8. Diskusi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kuliah?"

Aku mengiakan. "Aku nggak nyangka kamu ternyata punya kehidupan kampus."

"Terpaksa," sahut Nada. Intonasi suaranya terdengar sekenanya saja. "Bonyok maksa. Katanya, biar gue ada masa depan. Padahal aslinya gue ogah."

"Bonyok?" ulangku, sedikit bingung. "Kamu dihajar habis-habisan dulu biar mau kuliah. Gitu?"

"Bokap nyokap. Lo ngelawak apa gimana?"

"Ya maaf." Aku manyun lima mili. "Aku baru beberapa hari di sini, ingat? Literally."

"Lo ngomong gitu kontras banget sama gaya bicara lo. Udah mirip ala-ala anak Jaksel. Tinggal pakai gue-lo, plek persis."

Rasa-rasanya, obrolan kami sudah melenceng dari topik awal.

"Um ...," baru aku ingin bicara, Nada sudah memotong lebih dulu,

"Oke, balik ke topik." Suara Nada terdengar serius. "Dari lo sendiri gimana? Lo mau kuliah sebagai gue atau enggak?"

"Depend." Aku menegakkan badan. "At least, kasih bayangan dulu. Jurusan, fakultas, kampusnya di mana, terus segala macam tetek bengeknya."

Ada jeda diam di antara kami. Jeda yang cukup buatku untuk membenarkan posisi duduk dan anteng di sisi ranjang.

Bisa kudengar Nada mendebas sebelum berkata, "Gue kuliah jurusan Matematika, MIPA." Lalu, dia menyebutkan nama universitas yang aku tahu merupakan salah satu kampus terbaik di Indonesia. "Sekarang, gue lagi semester tiga. Gue bukan mahasiswi yang menonjol-menonjol amat. Gue biasa aja. Jadi, kalau lo nerima tawaran kuliah itu, kayaknya enggak bakal ada masalah. Gue tipe kupu-kupu. Kuliah pulang, kuliah pulang."

Dari rentetan kalimat Nada, ada satu hal yang langsung menarik perhatianku. Segera saja aku menyela, memastikan, "Matematika?"

"Yes." Nada membenarkan. "Kenapa? Lo benci sama matematika?"

"Sebaliknya. Aku suka matematika."

Itu fakta, sih. Bukan bermaksud buat takabur atau apa, tapi sejak SD aku sudah sering diboyong untuk mengikuti olimpiade dan kompetisi matematika. Itu terus berlanjut hingga aku SMA. Bahkan, sejujurnya, sewaktu SNMPTN, aku memilih Matematika Murni sebagai jurusan pertama. Dan, aku berhasil lolos.

Yah, sebelum beberapa hal terjadi dan aku batal kuliah.

"Oh, kalau gitu enggak ada masalah, 'kan?" kata Nada lagi.

Aku menghela napas pendek, menimbang-nimbang. Sembar itu, aku berusaha mencari topik obrolan. "Seenggaknya, kita punya minat yang sama," kataku pelan.

"Maksud lo?"

Aku mengernyit. Si Nada ini pura-pura tidak ngeh atau memang tidak mengerti? "Matematika. Kamu suka matematika juga, 'kan?"

Nada ber-oh. "Enggak."

Oke, sekarang aku jadi lebih bingung. Bahkan aku sampai menjauhkan ponsel dari telinga dan menatapnya dengan tatapan "are you kidding me?". Seolah-olah, lawan bicaraku bisa melihatnya.

"Jangan bilang kamu salah jurusan?" tebakku.

"Bukannya gue udah bilang kalau gue kuliah karena terpaksa?"

Fix! Dia salah jurusan.

Aku geleng-geleng. "Salah jurusan tapi betah tiga semester. Salut, deh."

Di ujung sana, kudengar Nada mendecak. "Sotoy lo. Gue kuliah matematika karena Niel—" Ucapannya berhenti begitu saja. Seolah baru saja mengatakan sesuatu yang seharusnya dia tidak keceplosan.

Mendengarnya, aku termangu.

Niel?

"Kenapa dengan Niel?" tanyaku, refleks.

Hening. Beberapa saat mungkin bisa aku tolelir. Masalahnya, lama menunggu, Nada tidak kunjung bicara.

"Hei? Halo? Kamu di sana, 'kan?" panggilku. Hampir saja aku menaikkan intonasi suara kalau tidak ingat Niel ada di kamar sebelah.

"Nyokap lo manggil gue. Gue enggak bisa lama-lama," sahut Nada setelahnya. "Intinya, lo pikirin aja dulu. Kalau lo mau kuliah sebagai gue, ya silakan aja. Enggak juga enggak masalah. Toh, nantinya gue juga bakalan mati."

Setelahnya, panggilan terputus. Menyisakan aku yang terbengong-bengong.

Ada apa sebenarnya ini?

Ada dua fakta penting enggak penting tentangku. Pertama, aku suka dengan matematika. Dua, aku pengin banget kuliah.

Untuk yang pertama, bisa dibilang, aku menghabiskan banyak waktu buat mengasah skill di bidang matematika. Aku juga berusaha aktif mengikuti berbagai kompetisi. Meskipun, yah, rekor terbaikku cuma sampai jenjang provinsi. Aku belum pernah memelesat ke tingkat nasional meskipun ingin sekali.

Nah, yang kedua itu ada hubungannya dengan kenyataan pertama. Mewujudkan kecintaan dengan matematika, awalnya aku berencana kuliah jurusan matematika di universitas luar daerah. Maklum, tempat tinggalku cuma punya beberapa sekolah tinggi. Dan, semuanya tidak punya jurusan yang aku inginkan. Jadilah kudu lintas provinsi dulu.

Sayangnya, aku gagal mewujudkan mimpi itu.

Padahal, sebenarnya aku lolos SNMPTN, loh. Tinggal melengkapi berkas saja. Namun, yah, seperti yang mereka bilang, ada beberapa hal yang kadang tidak selaras dengan impian kita.

Waktu itu, Abah jatuh sakit. Gejala strok. Meskipun cuma gejala, ternyata, itu membawa dampak yang lumayan besar. Tubuh Abah jadi tidak sekuat dulu. Tenaganya untuk bekerja seakan lenyap. Ditambah, sebelum mengalami gejala strok, Abah sudah punya sederet penyakit lain.

Harta benda yang kami punya semuanya dijual demi pengobatan Abah. Qadarullah akhirnya perlahan-lahan Abah bisa sembuh meskipun harus rutin memeriksakan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat.

Karena itulah kemudian Mamak memintaku untuk mengubur impian berkuliah. Awalnya, aku sempat menolak. Marah. Kecewa. Juga, aku bilang, aku bisa kok cari biaya sendiri. Namun, Mamak bilang aku harus realistis. Untuk makan sehari-hari saja, kami terbilang seret.

Seberapa besar pun keinginanku kuliah, pada akhirnya, aku tidak bisa melawan Mamak. Terpaksa, dengan berat hati, aku mengubur impian itu. Lulus dari sekolah, aku kemudian membantu Mamak berjualan di kantin sekolah. Untungnya, karena semasa sekolah aku terbilang punya hubungan baik dengan berbagai pihak, aku tidak kesulitan mendapatkan tempat untuk kami berjualan.

Begitulah.

Aku tidak pernah terpikirkan hal ini, jujur. Jiwaku berpindah ke badan orang lain saja sudah cukup membuatku. Ditambah, aku ditawari kuliah. Bagaimana bisa aku tidak bingung?

Bingung, bo!

Aku galau. Di satu sisi, aku ingin. Maksudku, kapan lagi kesempatan seperti ini datang? Namun, di sisi lain, aku agak khawatir.

Karena, ini kehidupan Nada, 'kan? Bukan hidupku. Aku takut saja kalau ada sesuatu kejadian tidak terduga di kemudian hari. Bisa berabe urusannya.

Meskipun mendapatkan kebebasan memilih dari Aksara Nada, tetap saja. Aku merasa aku harus tetap memikirkan ini matang-matang.

Perlahan, aku mengembuskan napas. Kulirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Sudah saatnya aku tidur.

Tepat saat menggeser bokong dan siap merebahkan diri di kasur, terdengar ketukan dari luar. Refleks, aku kembali menegakkan badan.

Siapa yang mengetuk pintu kamarku larut malam begini?

"Nad, udah tidur?" Suara Niel. "Kalau belum, buka pintunya. Aku mau bicara."

Bicara?

Awalnya, aku tidak ingin menghiraukannya. Cukup diam dan dia akan pergi sendiri. Namun, mengingat Niel tidak keberatan membukakan pintu saat aku mengetuk kamarnya larut malam, aku jadi agak merasa gimana gitu kalau sampai mengabaikannya.

"Bentar!" seruku.

Dengan cepat aku mengenakan sandal dan membukakan pintu. Di depanku, Niel berdiri dengan santai. Kedua belah tangannya dia masukkan ke saku celana. Berbeda denganku yang mengenakan piama, dia hanya memakai kaus putih tanpa lengan dan celana pendek di atas lutut.

"Udah tidur?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Mau bicara apa?"

Bukannya langsung menjawab, Niel malah celingak-celinguk. Setelah beberapa saat, baru dia bicara. "Boleh aku masuk?"

"No way!" sahutku tanpa banyak berpikir.

Gila aja! Dia kira aku ini cewek macam apa, coba. Rumah boleh satu atap. Kamar bersebelahan juga tidak masalah. Namun, masuk ke kamar? Biar pun ini rumah dan kamar Nada, akan kutendang dia kalau sampai berani masuk tanpa izin.

"Oke." Niel tampak tidak keberatan. Dia menyandarkan bahunya di kosen pintu. "Udah mutusin mau lanjut kuliah atau enggak?"

Aku terdiam. Lalu, perlahan aku menggeleng.

Niel menghela napas. Ekspresinya terlihat rumit. "Aku paham kalau kamu mungkin masih trauma. Tapi, berlama-lama di rumah juga enggak ada faedahnya. Toh, pada akhirnya, pilihan yang ada cuma lanjut kuliah. Kamu tau sendiri 'kan ortumu getolnya gimana soal ini?"

Terkesan sok tau, tapi kuakui itu memang benar, sih.

Hanya saja ... bagaimana, ya? Jujur, aku masih bimbang.

"Nad," panggil Niel lagi.

"Hm?"

"Enggak usah khawatir," katanya. Kedua belah tangannya terangkat dan memegang bahuku. "Ada aku. Kita punya banyak kelas bareng semester ini. Ingat?"

Alih-alih terkejut dengan kontak fisik yang dilakukan Niel, pernyataannya justru lebih mengagetkanku. Tiba-tiba saja aku teringat kata-kata Nada,

"Sotoy lo. Gue kuliah matematika karena Niel—"

Dalam diam, aku menatap cowok di depanku sekarang ini lekat-lekat. Hanya sebentar. Setelahnya, aku mendesah dan menyingkirkan tangannya dari bahuku.

"Bisa kasih aku waktu buat berpikir?" kataku pada akhirnya.

Hening.

"Oke." Niel memecahkan keheningan itu lebih dulu. "Kalau perlu sesuatu, panggil aja aku." Setelahnya dia berlalu ke kamarnya sendiri.

Hmm ... kuliah, ya?

Aku berpikir lagi. Mungkin, opsi berkuliah sebagai Nada bukan ide yang terlalu buruk.

Iya, kan? []








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro