kecil?"

"Gue bukan serial Shiva," kekeh Arsyad di akhir kalimat. Cowok itu memerhatikan sekitar taman gedung kuliah HI yang ternyata sedikit ramai dari biasanya.

Arsyad meletakkan tangan kanannya di atas kepala Nata, kemudian ia membelai rambut gadis itu. Nata memelotot, lantas memegang tangan Arsyad di atas kepalanya.

"Cie, yang megang tangan gue," gemas cowok berambut hitam kelam tersebut.

Nata mendecap. "Lepasin tangan lo."

"Gak! Sebelum lo mau jadi pacar gue."

📘

The fifth day ODOC wH
.
.
Aku masih napas dengan normal, tapi agak sesek sih😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro