-TIGA BELAS-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Jangan pikirkan dukaku, risaukan saja pedihmu~

Hari ini keluarga Tirta resmi pindah rumah karena wanita yang melahirkannya semakin kesulitan hidup  dalam bayang-bayang almarhum suami. Sebelum meninggalkan rumah penuh kenangan bersama almarhum sang Ayah, Tirta ingin mengenang sesuatu di tempat favoritnya. Halte bus.

Sembari menunggu keluarganya melewatinya, perlahan cowok berkaus hitam itu meletakkan tas gitarnya di kursi yang ia duduki, kemudian mengeluarkan benda yang berada di dalam tas  tersebut. Hadiah terakhir dari ayahnya. Sudah lama Tirta tidak memainkan alat musik bersenar di pangkuannya itu.

Dengan hati-hati, Tirta memetik senar-senar yang melekat pada gitar hingga menghasilkan suara cempreng. Tirta meringis sembari memperbaiki senar-senar gitar tersebut, mengaturnya sedemikian rupa sesuai kunci nada yang sebenarnya. Hanya butuh waktu lima menit, Tirta kembali memetik senar gitarnya. Senyum secerah sinar mentari pun menghiasi wajahnya.

"Oke, berhubung gue baru putus, lagu galau siap meluncur," kekeh Tirta di akhir kalimat. Bunyi dari gitar di pangkuan Tirta mengalun indah di halte bus. Hanya ada beberapa orang berlalu lalang dengan kendaraan mereka karena memang jam masih menunjukkan pukul 06.15.

'Ku rindu disayangi sepenuh hati
Sedalam cintaku, setulus hatiku
'Ku ingin dimiliki kekasih hati
Tanpa air mata, tanpa kesalahan

Tirta menghayati tiap lirik dari lagu "Kesepian" yang dipopulerkan oleh band Dygta. Bayangan dirinya bersama Disya seketika melintas dalam benaknya. Ia tidak menyangka hubungan mereka usai karena gadis yang sangat ia cintai begitu tega menduakannya.

Bukan cinta yang melukai diriku
Dan meninggalkan hidupku lagi

Curiganya ternyata tidaklah salah. Selama ini ia mencoba menghargai perubahan sikap Disya padanya. Akan tetapi, melihat Disya yang tak pernah mengabarinya lagi, menariknya untuk meminta pertolongan Nata. Dari Nata akhirnya ia tahu kalau Disya memang sudah tak mengharapkan dirinya lagi.

Tolonglah aku dari kehampaan ini
Selamatkan cintaku dari hancurnya hatiku
Hempaskan kesendirian yang tak pernah berakhir

Bahkan pada saat matanya melihat Disya bersama cowok lain di waktu ia tanpa sengaja bertemu dengan Nata di parkiran, ia masih memberi kesempatan pacarnya untuk menjelaskan hal itu. Namun, Tirta tak pernah mendapatkan apa yang ia inginkan dari Disya. Tirta terlalu mencintai gadis bermata bulat itu, tetapi ia juga tidak bisa mempertahankan hubungan mereka di saat hanya ia sendiri yang mencinta.

Bebaskan aku dari keadaan ini
Sempurnakan hidupku dari rapuhnya jiwaku

Ia tidak marah, mungkin Disya sudah bosan dengannya. Ia mencoba untuk mengerti walaupun hatinya harus hancur karena kehilangan seseorang yang menemaninya selama tiga tahun.

Adakah seseorang yang melepaskanku dari kesepian ini?

Bertepatan dengan lirik terakhir, Tirta dihadapankan oleh bayangan Nata. Sontak ia membuka mata, napasnya menderu. Bagaimana mungkin Nata menyusup dalam alam bawah sadarnya?

"Dia sahabat gue, jadi wajar kalau Nata tiba-tiba nongol." Tirta memukul pelan pipinya berulang kali, berusaha mengembalikan kesadarannya.

Pip!

Bunyi klakson mobil membuat cowok itu langsung mendongak. Dilihatnya kendaraan sedan berwarna putih milik bundanya sudah berlalu, melaju dengan kecepatan pelan, itu menandakan bahwa ia harus segera beranjak dari sana. Dengan perasaan hampa, Tirta memasukkan gitarnya ke dalam tas kemudian berderap mendekati motornya. Berharap kisah baru kan lebih baik.

Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di tempat tujuan. Entah mengapa semenjak memasuki perumahan Tirta mengalami de javu. Rasanya seperti telah menginjakkan kaki di daerah ini. Motor berhenti, bola mata Tirta terus bergerak, mengamati sekitar.

"Gue kayak pernah ke sini," pikirnya seraya berjalan keluar dari halaman rumah.

"Tirta!" seru seseorang dari arah belakang. Tirta sontak berbalik dan melihat ke arah sumber suara, sepersekian detik senyumnya merekah.

"Woy! Udah lama gak ketemu tau-tau udah di sini." Ada rasa bahagia kala melihat saudara sepupunya menampakkan batang hidung di rumah barunya. Walaupun ia sendiri tidak tahu bagaimana bisa cowok beralis tebal itu bisa ada di sini.

Arsyad tertawa menanggapi ucapan Tirta. Sudah ia pastikan cowok di depannya pasti terkejut melihat keberadaannya di sini. "Dua hari lalu gue disuruh sama Mama buat nemenin Tante Indah ke sini, biar tahu kalian pindah rumah ke mana, dan sekarang gue di suruh nyambut lo," jelas Arsyad sembari bersandar pada tembok pagar dari luar rumah.

Tirta mengangguk pelan. Baru saja ia ingin melemparkan lelucon, suara bundanya mengagetkan dua pemuda sepantaran tersebut.

"Ta, Syad. Kalian di sini dulu, yah, tungguin barang-barang pindahan datang. Bunda ada urusan bentar," ujar Indah dari dalam mobil. Tirta menelengkan kepalanya, melihat kakak dan adiknya ternyata ikut.

"Kok mereka ikut, Bun?" protes Tirta.

"Emang kamu mau ikut liat perabotan rumah tangga?" Mendengar itu, Tirta langsung menampakkan wajah masamnya, membuat tiga orang yang berada di dalam mobil terkekeh pelan.

Mobil pun melaju, meninggalkan Tirta dan Arsyad. Tirta memejamkan matanya, menikmati terpaan sinar matahari, sementara Arsyad memilih masuk ke dalam rumah. Betapa terkejutnya cowok ber-jeans sobek di bagian lutut itu kala melihat seorang gadis tengah berdiri mematung di depan teras rumah.

"Siapa lo?" tegur Arsyad hingga membuat gadis itu memasang tudung jaketnya dengan cepat, menutupi kepala dan berlari ke arah tembok pembatas, memanjatnya dalam hitungan detik.

Arsyad mengaga tak percaya dengan apa yang ia lihat barusan. Saking terkejutnya, ia lupa untuk menangkap gadis itu. Akan tetapi, untuk mengetahui siapa dia, tidaklah sulit sebab gadis itu melompat di rumah seberang.

Aelah, calon tetangga. Arsyad tertawa dalam hati.

"Lo ngomong sama siapa tadi?" Tirta mendekati Arsyad, masih mematung dan mata tertuju pada rumah di sebelah kanan. Tirta pun turut melakukan hal yang sama. Seketika otaknya memaksa mengingat sesuatu.

"Perasaan, nih, rumah gak asing. Gue pernah ke sini," cetus Tirta walaupun sebenarnya ia belum yakin dan masih berusaha untuk mengingat-ingat.

"Perasaan lo aja kali. Tapi, tadi gue liat cewek, lho, di sini. Masa manjatnya cepet banget pas gue tanya dia siapa," ungkap Arsyad seraya menggaruk-garuk dagunya.

Tirta diam, tidak tahu harus mengatakan apa. Ia memilih kembali keluar pagar dan berjalan sampai di depan sebuah rumah berlantai satu yang ia tatap tadi. Tirta memukul kepalanya berulang kali, berharap otaknya dapat mengingat. Capek berdiri, ia memilih duduk di kursi panjang yang ada di depan rumah itu.

Tas gitar yang masih tersampir di bahunya sudah ia pindahkan di sebelahnya dan mengeluarkan alat musik itu dari tempatnya. Petikan gitar memecah keheningan. Tirta tidak peduli jika suara gitarnya menganggu orang-orang yang masih beristirahat. Sejauh pengamatan cowok itu, tempat ini sangat sepi dari kegiatan pagi hari pada umumnya.

Tirta tercekat saat suara besi pagar dari arah belakang berdecit. Ia sontak berbalik dan melihat seorang cowok berseragam putih abu-abu lengkap dengan headset di telinga. Cowok itu berjalan melewati Tirta dan sama sekali tidak menggubris keberadaannya. Tirta membuang napas geli. Sekarang ia baru mengingat rumah ini.

Dua tahun lalu ia pernah mengantar pulang teman sekelasnya ke sini. Orang itu adalah Nata. Ia baru menyadari saat melihat wajah siswa sekolah menengah atas tadi. Wajahnya sedikit mirip dengan Nata. Tirta mengembangkan senyumnya, dengan gitar di genggamannya, Tirta berdiri menghadap rumah berwarna biru muda di depannya.

"Nat, ini gue Tirta!" teriak Tirta sekeras mungkin agar orang yang di maksud keluar dari rumah.

Aku masih sama. Sama mengharapkanmu

Nata baru saja menuangkan beberapa kata dalam jurnal birunya, terpaksa terhenti karena bukunya jatuh membentur lantai akibat keterkejutannya. Nata mencubit pergelangan tangannya, mencoba meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Akan tetapi, suara itu kembali terdengar memanggil namanya.

Hana menengok anaknya di ruang tamu dari ruang tengah. "Nata itu temen kamu, kan, yang manggil?"

Gadis berkaus biru langit itu melirik ibunya, lalu berkata, "Iya, Bu. Temen Nata,"

"Samperin gih, kasian dia teriak-teriak kamunya malah bengong di sini," omel Hana, tetapi senyum tipis tak pernah pudar dari wajahnya.

Dengan perasaan campur aduk, Nata bangkit dari duduknya. Kakinya bergetar, suhu tubuhnya tiba-tiba mendingan. Dalam benaknya, kenapa Tirta bisa berada di depan rumahnya sekarang? Nata mengintip dari celah pintu yang ia ciptakan. Matanya semakin melebar kala melihat kehadiran sosok lain di sana.

"Duh, Tirta sama Arsyad ngapain bisa samaan datangnya," heboh Nata tanpa sadar mengundang kehadiran kakaknya, Lia.

"Kenapa, sih? Masih pagi, gak usah belingsatan gitu," tegur sang kakak, membuat Nata menggumam kesal.

📘

The thirteenth day ODOC wH
.
.
Aku ingin menampilkan sosok gadis yang sangat Tirta cintai, cekidot👇🤣

Glowing sekali, Nata mah lewat🤣
Btw lagu yang dinyanyiin Tirta ada di multimedia, yah👆 yang lagi galau boleh cek tuh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro