9. Bicara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi-pagi sekali, aku dibangunkan oleh suara cowok.

Siapa lagi kalau bukan Niel?

"Nad, bangun!" Terdengar gedoran dari luar.

Mendengarnya, aku langsung terbangun. Tidak seperti sebelumnya aku berleha-leha, kali ini aku lebih gesit. Setelah merenggangkan badan sebentar, aku lantas mencelat dan membukakan pintu.

Seperti tadi malam, Niel berdiri menunggu di depan pintu. Bedanya kali ini dia tampak rapi. Aroma sabun segar juga menguar darinya. Kayaknya dia sendiri baru selesai mandi.

"Thanks udah dibangunin," kataku seraya menguap.

Niel mengangguk. "Tumben minta dibangunin lebih pagi. Biasanya kamu suka kesiangan."

Mendengarnya, aku terdiam. Iya, tadi malam aku memang meminta Niel membangunkanku pagi-pagi. Ada sesuatu yang harus aku lakukan.

Separah itukah kebiasaan Aksara Nada ini? Atau ... jangan-jangan dia menyindirku karena kemarin aku susah sekali dibangunkan?

Tanpa sadar, aku merengut. "Kenapa? Enggak boleh?"

Kulihat Niel sempat tersenyum kecil sebelum menggeleng, "Bukannya gitu."

Aku mengangkat bahu, berusaha sesantai mungkin saat bilang, "Aku mau ngomong sama Mama-Papa. Makanya aku minta dibangunin lebih pagi."

Niel ber-oh. "Bakal lebih baik kalau kamu turun sekarang. Tante sama Om sebentar lagi bakal sarapan."

"Oke." Aku mengangguk. "Lima menit. Tunggu di situ," pintaku yang turut disambut anggukan olehnya.

Setelahnya, aku berbalik dan buru-buru masuk kamar mandi. Mencuci muka dan menggosok gigi (tentunya menggunakan sikat gigi baru. Aku tidak akan pernah mau makai punya Nada. Never), lalu keluar dengan keadaan sudah segar. Kulihat Niel tampak sabar menunggu dengan bahu bersandar pada kosen.

Hmm ... cowok gentle. Menepati janji untuk menungguku, juga tidak masuk sembarangan seperti yang aku peringatkan kemarin malam.

Tanpa sadar, aku tersenyum.

Kulihat Niel menoleh. Dia kemudian menegakkan badan seraya bertanya, "Udah?"

Aku mengangguk.

"Good then." Niel memberi isyarat dagu agar aku segera keluar dan mengikutinya. "Aku ambil tas dulu. Kamu duluan aja ke ruang makan." Lalu, dia berlalu ke kamarnya sendiri.

Mendengar kata tas, aku yang semula ingin turun duluan langsung mengurungkan niat. Oke, aku kepo. Pertama, dia kelihatan rapi pagi ini. Kemeja hitam polos dengan celana jeans, juga sneaker jelas bukan paduan style rumah. Rambutnya juga tampak tertata kali ini. Tidak seperti sebelumnya yang seperti dibiarkan sekenanya.

Apa jangan-jangan ....

"Nad?"

Aku tersadar dari lamunan. Bisa kulihat Niel keluar dari kamarnya dengan menenteng tas. Sebelah tangannya yang lain bergerak mengunci pintu.

"Ayo turun!" ajaknya seraya berbalik dan melangkah pergi.

Fix! Dia pergi kuliah.

Dengan cepat aku mengekor. Kupercepat langkah untuk menyejajari Niel. Begitu kami menuruni anak tangga satu per satu, barulah aku angkat suara, "Rapi banget. Ada acara?" pancingku dengan sedikit basa-basi.

Bukannya langsung menjawab, Niel malah sempat-sempatnya melirikku dan memberi jeda hening. Setelah beberapa saat, barulah dia menyahut, "Ada kelas pagi."

See? Tebakanku benar.

Aku lantas ber-oh pelan, mengangguk-angguk.

"Kamu juga ada kelas ini," katanya tiba-tiba, mengejutkanku.

Aku menoleh. "Oh ya?"

"Kamu ... lupa?" tanya Niel. Ekspresinya tampak rumit.

Ya mana aku tahu! Aku menghela napas diam-diam. "Maaf." Pada akhirnya, cuma itu yang bisa aku katakan.

"Perlu bantuan buat ngomong sama Om dan Tante?" Tidak ada angin, tidak ada hujan, Niel tiba-tiba saja bilang seperti itu. Dia bahkan tidak mengacuhkan kata maaf yang aku lontarkan.

Tentu saja terkejut dibuatnya. Bukannya apa. Maksudku, memangnya dia tahu apa yang ingin aku bicarakan dengan orang tuanya Nada?

"Nope. Thanks, by the way. I can handle it myself," sahutku. "Toh, lagian kamu juga enggak tau aku mau ngomongin apa," kataku lagi, tetapi kali ini lebih seperti gumaman super pelan.

"Aku tau," ujar Niel, mengejutkanku. "Kamu mau ngomongin soal kuliah."

Mendengarnya, tentu saja aku kaget. Satu, bagaimana dia bisa mendengar gumamanku? Dua, kenapa dia bisa tahu? Dua pertanyaan yang membuatku menatap Niel ngeri-ngeri sedap.

Dia ini cenayang atau apa?

Niel mengangkat bahu. "Enggak sulit buat ngebaca kamu." Cowok itu kembali melirikku, tepat saat kami menginjak lantai satu. "Kita udah lama saling kenal. Bahkan lebih dari itu." Seperti biasa, dia lantas berjalan lebih dulu.

Seperti biasanya juga, aku dibuat terpaku. Lebih dari itu? Apa maksudnya?

Aku menyantap sarapan dengan tenang. Berhadapan denganku, ada Mama dan Papa yang duduk bersebelahan. Oke, sebagai pengingat, mama dan papa Nada. Mereka juga makan dengan santai.

"Tumben kamu bangun sepagi ini, Nad," Papa memantik obrolan di tengah menyantap sarapan. Tatapannya lurus kepadaku. "Biasanya kamu bangun jam segini kalau ada kelas pagi."

Oh, berarti apa yang dikatakan Niel tidak berlebihan. Nona Muda Aksara Nada ini tukang kesiangan, rupanya.

Aku mulai menimbang-nimbang. Haruskah aku membicarakan soal itu sekarang? Atau menunggu kami selesai sarapan?

"Ada yang mau kamu ceritain, Nad?" Mama bertanya. Kulihat beliau sudah menandaskan sarapan nasi gorengnya dan tengah meminum segelas air.

Sontak aku tersedak kecil. Tidak terlalu parah, sih. Hanya saja ... aku masih belum siap. Dan, dari mana beliau bisa tahu kalau aku ingin membicarakan sesuatu?

"Nad! Minum dulu!" Mama langsung menyodorkan air di hadapan ketika mendapatiku mengelus dada.

Aku mengangguk, buru-buru mengangkat gelas dan minum dengan perlahan. Aku beberapa kali terbatuk kecil, tapi aku baik-baik saja.

"Pelan-pelan, Nad." Papa turut bersuara.

Masalahnya bukan soal pelan atau buru-buru, tapi dilihat Papa dan Mama dengan tatapan intens membuatku sedikit gugup. Begitu air di gelas sudah habis, barulah aku bisa bernapas sedikit lebih lega.

Aku menghela napas pendek, berusaha untuk tidak gugup. Terlebih, saat kuangkat wajah dan menatap Mama serta Papa, rasa-rasanya jantungku berdetak dua kali lebih cepat.

Gugup, bo!

Namun, pada akhirnya, aku tidak punya pilihan lain. Cepat atau lambat, aku akan tetap bicara soal ini 'kan?

Baiklah.

"Ma, Pa," panggilku yang mengundang reaksi serentak dari keduanya. "Ada yang mau Nada bicarain."

"Ya, Sayang?" Mama yang duluan menyahut.

"Soal apa, Nad?" Papa ikut mengekor.

Aku menenggak ludah. "Nada ... mau balik kuliah." Tercetus juga topik satu itu.

Kukira, Mama dan Papa akan menyambutnya dengan antusias. Namun, reaksi mereka berkebalikan dengan ekspektasiku. Hening. Keduanya malah saling pandang. Ekspresi mereka tidak terbaca.

Allahu! Aku langsung panas dingin. Apa aku salah bicara?

Setelah beberapa lama, barulah Papa merespons. Itu pun didahului dehaman dulu. "Sudah kamu pikir matang-matang, Nad?"

Aku mengangguk.

"Nada Sayang," kata Mama. "Tentang yang kami bicarain kemarin, bukan berarti Mama sama Papa pengin kamu balik kuliah secepatnya. Kamu bisa pikir baik-baik dulu."

Lho? Aku malah bingung sendiri. Bukannya Mama seperti kontradiksi dengan ucapannya tadi malam? Padahal, kemarin beliau yang berkata kalau kondisiku sudah cukup stabil untuk kembali berkuliah. Sekarang, dia malah kedengaran ragu.

Pelan-pelan aku meyakinkan. "Nada sudah mikirin ini baik-baik, kok. Nada pengin balik kuliah. Rasanya bosan kalau di rumah terus," kataku, jujur apa adanya.

Sekali lagi, Mama dan Papa saling pandang untuk beberapa saat. Keduanya mengangguk, seperti sedang bertukar pikiran lewat sorot mata.

"Papa bakal hubungi dokter kamu lebih dulu, kalau gitu." Papa melipat tangan di meja. "Walau bagaimana pun, dokter perlu mastiin kalau kamu sudah cukup siap untuk balik kuliah."

Oh! Aku mendecak dalam hati. Aku lupa soal itu. Artinya, kalau aku bertemu lagi dengan dokter itu, aku harus bersikap se-"Nada" mungkin. Dan, jujur, bersikap seperti itu di depan dokter jauh lebih sulit ketimbang di depan orang-orang di rumah ini.

Namun, apa aku punya pilihan lain?

"Oke." Aku mengangguk, memaksakan sebuah senyuman.

Papa balas mengangguk. Kulihat beliau melirik jam di pergelangan tangannya dan beranjak. "Papa ke kantor dulu. Nanti Papa kabari lagi."

"Mama juga." Mama ikut berdiri. Dia kemudian mengusap kepalaku dan tersenyum. "Mama pergi dulu."

Setelahnya, Mama dan Papa sama-sama pergi.

Aku mendesah, ikut beranjak. Hampir saja aku bergeraj otomatis membereskan meja makan sebelum ingat diri. Benar. Sekarang ini statusku Nada, si Nona Muda. Dan, Nona Muda tidak membereskan hal-hal seperti ini.

Tidak ada hal lain yang bisa kukerjakan. Aku lantas kembali menuju kamar.

Tepat saat aku masuk kamar dan menutup pintu, terdengar getar halus intens dari atas nakas. Ponselku. Nada memanggil. "Halo?"

"Hei, lo bisa bantu gue enggak? Ini penting banget." []






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro