-DUA BELAS-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Mungkin cobaan untuk persahabatan atau mungkin sebuah takdir Tuhan~

"Nata!" Tirta lantas mendekati Nata yang sedang meringis kesakitan. Ia memperbaiki letak almamaternya di pundak, setelah itu memapah Nata untuk duduk di kursi halte.

"Punya hobi diganti kali, Nat. Masa iya jatuh mulu," olok Tirta diiringi tawa garing.

Nata tidak menggubris perkataan Tirta. Entah mengapa seluruh sarafnya terasa kaku. Gugup dan malu bercampur jadi satu. Jantungnya semakin berdetak cepat kala Tirta melepas ransel dari pundaknya untuk mengurangi beban. Sementara itu, Tirta hanya memasang wajah datar, tidak tahu saja ada organ tubuh yang tak bekerja dengan normal karena ulahnya.

Beberapa kali gadis itu mengerjap. Rasa ingin hilang begitu saja melintas dalam pikiran. Ia menggigit daging bibir dalamnya sebagai pelampiasan kegugupan.

"Bengong doang. Ngomong, kek, kenapa lo ada di sini? Atau lo punya saudara sekolah di sana?" Nata mengikuti telunjuk Tirta ke arah sekolah dasar yang sedang ramai oleh aktivitas murid-murid di waktu istirahat.

Gadis itu mendesah berat, sudah ia duga pertanyaan demikian akan meluncur dari bibir cowok di sebelahnya. Nata mencoba memutar otak, menemukan kebohongan seperti apa yang harus diucapkan agar terdengar tidak mengada-ada untuk orang logis seperti Tirta.

Ia berdeham, tiba-tiba kerongkongannya terasa kering. "Lagi ada tugas penelitian dari komunitas gue," pungkasnya sembari berusaha menggerakkan kaki.

Tirta tidak lagi bertanya padahal ia sendiri masih ingin melayangkan pertanyaan, tetapi hanya ada anggukan mengerti. Perhatiannya tersita, mengamati gurat serius gadis itu. Kedua alis Nata menyatu, mata memandang lurus kedua kakinya. Sekilas peristiwa saat Nata terjatuh di lapangan kembali merebak.

Aneh banget, batin Tirta.

"Gak bisa gerak lagi?" tanya cowok itu. Nata sontak mendongak. Raut terkejut dapat Tirta lihat, tetapi dalam hitungan detik gadis itu mengubah ekspresi wajah.

"Mungkin dia lelah," cicit Nata, membuat Tirta tergelak.

"Dih, malah ketawa," sungut gadis itu, "emang lucu?" Wajah polos Nata kontan membuat cowok berambut berantakan itu menyemburkan tawa lepas.

Sisi lain Tirta aneh banget, takjubnya.

Suara tawa menguap di udara saat Nata memandangnya seolah bertanya. Tirta menggaruk tengkuk, tiba-tiba suasana berubah menjadi canggung. Bunyi kendaraan dan teriakan murid-murid sekolah dasar yang tengah bermain beradu jadi satu. Akan tetapi, bagi mereka berdua tempat itu tetap sepi tanpa ada hiruk pikuk kehidupan.

Tak ada yang berinisiatif memecah keheningan di antata mereka. Masing-masing menyelami otak, mencari kosakata yang entah kenapa sangat sulit ditemukan. Tirta benci kecanggungan, sementara Nata tidak betah berada dekat dengan Tirta, jantungnya bisa-bisa terlepas dari tempatnya.

Hingga akhirnya Tirta lebih dulu membuka suara. "Gue putus sama Disya." Tak ada respons berarti dari gadis di sampingnya. Hanya ada anggukan pelan dalam durasi singkat.

"Lo gak kaget?" heran Tirta. Ia pikir gadis itu akan menyuguhkan ekspresi tidak percaya.

"Disya bilang sama gue. Dia tahu kalau gue mata-matain dia. Sori, karena gue hubungan lo kandas."

Cowok berkemeja putih itu menatap Nata dengan tatapan menuntut, meminta penjelasan lebih. Nata membuang napas kasar, sangat tidak mengenakkan berada di posisi seperti ini. Rasa bersalah dan senang memang bercampur menjadi satu, tetapi rasa kasihan jauh lebih kuat kala melihat wajah kecewa Tirta.

Akhirnya, ia menceritakan semua tentang Disya yang memilih orang lain dan tega menghempas Tirta begitu saja. Bagaimana ia dan Disya bertengkar karena sebuah foto. Sontak Tirta menoleh ke arah Nata.

"Kalian kelahi?" kaget cowok itu setengah berteriak. Nata membulatkan matanya dengan kedua pipi kembang kempis. Salah tingkah, nyalinya pun menciut. Lagi-lagi salting menguasai gerak tubuhnya saat Tirta memberi respons terkejut atas ceritanya.

"Heheh, gitulah. Disya gak terima gue foto dia. Sekali lagi sori, Ta. Ini semua gara-gara gue, lo putus sama Disya." Raut khawatir menghiasi wajah Nata meskipun sebenarnya gadis itu ingin melebarkan senyumnya. Bahagia tiba-tiba menyeruak dalam diri tanpa bisa dicegah.

"Justru gue yang harusnya minta maaf. Gara-gara gue, lo pasti jadi kena jambak dari Disya," tebak Tirta tepat sasaran.

"Kok tau?"

"Ya iyalah, gue tau si Disya itu bad temper. Kalau kelahi pasti main rambut. Tipikal cewek banget," ujar Tirta dengan senyum tipis menghiasi bibir. Akan tetapi, senyumnya tak berlangsung lama saat menyadari sesuatu.

"Kalau Disya narik rambut lo, terus lo apain si Disya? Jangan-jangan lo nonjok Disya!" serunya. Mata cowok itu membulat tak percaya. Nata mendengkus sembari meraup wajah Tirta yang menurutnya terlalu lebay.

"Yakali! Gue gak main kasar sama sesama cewek, ya. Gue tetep cewek tulen," elak Nata sembari memonyongkan bibir.

Tirta tergelak, lantas merangkul pundak gadis di sampingnya. "Gue tahu sahabat gue gak bakalan nyakitin Disya. Oh iya, tugas lo belum kelar. Lo harus gantiin posisi Disya buat dengerin curhatan gue." Tirta menaik turunkan alisnya saat menatap Nata dalam rangkulannya.

Percayalah, ia melakukan hal itu karena tidak sanggup dengan keadaan canggung yang terus menghimpit. Mulai sekarang, ia harus membangun atmosfer di antara mereka berdua terus mencair agar tidak ada lagi sunyi mengapit kala bersama.

Sementara Nata berusaha mengatur detak jantung. Tidak ada jarak antara dirinya dan Tirta. Ia takut jika cowok itu merasakan jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Udah kali, Ta. Lepasin rangkulan lo," sebal Nata.

Tirta tersenyum kikuk sembari melepas rangkulannya. Hatinya yang semula bermuram durja, kini tampak lebih bahagia. Ternyata tak salah memilih Nata sebagai sahabatnya. Tersadar akan sesuatu, Tirta melihat ke arah tungkai gadis itu.

"Kaki lo udah baikan?"

Nata mengangguk seraya mengayun pelan kedua kakinya. Seketika ucapan dokter di klinik terlintas di kepala.

***
"Harusnya kamu ngertiin aku! Kamu pikir jadi driver ojek online itu mudah?" Suara lelaki paruh baya menggema, mengikis ketenangan rumah di pagi hari. Nata menutup telinganya dan berlari keluar rumah.

"Aku berusaha ngertiin kamu, Mas. Ya udah kamu istirahat aja, biar aku yang kerja hari ini."

"Harusnya memang gitu!" bentak Adam sembari menghempas kursi plastik yang biasa digunakan untuk bersantai di depan TV.

Tidak ada lagi sosok ayah yang selalu menghalau air mata anaknya jika ingin tumpah, tidak ada lagi sosok suami yang selalu menjaga perasaan hati istrinya. Semua berubah dalam setahun ketika ayahnya dipecat dari pekerjaan kantoran. Amarah raja lebih sering membalut kerajaan kecil itu, hati ratu yang sudah terpecahkan menjadi tak kasatmata bagi pemimpin rumah tangga itu.

Jika ada kejadian yang paling tidak ingin Nata jumpai adalah ini, pertengkaran kedua orang tuanya. Entah sudah kali keberapa ia mendengar sang ayah marah-marah tanpa alasan yang jelas. Sifat lembut sang ibu pun tak mampu meredam teriakan keras itu. Hanya sedikit orang tua yang menyadari bahwa pertikaian sekecil apa pun di hadapan anak bisa berdampak sangat serius bagi anak tersebut.

Gadis yang sudah semester empat di dunia perkuliahan itu pun tak bisa bertindak banyak saat ibu melarangnya ikut campur urusan pertengkaran orang tuanya. Derai air mata terus bercucuran. Kenapa bahagia hanya sebentar menyambanginya? 

Perasaan kacau membawa gadis berjaket parasut itu ke rumah sahabat kecilnya. Rumah kosong dengan pekarangan luas selalu mampu membuatnya tenang memandang ilusi dirinya saat kecil dulu yang hanya tahu bermain di tempat itu tanpa mengerti beban orang tua.

"Andai lo masih di sini, Nad," lirih Nata sesaat setelah melompat turun dari tembok pembatas dan berhasil memijakkan kedua kakinya di atas tanah.

Kakinya menuntun ke hadapan teras rumah, ia mengernyit begitu melihat banyak barang dibalut kardus di atas lantai marmer. Nata semakin mendekatkan diri ke teras sembari menghapus sisa air mata di pipi. Sampai terdengar seruan mengisi lorong telinganya, suara yang sangat ia kenali.

"Siapa lo?"

📘

The twelft day ODOC wH
.
.
Ini dia si Nata, gengs😂. Aku jumpe dia kok mirip banget sama khayalanku

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro