-SEBELAS-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Kisah cinta ini sederhana. Sesederhana aku menyakiti diri sendiri karena mencintai kamu~

Nata memandang rumah sahabat kecilnya yang sudah kosong selama setahun. Rumah lumayan besar itu berada tepat di sebelah rumahnya. Hanya ada tembok putih sedang sebagai pembatas kedua tempat tinggal itu. Dari tembok bercelah di depannya, Nata dapat melihat jelas kehadiran beberapa orang di sana.

Mata gadis itu memicing saat melihat punggung seorang cowok yang sangat familier. Nata semakin mendekatkan dirinya pada tembok untuk melihat orang itu. Ia mengaga lebar kala matanya menangkap wajah orang yang sangat dikenali.

Arsyad! kaget Nata.

Hana menepuk pundak anak gadisnya hingga terkesiap. "Lagi ngapain kamu, Nat?" tanya Hana dibarengi senyum tipis. Perempuan paruh baya itu berjalan pelan ke arah bunga-bunga berwarna di pinggir tembok sembari memegang selang air.

"Ada orang di rumah Nada, Bu," ucapnya pelan, berusaha menutupi gurat keterkejutan. Gadis yang mengurai rambut sebahunya itu berjalan mendekati motornya, berniat menuju ke kampus sekarang, meski ia ingin sekali memantau kehadiran cowok itu di sana.

"Oh, mereka yang beli rumah Nada." Nata menghentikan aktivitasnya yang sedang mengikat rambut. Tangannya menggantung di udara akibat pernyataan ibunya. Lidah tercekat, desiran darah terasa semakin kuat.

Beli? batin Nata.

Selain terkejut karena Arsyad membeli rumah itu, juga ada setitik rasa hampa kala mengetahui rumah yang selalu ia kunjungi sepulang sekolah dulu selama dua belas tahun, sekarang sudah berpindah kepemilikan. Ia tidak bisa lagi merenung di halaman rumah itu. Setelah sahabat kecilnya pergi, Nata kerap memanjat pagar pembatas hanya untuk mengenang masa kecilnya yang indah.

Nata terperanjat saat ibunya kembali menepuk bahunya. "Ibu kenapa hobi banget ngagetin Nata," kesal Nata sembari mengikat rambutnya.

"Abisnya masih pagi udah bengong aja. Udah sana berangkat, nanti telat kuliah lagi," suruh Hana. Terdengar kekehan pelan dari balik punggung Nata. Gadis itu tersenyum dan selalu merekahkan bibir saat mendengar kekehan perempuan yang melahirkannya.

"Ya udah, Nata berangkat sekarang." Ia menyalami tangan Hana sebelum menghampiri kendaraannya

Hampir saja Nata menancap gas, tetapi pertanyaan Hana mengurungkan niatnya. "Kemarin malam dari klinik sama kakak, 'kan? Dokternya bilang apa?"

"Katanya cuma kecapekan aja sama kurang olahraga."

Hana berdecak. Nata adalah anak gadis paling malas mengurus kesehatan. Benar-benar tidak memiliki pola hidup sehat. "Ibu selalu bilang sama kamu buat olahraga." Tarikan napas lelah tak luput dari pendengaran Nata. "Begadang, bangunnya juga kesiangan mulu. Jarang banget makan sayur, ikan, gorengan dinomorsatukan," kesal Hana sembari mengabsen keburukan-keburukan sang anak.

Nata tertawa kencang. "Itu udah sehat kalau menurut Nata, Bu. Udah, ah, Nata berangkat." Hana menggeleng tidak mengerti. Semua anaknya susah benar diatur. Mulai dari si sulung sampai si bungsu.

***

Udara jam tujuh pagi menambah semangat Nata menerima perkuliahan hari ini. Meskipun sebenarnya ilmu yang didapatkan dari kelas tidak seberapa dengan diskusi lepas yang membahas apa saja di organisasi dan komunitas yang selalu gadis itu dapatkan saat menyambangi sekretariat.

Indahnya berkumpul bersama para pemikir. Setidaknya, ia bisa membuktikan bahwa ia bisa menjadi rasional dihadapan Ivy dan Nela dengan bergabung dalam organisasi dan komunitas. Memang cinta sepihak membuatnya menjadi orang berbeda, lebih buta dan tuli. Maka dari itu, terapinya adalah berkumpul di sekretariat, bertemu sesama aktivis kampus.

Nata membeliak saat melihat Disya bersama cowok yang selalu membersamai gadis itu memasuki area parkiran dengan motor sport hitam. Mereka berdua kembali mengumbar kemesraan. Kali ini ia tidak bersembunyi, melainkan menunggu dua sejoli itu melewatinya.

Merasa diperhatikan, Disya berhenti melangkah dan menatap tajam seorang gadis berkemeja kotak-kotak biru, tak jauh dari posisinya berdiri.

"Gue tahu lo mata-matain gue. Tapi, gue rasa tugas lo udah selesai," ketus Disya.

Nata berdeham, menyembunyikan keterkejutannya juga rasa penasarannya. Ini semua karena kesalahan yang ia perbuat kemarin. Disya berhasil menangkap basah kegiatan sembunyi-sembunyi pengambilan gambar gadis itu bersama cowok yang sekarang berdiri berdampingan dengan Disya. Akan tetapi, mengenai kata 'selesai' ia sama sekali tak mengerti.

"Maksud lo?" Hanya itu yang bisa dikatakan. Ia tidak ingin melayangkan pertanyaan lebih mendetail untuk meminta penjelasan terkait perkataan Disya.

Gadis ber-dress selutut peach itu memutar bola mata malas. "Gue semalam putus sama Kak Tirta. Itu semua gara-gara lo yang kirimin foto kemarin." Disya berdecih. "Lo pikir gue gak tahu kalau lo suka sama Kak Tirta? Dari dulu gue sering mergokin lo natap Kak Tirta dari jauh!" murka Disya.

Jantung Nata bergemuruh, darahnya berdesir hebat. Nata melengos, berusaha meraup oksigen yang tiba-tiba terkikis di sekitarnya. Ia tidak sanggup berkata apa pun lagi selain hanya diam. Ia membiarkan Disya menghardik sesuka hati. Seketika pikiran apakah Tirta mengetahui perasaannya dari Disya melintas di benaknya.

Setelah Nata tak mendengar suara gadis itu lagi, ia berjalan cepat menuju gedung perkuliahan dengan perasaan tidak tenang. Dari belakang seseorang mendorong punggungnya agar mempercepat langkah. Ia sontak berbalik.

"Kenapa, sih?" geram Nata saat melihat Edwin, teman seruangannya, terus mendorong.

"Bu Mey udah ada di belakang, tuh. Cepetan!" perintah Edwin. Nata kontan berlari, menghiraukan Edwin yang sedang bersungut-sungut karena ditinggalkan.

Pelajaran berlangsung membosankan, tidak seperti biasanya. Nata sudah gemas ingin segera berlalu dari sana. Beruntung, posisi duduk paling belakang memberinya akses bebas untuk bermain ponsel. Jika tidak ia akan ketiduran sekarang juga karena matanya semakin menuntut, meminta dipejamkan.

Waktu terus bergulir, lima belas menit lagi perkuliahan hari ini selesai. Nata melirik jam di ponselnya. Pukul 09.05. Ia membuang napas kasar. Bukan karena waktu yang terasa lambat, melainkan hari ini Tirta sama sekali tak mengiriminya pesan mengenai tugasnya memata-matai Disya. Apakah mereka berdua benar-benar putus?

Nata terperanjat saat ponselnya bergetar. Matanya berbinar, berharap itu Tirta. Tak berselang lama, binar itu berubah menjadi tatapan lelah. Lagi-lagi Ivy kembali melayangkan perintah agar berhenti berhubungan dengan Tirta. Nata menjatuhkan kepalanya di atas meja, tak peduli dengan dosen yang berceloteh di depan sana.

"Ayolah. Gue harus menentramkan hati yang mulai layu ini," keluhnya entah pada siapa. Tak berselang lama, salam penutup perkuliahan dari dosen di depan sana berhasil membuat Nata melebarkan senyum.

Hari ini ia akan mengunjungi suatu tempat di mana ia bisa merasakan kehadiran seseorang meskipun tidak melihat fisiknya secara langsung.

***

Tirta memelankan laju motor kala melintasi halte bus favoritnya. Matanya melebar sempurna saat mengetahui gadis yang ia lihat dari jarak beberapa meter tadi adalah Nata. Gadis itu sedang memejamkan mata, menikmati hawa hangat pagi menjelang siang. Bahkan suara mesin motor Tirta yang sudah berhenti berbunyi tidak dihiraukan oleh gadis itu.

Tirta turun dari atas motor dan berhenti tepat di depan Nata. Ia berkacak pinggang dengan almamater kebanggaan kampus tersampir di bahu kanannya. Lelah cowok itu seketika menguap saat memerhatikan wajah Nata yang bersih tanpa riasan make up.

"Natural," gumamnya dan tanpa sadar tersenyum. Menyadari apa yang baru saja terjadi, ia lalu berdeham hingga membuat Nata tersentak.

Nata mengerjap perlahan, detik itu juga ia membulatkan mata, di saat bersamaan mulutnya ikut mengaga lebar. Dengan kecepatan kilat, ia berlari ke arah motor tanpa memerhatikan ekspresi keheranan cowok di depannya.

"Aduh." Nata mengadu kesakitan saat lututnya beradu dengan kerasnya trotoar.

📘

The eleventh day ODOC wH
.
.
Udah hari kesebelas aja nih😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro