-SEPULUH-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Aku selalu cinta tapi kamu tidak~

Disya meraih pergelangan tangan Nata dan menarik gadis itu agar berbalik ke arahnya. Disya pikir ia salah lihat jika ada seseorang yang memerhatikannya dari jauh dan memotretnya diam-diam, ternyata dugaannya tidak salah saat orang itu adalah Nata. Gadis yang kembali menjadi seniornya di kampus ini.

"Ponsel lo." Disya meminta ponsel Nata .

"Ngapain?" ketus Nata sembari menjauhkan ponselnya dari Disya.

"Gue tahu lo motret gue!" bentak Disya, tangannya berusaha meraih benda pipih di tangan kanan Nata yang sengaja disembunyikan di balik ransel.

Nata tersenyum miring, lantas memegang erat pergelangan tangan Disya hingga gadis itu meringis. Gadis bermata bulat di depannya kini memelotot kaget, tangannya meronta-ronta minta dilepaskan. Di dalam hati, Nata tertawa karena gadis di depannya tidak memiliki kekuatan sebanding dengannya. Akan tetapi, mungkin Nata lupa bahwa kebiasaan cewek saat bertengkar adalah menarik rambut.

Dengan sigap Disya melayangkan tangan kirinya yang bebas untuk menarik kencang rambut ekor kuda Nata. Nata sontak melepas pergelangan tangan juniornya dan memegang rambutnya yang ditarik kencang, ia sangat membenci seseorang bermain dengan rambutnya. Hingga Nata sadar bahwa orang di depannya ini adalah kekasih Tirta, ia tidak boleh kasar kepada Disya jika tidak ingin melihat kemarahan cowok itu.

Nata baru saja akan bersuara, tetapi jantungnya tiba-tiba berdenyut seperti dicubit keras. Nata lantas berjongkok dan membuat tangan Disya terlepas dari ikatan rambutnya. Sesekali ia meringis menahan sakit. Melihat kondisi Nata, Disya kabur begitu saja karena takut dicurigai sebagai pelaku kekerasan.

Jurnal berwarna biru di pangkuan seorang gadis jatuh begitu saja kala tangan tak bertenaga itu terkulai lemah di samping tubuh sang gadis. Semilir angin malam menerpa wajah Nata yang sedang terlelap di halte bus depan sekolah. Terlihat guratan di dahinya. Dalam hitungan beberapa detik Nata sontak membuka mata dan memegang jantungnya. Baru saja ia bermimpi tentang kejadian saat di kampus tadi.

Nata menegakkan tubuhnya, mencoba memperbaiki perasaannya. Seketika ia tersadar, tadi ia sempat menulis sesuatu di jurnal birunya sebelum akhirnya ketiduran di tempat ini. Nata lalu menjatuhkan pandangannya ke bawah dan mendapati bukunya terbuka lebar pada halaman terakhir tempatnya menulis.

Maaf, Ta. Gue gak bermaksud kasar sama Disya. Tapi, gue lakuin itu karena lo. Lo minta bantuan dan gue bantuin lo. Gimana perasaan lo setelah liat foto yang gue kirim? Sabar yah, mungkin itu cuma teman Disya.

Gadis itu tersenyum kecut saat membaca kembali tulisan tangannya beberapa menit lalu. Ingin rasanya ia menjauh, tetapi langkahnya selalu tertahan. Nata mendongak, berusaha menahan kristal bening di pelupuk mata agar tidak terjatuh. Ia tidak akan menangis karena peristiwa hari ini. Ia tidak boleh lemah karena rasa cintanya kepada Tirta.

Seketika ia tersadar sesuatu. Saat ini ia sedang berada di halte bus depan sekolah, tempat di mana Tirta sering meluapkan kesedihan. Nata membuang napas lelah. Kenapa ia bisa sampai ke titik ini? Mencintai seseorang yang tidak akan pernah melihatnya.

"Gue tahu, Ta. Lo selalu luapin kesedihan di sini dan kadang gue datang cuma buat dengerin curhatan tentang Bokap lo, tentang gimana caranya biar lo gak jadi beban sama keluarga sendiri, tentang lo yang takut gagal jagain Nyokap sama saudara lo." Nata memegang jantungnya yang lagi-lagi terasa sedikit perih. Entahlah, ia tidak peduli. Mungkin hanya gejala kecapekan.

"Gue selalu duduk tepat di belakang lo," ungkap Nata pada angin yang semakin dingin, tetapi tetap tak mengusiknya. Nata berjalan kebelakang halte tersebut dan duduk di sana menghadap tembok bangunan lain. Memang tak ada kursi di sana, hanya sisa trotoar yang Nata jadikan sebagai tempat duduk dan persembunyian saat Tirta tiba-tiba datang ke halte ini dan memulai ceritanya.

Yah, sejak kematian ayah Tirta dua tahun lalu, Nata kerap kali mengikuti cowok itu diam-diam sepulang sekolah. Ia selalu datang lebih cepat dan memarkir motornya sedikit jauh dari halte dan buru-buru ke belakang sana, duduk menunggu kedatangan cowok bergingsul itu.

"Maka dari itu, gue tau lo lagi gak baik-baik aja semenjak Ayah lo meninggal, Ta. Tapi, semenjak lulus gue mutusin buat lupain lo. Setahun gak ke sini rasanya hambar, gak dengerin curhatan lo dan sekarang lo sendiri yang minta jadi sahabat gue buat dengerin keluhan lo."

Suara tawa menggelegar di udara, seraya bangkit dari duduk lesehannya Nata bergumam, "Gue gak tahu, gue bimbang antara ada di sisi lo atau milih pergi lagi. Tapi, kalau gue sayang sama diri sendiri pasti gue bakalan menjauh, Ta. Dan gue sedang mikirin itu sekarang." Nata membuang napas berat, matanya memandang lurus jalan lenggang di depan sana.

"Hari ini lo lagi di Semarang, kan? Jangan tanya kenapa gue tahu, karena gue emang selalu tahu tentang lo. Medsos apa gunanya, sih," ucap Nata diiringi tawa sumbang. Malam itu, ia menyudahi kisah perihnya dan berharap hari esok kan lebih baik.

Nata mengurungkan niatnya menggunakan helmnya saat suara notifikasi pesan masuk tertangkap oleh pendengarannya. Nata meraih ponselnya dari dalam saku jaket dan mengecek pesan tersebut.

Tirta: Langit malam? Lagi sedih?

Sudut bibir Nata terangkat membentuk senyuman. Tirta mengomentari status WA-nya untuk pertama kali dan menebak dengan tepat suasana hatinya. Beberapa menit lalu ia memang sempat mengrim foto langit malam, hanya ada beberapa lampu jalan sebagai penerangan. Angin malam semakin menusuk wajahnya, ia akan membalas pesan Tirta saat tiba di rumah nanti.

***

Nata semakin mempercepat langkahnya, ia ingin segera pulang, merebahkan diri. Seharian ini ia disibukkan dengan perkuliahan dan rapat organisasi. Jam memang baru menunjukkan pukul dua siang, tetapi dari semalam kondisinya sedang tidak sehat.

Gadis ber-hoodie hitam itu berhenti berderap, ia mengecek ponselnya yang sedari tadi bergetar. Lagi-lagi ia disuguhkan oleh omelan-omelan Ivy dan Nela yang selalu menyuruhnya untuk melupakan Tirta. Mereka berdua tak pernah lelah mengingatkan bahwa cinta tak harus memiliki. Nata tertawa kecil dan memilih mengabaikan mereka berdua. Badannya lebih butuh istirahat kali ini.

Bruk!

Ringisan lolos dari bibir tipis Nata. Ia terjatuh meski tidak tahu apa yang menyebabkannya sampai tersungkur seperti ini. Gadis itu merasakan perih di dagunya akibat bergesekan dengan lantai koridor utama kampus. Nata meraba dagunya dan melihat bekas darah di tangannya.

"Ini gak beres, kayaknya gue harus ke dokter," ringis Nata lalu berusaha untuk bangkit. Anehnya, kali ini kakinya tidak terlalu sulit untuk digerakkan, hanya saja sedikit berat.

Orang-orang yang berlalu lalang di area kampus menatap Nata penuh keheranan. Akan tetapi, ia tidak pernah menghiraukan mereka. Nata terperanjat saat seseorang meraih bahunya dan membantunya untuk berdiri. Nata kontan memegang lengan cowok di sampingnya ketika badannya limbung.

"Dagu lo berdarah," ucap Arsyad sembari menyodorkan beberapa helai tisu pada Nata.

Rangkulannya belum ia lepaskan, takut Nata tidak dapat menahan diri untuk terjatuh. Nata meraih tisu itu, lantas membebatnya di dagu. Ia tidak memedulikan rangkulan Arsyad, ia lebih berfokus pada pikirannya mengenai keseimbangan badannya yang kadang tak bisa ia kendalikan.

"Gue pengen pulang," ucap Nata seraya melepas rangkulan Arsyad.

"Gue anterin," perintah cowok itu, seolah tak ingin dibantah.

"Dagu gue doang yang berdarah,"

"Kenapa bisa jatuh?"

"Kesandung," jawab Nata apa adanya meski harus berbohong. Ia sedang tidak ingin berbicara panjang lebar dengan seseorang.

"Kesandung sampai gak bisa jalan?" tanya Arsyad tidak percaya.

"Kekilir." Nata memutar bola matanya malas, ia kemudian berdiri tegap seakan baik-baik saja, padahal Nata bersusah payah melakukan itu agar Arsyad percaya padanya.

"Gue baik-baik aja, Sat. Udah yah, gue balik. Makasih bantuan dan tisunya." Setelah itu, Nata berlalu dari hadapan Arsyad dengan langkah tertatih ke arah parkiran kampus.

📘

The tenth day ODOC wH
.
.
Nih, cast si Tirta 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro